Cinta (Tak) Butuh Logika
Oleh : Rizka W. A.
Part 4: Interogasi
Rais yang baru saja selesai mandi tersenyum melihat pakaiannya sudah siap di ranjang. Betapa terkejutnya dia, saat akan memakai baju, mendapati Melisa terbaring di sisi ranjang.
“Mel, Melisa …,” panggilnya.
Melisa tidak menjawab. Tidak ada respons meskipun pipinya sudah ditepuk berkali-kali. Rais mulai khawatir saat melihat ada darah yang mengalir pada betis sang istri. Diangkatnya wanita itu ke ranjang, kemudian bergegas memakai baju.
Tidak ingin meminta bantuan tetangga, Rais memilih menelpon taksi. Dia tidak ingin orang-orang di sekitar rumahnya tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangganya, apalagi sekarang dia hanya berdua di rumah. Wajah Melisa yang masih lebam akan banyak menimbulkan kecurigaan. Belum lagi desas-desus yang dia dengar dari ibunya, kalau tetangga sekitar sering mendengar tangisan seorang wanita.
Beberapa menit kemudian, taksi yang di pesan Rais sudah sampai. Dia meminta tolong kepada sang sopir untuk membantunya menggotong sang istri.
Benar dugaannya, ibu-ibu kompleks yang sedang membeli sayur pada pedagang keliling menatap tajam ke arahnya. Saling berbisik satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan, Rais tidak mau ambil pusing, yang paling penting sekarang adalah kondisi Melisa.
“Dasar ibu-ibu kurang kerjaan, bisanya cuma gosip aja. Betah banget makan bangkai saudara sendiri,” gerutu Rais.
Mobil yang mereka tumpangi kini melaju ke arah rumah sakit terdekat. Berkali-kali Rais mengingatkan sang sopir untuk menambah kecepatan agar bisa segera sampai.
Dengan posisi memangku kepala sang istri, Rais sesekali memastikan denyut nadi Melisa. Dia semakin gusar saat mobil tersebut berjalan merayap karena lampu merah. Rasanya putaran jam juga ikut melambat.
“Pak, tolong, cepat. Istri saya tidak sadarkan diri,” pintanya pada pak sopir.
Pria paruh baya itu segera menancap gas setelah lampu lalu lintas berubah warna. Dia seolah paham betul apa yang sedang dirasakan penumpangnya.
Mereka akhirnya sampai lima menit lebih cepat dari perkiraan. Sang sopir segera membukakan pintu, kemudian berlari menuju ruang UGD menemui perawat jaga.
“Sus, tolong istri saya. Dia sedang hamil dan tidak sadarkan diri,” ucap Rais saat melihat perawat datang dengan bed sorong.
Beberapa suster sigap melayani Melisa. Dengan sedikit berlari, mereka lalu membawanya ke ruang IGD.
“Maaf, Pak, selain petugas dilarang masuk. Silakan tunggu di luar. Kami akan menangani pasien dengan baik,” ucap suster tersebut, menutup pintu ruang perawatan khusus.
Rais berjalan mondar-mandir di depan ruang IGD. Berusaha mengintip di balik jendela, tetapi tetap saja dia tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dia lalu mengabari ibunya tentang kondisi Melisa saat ini.
Pria itu mengusap kepalanya dengan kasar. Bersandar pada kursi pengunjung. Sudah lima belas menit berlalu, tetapi pintu yang ada di hadapannya masih tertutup rapat.
Apa yang sedang terjadi di dalam? Bagaimana kondisi Melisa? Apakah dia akan selamat? Ya, bayi. Bagaimana dengan bayi mereka?
Mata Rais berkaca-kaca. Apakah ini jawaban atas doanya? Berkali-kali dia menolak kehadiran anak itu. Dia tidak ingin aibnya sampai tercium oleh orang-orang terdekatnya, baik tetangga maupun teman kantor.
Kalau benar itu keinginannya, seharusnya dia senang sekarang. Dia tidak harus mengotori tangannnya dengan membunuh darah dagingnya sendiri. Atau mungkin saja dia khawatir akan nasibnya saat ini. Kalau sampai terjadi apa-apa terhadap Melisa, maka tamatlah riwayatnya. Dia akan merasakan hotel prodeo untuk kedua kalinya.
Entahlah … tidak ada seorang pun yang bisa memahami jalan pikiran Rais. Tidak istrinya, maupun ibunya. Dia benar-benar tipe orang yang susah ditebak. Terkadang baik, tetapi terkadang bisa berubah menjadi pribadi yang sangat kejam.
Dari jauh, tampak ibunya berjalan dengan sangat tergesa-gesa.
“Bagaimana keadaan Melisa?” tanya sang ibu begitu sampai.
“Entahlah, Bu. Belum ada kabar dari tadi.”
“Apa yang terjadi, Rais?” cecar ibunya.
Rais tidak menjawab. Dia terus saja menunduk, tidak berani menatap sang ibu.
“Rais … jawab Ibu. Kau memukulinya lagi?” tanya ibunya sedikit berbisik.
Rais mengusap kasar wajahnya. “Aku tidak tahu, Bu. Melisa tiba-tiba saja pingsan saat aku baru selesai mandi,” tuturnya.
“Kau sudah menelepon orang tua Melisa? Biar bagaimanapun, Bu Maryam harus tahu kondisi anaknya saat ini.”
Rais menggeleng.
“Telepon mereka, kabari tentang kondisi Melisa saat ini. Doa seorang ibu akan sangat membantu jika anaknya sedang dalam kesusahan,” jelas sang ibu.
Cukup lama Rais memandangi layar ponselnya. Dia ragu untuk mengabari mertuanya. Pasti mereka akan menolak untuk mengunjungi Melisa.
Luka yang Rais torehkan untuk kedua orangtua Melisa begitu besar. Bahkan setelah menikahi kekasihnya, Rais belum sepenuhnya termaafkan. Bukannya bahagia atas pernikahan putri bungsunya, tetapi mertuanya malah menyuruhnya untuk cepat-cepat pergi setelah acara pernikahan selesai. Mereka sangat kecewa terhadap sikap Rais dan Melisa yang telah mengkhianati sebuah kepercayaan.
Mama Mertua. Ragu Rais menekan tombol hijau saat nama itu muncul. Berkali-kali dia menarik napas panjang untuk mengumpulkan keberanian.
Tanpa salam dan basa-basi, inu Melisa malah mencecar Rais. “Ada perlu apa kamu menelpon? Bukankah sudah kukatakan, jangan pernah menghubungi kami lagi.”
“Ma, tolong dengarin Rais. Ini terkait kondisi Melisa saat ini …,” potong Rais.
Tidak ada respons, Rais kembali membuka mulut. “Ma, Melisa sedang dirawat di rumah sakit.”
Terdengar nada mencibir pada sambungan telepon. “Giliran susah, baru ingat kami. Kemarin-kemarin kemana aja? Kami nggak mau tahu. Melisa sudah jadi tanggung jawab kalian. Jangan menunggu kedatang kami, karena tidak akan ada yang datang.”
Sambungan telepon terputus. Rais mendengkus kesal. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan anaknya sendiri.
“Sudah kubilang, kan. Mereka tidak akan peduli,” seloroh Rais.
“Setidaknya kamu sudah berusaha mengabari mereka. Dia mau datang atau tidak, itu bukan urisan kita. Mungkin mereka belum bisa memafkan kalian,” hibur sang ibu.
Pintu ruang IGD terbuka. Dokter yang tadi menangani Melisa berjalan menghampiri.
“Bagaimana kondisi istriku dan anak yang dikandungnya, Dok?” tanya Rais.
“Tenang, Pak. Alhamdulillah istri dan anak Bapak selamat. Bu Melisa hanya kelelahan.”
“Apakah sudah bisa ditemui?” tanyanya lagi.
“Bisa, Pak. Kami akan segera mengantar Bu Melisa ke ruang perawatan. Satu lagi, kandungan Bu Melisa sangat lemah sekarang, jadi harus bed rest. Dia tidak boleh banyak pikiran, karena akan memicu stres dan kontraksi pada rahim,” terang sang dokter.
“Baik, Dok.” Rais mendengarkan penjelasan dokter dengan saksama.
Seorang perawat kini muncul bersama Melisa yang sedang terbaring lemah di atas bed khusus pasien. Rais segera menghampiri dan mengusap pelan pucuk kepala sang istri.
“Bagaimana kabarmu, Melisa? Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?” tanya Bu Rima—begitu orang-orang memanggil ibu mertuanya—saat sampai di kamar perawatan.
Melisa tersenyum. “Aku nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Tadi habis masak sarapan buat Rais, tiba-tiba kepalaku pusing. Setelah itu, aku nggak ingat apa-apa lagi.”
“Ya sudah, kamu sekarang istirahat. Kondisimu masih belum sembuh sepenuhnya. Ibu minta maaf, kemarin pergi tanpa pamit. Ibu enggak mau ganggu kamu yang sedang tidur.”
Rais mengusap perut istrinya. “Hei, kamu jangan nakal. Kasian bundamu,” godanya.
Melisa tersenyum. “Kak Rais nggak kerja?” tanyanya.
“Aku nggak mungkin berangkat kerja kalau kondisimu masih seperti ini.”
“Aku udah baikan, Kak. Lagian ada Ibu di sini. Kakak mau meeting presentase desain baru nanti siang, kan?”
“Udah, nggak apa-apa, nanti aku telepon orang kantor buat gantiin.
“Udah … Melisa benar, ada Ibu di sini. Lagian cuma disuruh jagain orang tidur, Ibu juga bisa,” seloroh sang ibu.
Rais akhirnya mengalah dan berangkat ke kantor. Dua wanita di hadapannya akan sulit terkalahkan jika sudah berdebat.
“Bu … apa Mama tahu kalau aku lagi di rumah sakit?” tanya Melisa.
Bu Rima melengos. Menyembunyikan raut wajahnya yang terkejut. Dia berpura-pura memeriksa nakas untuk mengaburkan rasa gugupnya.
“Enggak. Ka-kayaknya sih, enggak. Ibu enggak ada ngabarin mama kamu. Atau mau Ibu teleponkan?” tanya Bu Rima ragu.
Melisa menggeleng. “Sebaiknya Mama nggak usah tahu masalah ini,” ucapnya. Mata Melisa mulai berembun.
“Ya sudah, kamu istirahat. Kalau ada apa-apa panggil Ibu. Ibu mau selonjoran di sofa.”
Melisa mengangguk. Beruntung dia mempunyai mertua yang baik. Meskipun Rais sering menyiksanya, setidaknya Bu Rima selalu ada untuk menghiburnya. Dia tidak dapat membayangkan kalau sampai ibu mertuanya pun memperlakukannya secara tidak baik. Melisa pasti akan menyesali takdirnya seumur hidup.
Masih lekat dalam ingatan, saat dia hendak diusir dari rumah oleh orang tuanya. Waktu itu mama dan papa Melisa mendapat panggilan dari guru BK, perihal kondisinya. Saat itulah kali pertama aibnya terbongkar.
***
“Apa Ibu sudah tahu kenapa kami menyuruh kalian untuk datang?” tanya Bu Lita.
“Apa kesalahan anak saya, Bu? Selama ini Melisa adalah anak yang baik. Dia juga berprestasi. Presensi di kelas pun tak pernah alpa, kecuali dia benar-benar sakit,” tanya Bu Maryam tidak sabar.
“Ini yang akan kita bahas, Bu. Saya harap Ibu sama Bapak tidak terkejut mendengar hal ini,” tukas guru BK.
Bu Lita menatap Bu Maryam dan Pak Imran secara bergantian. Dia tidak ingin orang di hadapannya tersinggung atas apa yang akan diucapkan selanjutnya.
Bersambung ….
Balikpapan, 30 Mei 2021.
Rizka Wirdaningsih Abdi, muslimah pecinta senja. Panggil saja Mbak Conan.
Editor : Lily