Kisah Antara Dia, Aku, dan Kenangan Kami Dulu
Oleh : Jeevita Ginting
Saya tahu, pemikiran seperti ini sangatlah tidak baik. Namun saya betul-betul sudah kecewa dan terluka. Jadi saya tetap akan berpikiran bahwa semua orang di dunia ini memang jahat. Ya, jahat seperti dirinya … lelaki tinggi semampai yang dahulu selalu menjanjikan kebahagiaan pada saya tiap sore, di bangku taman kota.
“Nin, kamu cantik hari ini. Kufoto ya buat kenang-kenangan!” ujarnya sambil membidikkan kameranya ke arahku dengan tiba-tiba.
Dasar kebiasaan, suka banget sih ngagetin orang! Sontak aku bangkit dari kursi dan langsung menolaknya. “Stop, stop! Aku nggak suka difotoin tiba-tiba gitu. Ntar kalau hasilnya jelek kan malu-maluin!”
Dia terkekeh geli. Dicubitnya pipiku pelan. Tanpa rasa bersalah dia kembali memotretku sebelum duduk dan meneguk minuman kaleng di atas bangku. Ish … benar-benar menyebalkan!
Melihatku yang masih cemberut, bukannya berusaha membuatku tersenyum atau bagaimana, dia malah menjulurkan lidahnya sambil terus memotret sembarangan. “Serah deh … aku mau pulang aja!” kataku ketus.
Tentu saja dia nanti akan langsung mengejarku dan memintaku duduk di bangku bersebelahan dengannya, seperti biasa. Dan saat dia melakukannya, aku berjanji tak akan menurut. Titik!
“Nin, tunggu …!”
Benar kan ucapanku. Hehe … sekarang saatnya untuk jual mahal. “Ish … lepasin!” Aku meliriknya sekilas, lantas melepaskan genggaman tangannya. “Pokoknya aku mau pulang aja!”
Aku pun pura-pura bergegas pergi. Namun aneh … kenapa dia tak mengejarku? Aku pun menarik napas, dan berbalik untuk melihatnya, tapi … ke mana dia pergi? Ah, mana mungkin dia benar-benar membiarkanku pergi begitu saja?
Awalnya saya pikir … lelaki itu hanya mengerjai saya. Mungkin dia bersembunyi atau semacamnya. Namun ternyata tidak, bahkan setelah kejadian itu dia malah menghilang entah ke mana dan tidak mengabari saya sama sekali sampai berhari-hari. Di situlah perasaan saya mulai benar-benar terluka.
“Keterlaluan banget sih, kalau iseng tuh jangan begini. Aku jadi bingung, ‘kan!”
Aku marah, kesal, juga sedih … tapi semua itu hanya bisa kuluapkan pada selembar foto, foto lelaki yang saat ini benar-benar bikin aku kayak orang gila. Ke mana sih perginya dia!
Tak lama ponselku bergetar. Aku cepat-cepat meraih benda itu dari atas meja rias di sebelah tempat tidur. Aku mendesah pelan, ternyata itu hanya pesan dari Yuri, sahabatku.
Nin, gimana. Si Leo udah bisa lo hubungin?
Rasanya sangat malas untuk sekadar membalas pesan itu, tapi Yuri adalah sahabatku … aku pun menarik napas dan mengetik pesan balasan.
Huum. Teman-teman Leo pun nggak ada yang tau di mana dia sekarang.
Huft. Aku pun melemparkan ponsel itu ke atas ranjang, dan merebahkan tubuh di sebelahnya. Ish … kamu di mana sih? Tega banget ngilang tiba-tiba kayak gini. Pikiranku melayang entah kemana, terlalu rumit untuk dijelaskan. Wajah dia yang begitu hangat saat tersenyum atau mencubit kedua pipiku terbayang dengan jelas. Ah, andai saat itu aku tak pura-pura merajuk begitu, apakah dia tetap akan menghilang tanpa sebab seperti ini?
Ponsel kembali bergetar, membuyarkan pikiranku. Aku meraihnya dan segera membaca pesan yang masuk. Itu Yuri lagi, sudah pasti. Sahabatku itu tipe yang cerewet apalagi soal percintaanku.
Tanganku mendadak gemetar. Apa-apaan ini? Yuri mengirimkan fotonya bersama Leo tengah bersebelahan tapi terlihat mesra. Aku pun langsung menghubunginya. Ah … Yuri tak mau mengangkat! Aku pun mengiriminya pesan beruntun. Apa maksudnya mengirimkan foto seperti itu! Ah … menyebalkan!!!
Yuri sama sekali tak mau menjawab. Dia hanya membaca pesan-pesan itu tanpa membalasnya. Menyebalkan! Tapi … bagaimana kalau foto itu cuma rekayasa? Ya, pasti rekayasa ….
Setidaknya setelah berusaha mengabaikan rasa curiga itu, saya berharap semua akan baik-baik saja. Tapi nyatanya tidak begitu. Selang beberapa hari, saya mendengar kabar bahwa Leo dan Yuri akan segera bertunangan. Gila, bukan?
Parahnya, bahkan sampai hari pertunangan mereka, tak ada satu pun kata yang mau Leo sampaikan pada saya. Bukankah dia seharusnya menjelaskan semuanya? Atau dia memang terlalu pengecut untuk mengungkapkannya?
“Wah selamat ya, kalian serasi banget!” selorohku sambil menyerahkan buket mawar pada Yuri yang sama persis dengan buket mawar pemberian Leo.
Aku melirik Leo sekilas, dia tampan seperti biasanya. Aish … apa yang kupikirkan? Lelaki ini jahat, begitu pun dengan Yuri. Sepertinya aku emang udah gila karena datang ke acara ini.
Aku kembali menarik napas sambil meremas gaun ketika melihat betapa mesranya Yuri menggandeng Leo. Mereka benar-benar dua orang yang tak punya hati, padahal sebagian besar tamu undangan yang hadir tahu betul bahwa Leo dan aku sudah lama berpacaran. Aish, kesalnya … sebaiknya aku pulang sekarang.
“Ninda!”
Leo? Ternyata dia masih punya nyali. Atau mungkin dia hanya bermaksud untuk mengejekku? Apa pun itu, mungkin akan lebih baik jika aku menghindarinya.
“Tunggu, Nin. Plis aku mau ngomong sesuatu ….”
Aku pun berbalik sambil mendengkus, berusaha melepaskan genggamannya. Dan saat itulah kedua mata kami saling bertemu. Ah … menyebalkan, dia benar-benar tampan. Meski kesal dan kecewa, dadaku masih saja berdetak tak beraturan ketika berada di dekatnya. Ayolah … sadar, Nin!
Baiklah, aku memutuskan untuk mendengarkannya. Lagi pula, jujur, saja aku memang memerlukan penjelasannya. Apa maksud dari semua hal yang dia lakukan. Ish … lelaki ini betul-betul kejam.
Setelah mendengarkan semua penjelasan Leo, saya tak tahu harus berkata apa. Yang jelas, hati saya saat itu benar-benar sakit. Jadi saya memutuskan untuk pergi. Benar-benar pergi. Leo yang sangat saya cintai itu ternyata sangat bodoh, entah bodoh atau terlalu naif.
***
Hari ini, tepat di bangku taman kota tempat saya dan Leo biasa menghabiskan waktu sore bersama, saya hanya bisa tersenyum kaku memandangi wajah Leo yang tengah tersenyum lebar ketika bermain dengan seorang balita yang terlihat manis mengenakan dress berwarna pink. Dia benar-benar sudah bahagia, dan lupa akan kenangan kami.
Lihat, ‘kan? Ternyata saya yang terlalu naif. Saya pikir perpisahan kami empat tahun lalu menjadi jalan terakhir bagi perasaan saya untuknya, tapi ternyata sampai kini saya masih suka diam-diam memperhatikannya, bersama Yuri dan seorang gadis cilik yang seharusnya memanggilnya paman, bukan papa. (*)
Rabu, 16 Juni 2021
Jeevita. Perempuan berdarah Jawa, lahir di bulan Februari. Bertempat tinggal di Batang, Jawa Tengah, sudah sejak kecil gemar membaca. Mimpinya memiliki buku solo yang terpajang di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia. Penulis biasa aktif di sosial media Facebook bernama Jeje, dan Instagram Jeevita_21.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata