Misteri Ketukan Jendela di Malam Hari
Oleh: Elly ND
“Abang berangkat dulu ya, Dek. Hati-hati di rumah. Minta tolong Yuli untuk nemenin kalau malam,” ucap Bang Darwis sebelum berangkat.
“Iya, Bang. Insya Allah, Adek berani di rumah sendiri.” Kucium tangannya sembari menyerahkan jaket hitam favoritnya.
“Baba pergi kerja dulu ya, Sayang. Baik-baik sama Mama,” pamitnya pada bayi dalam kandunganku.
Mengetahui ayahnya yang berbicara, janin dalam perutku menendang-nendang. Hal itu membuat perutku bergerak-gerak.
Setelah semua peralatan dan perlengkapan yang diperlukan siap, Bang Darwis pun berangkat. Deru mobil angkutan yang dikemudikan oleh Pak Tomo baru saja meninggalkan halaman rumah. Mobil itu membawa bahan-bahan bangunan untuk proyek sebuah pusat kesehatan masyarakat yang sedang dalam tahap pembangunan.
Pak Tomo baru saja menerima kerja sama dengan kontraktor untuk pemasangan plafon. Dan hari itu, beliau mengantar Bang Darwis beserta satu orang temannya sesama pekerja ke luar kota.
Sepuluh hari sudah sejak Bang Darwis berangkat ke luar kota. Hari ini ia memberi kabar bahwa akan pulang sekitar pukul sepuluh pagi.
Tujuh jam perjalanan adalah waktu yang harus ditempuhnya untuk tiba di rumah. Bila pukul sepuluh baru berangkat, kemungkinan Magrib Bang Darwis sudah di rumah. Baiklah, menjelang kedatangan suami dari merantau, akan kusiapkan makanan kesukaannya.
Setelah membersihkan rumah, kuputuskan berbelanja ke pasar dan menyiapkan bahan memasak untuk nanti sore.
***
Mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Aku yang sedang hamil tua gegas menutup pintu dan jendela. Berkali-kali kutengok jam, sudah lewat Magrib, tapi Bang Darwis tidak kunjung datang. Resah. Aku takut terjadi apa-apa dengannya saat dalam perjalanan.
Ting!
Assalamualaikum, Dek. Maaf, Abang belum bisa pulang hari ini. Tadi sudah mau jalan, ternyata ada masalah di mobilnya, jadi ditunda pulangnya. Tapi Abang usahakan besok malam sudah di rumah 🙂
Jangan lupa periksa pintu dan jendela, ya.
Tidur di rumah Ibu aja malam ini, Dek.
Pesan WhatsApp dari Bang Darwis kuterima beberapa saat yang lalu. Kupandang meja makan yang berisikan masakanku sore tadi. Sepertinya harus kusimpan dalam kulkas.
Iya, Bang. Sudah dikunci semua tadi pintu dan jendelanya.
Adek tidur di rumah aja malam ini Bang. Nggak enak nginap terus di sana.
Pesan balasan kukirim, tetapi hanya centang satu.
“Mungkin Baba udah tidur atau di sana lagi hilang sinyal, Sayang. Jadi nggak balas pesan Mama,” ucapku sambil mengelus perut.
***
Malam semakin larut. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul sebelas malam. Pesan yang kukirim pun belum dibalas oleh Bang Darwis.
Lampu ruang tamu dan dapur sudah sebagian dipadamkan. Menyisakan satu lampu di ruang keluarga, membuat ruangan lain menjadi remang-remang. Aku yang merasa haus baru saja mengisi botol minum dan kembali ke kamar.
Miring kiri, beberapa detik berikutnya kumiringkan badan ke kanan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tapi mataku tak kunjung mengantuk.
Gelisah. Entah mengapa malam ini mata sulit sekali untuk dipejamkan. Seolah-olah di pojok kamar ada sepasang mata yang mengawasi. Perasaan takut mulai menderaku, ditambah dari kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Sementara di luar, rintik gerimis mulai turun.
Ah, kenapa juga aku tadi tidak menginap di rumah ibu ya, batinku.
Rasa sesal menyelinap karena tidak mengikuti saran Bang Darwis. Kuintip halaman depan melalui sela-sela gorden. Tampak bayangan pohon akasia bergoyang-goyang. Angin kencang yang tiba-tiba datang, membuat dahan-dahan pohon akasia di pinggir jalan depan rumah saling bergesekan.
Lampu jalan yang berdiri di seberang rumah tepat menyorot ke arah teras. Terlihat sosok berjubah hitam melintas. Deg. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat mulai membasahi baju yang kupakai.
Angin kembali berembus bersamaan dengan hujan yang turun deras. Bunyi air jatuh terdengar jelas di atap rumah.
Terdengar suara seperti benturan dua benda tumpul. Kucoba mendengarkan dengan baik-baik.
Sepertinya, itu bunyi jendela di kamar sebelah, batinku. Memberanikan diri, kuperiksa kamar sebelah. Dan benar saja, jendelanya sedikit terbuka. Seingatku sudah kukunci tadi sore. Usai membenarkan slotnya, kupaksakan untuk tidur.
Baru merebahkan tubuh di ranjang, kembali kudengar ketukan di jendela. Suaranya berulang-ulang terdengar tiap kali angin datang. Bisa kurasakan dinginnya angin malam yang menembus melalui celah di bawah pintu.
Diiringi derasnya hujan dan bunyi jendela yang terus diketuk entah oleh siapa. Hingga akhirnya aku tertidur. (*)
Kota Cantik, 30 Mei 2021
Elly ND, seorang penikmat bakso dan kopi susu.
Editor: Imas Hanifah N