Obat untuk Ibu

Obat untuk Ibu

Obat untuk Ibu

Oleh: Cokelat

 

Aku meletakkan ponsel di samping laptop lalu kembali fokus pada tugas yang harus kuselesaikan. Laporan penjualan bulan lalu sudah harus ada di meja Bos siang ini. Baru sepuluh menit berkonsentrasi, ponselku berdering. 

Aku melirik nama yang tertera pada layar tanpa berniat menjawab panggilan itu. Dewi? Untuk apa adikku itu menelpon kembali? Apakah penjelasanku sepuluh menit yang lalu masih kurang jelas? Tak ada pilihan, aku harus menjawab teleponnya.

“Ada apa, Wi? Kenapa telepon lagi? Kurang jelas rincian obat Ibu yang Abang jelaskan tadi?” Aku mencecarnya dengan pertanyaan setelah menjawab salam. 

“Jelas, Bang. Dewi juga sudah telepon ke apoteknya. Sudah transfer, dan obat Ibu sedang diracik.” Suara Dewi yang menarik nafas panjang terdengar dari seberang sana.

Aku dan Dewi, kami dua bersaudara. Dewi tinggal di kota lain untuk menuntut ilmu—di salah satu kota terbesar di wilayah timur Indonesia. Sementara aku dan Ibu, tinggal di sebuah kabupaten kecil di provinsi lain yang berjarak sekitar tiga ratus kilometer dari tempat Dewi.  

“Lalu?” Aku mengernyit. Jika semua sudah beres, untuk apa anak itu menghubungiku? 

“Om Yasin tidak jalan hari ini, Bang. Sakit. Bagaimana caranya mengirim obat Ibu?” 

Aku memijat pelipis. Om Yasin adalah sopir angkutan antar provinsi yang sudah bertahun-tahun menjadi langganan kami jika ingin mengirim sesuatu, termasuk obat Ibu. 

Ibu, di usainya yang semakin senja, menderita beberapa penyakit dan harus mengkonsumsi berbagai jenis obat. Salah satunya adalah obat racikan yang hanya tersedia di apotek milik dokter syaraf langganan Ibu. 

“Bang, bagaimana? Obat racik Ibu masih tersisa berapa biji lagi?” 

“Satu. Hanya untuk malam ini. Besok malam, kalau tidak minum obat, Ibu pasti kesakitan.” Aku tiba-tiba merasa menyesal karena terlambat mengecek stok obat Ibu. 

“Ya, Tuhan …. “ 

“Ya, sudah, Wi. Nanti Abang cari cara. Kamu jemput saja obat Ibu kalau sudah selesai. Jangan lupa, obat tekanan darah dan kolesterolnya juga.” 

Setelah memutuskan sambungan telepon Dewi, aku menghubungi nomor Om Yasin. Selama ini, beberapa kali Om Yasin tidak berangkat saat kami membutuhkan jasanya: kadang-kadang karena dia sakit atau juga karena ada halangan lain. Jika hal itu terjadi, Om Yasin akan menyarankan kami untuk menggunakan jasa teman-temannya. Semoga hari ini ada teman Om Yasin yang berangkat.

Sayangnya, doaku tidak terkabul. Sebagian besar teman-teman Om Yasin bahkan sudah berminggu-minggu tidak bekerja mengangkut penumpang. Penumpang menurun drastis selama masa pandemi ini, begitu penjelasan Om Yasin tadi. Mereka akan menderita kerugian jika hanya mengangkut satu atau dua orang saja. 

Aku menyandarkan kepala pada kursi. Bagaimana ini? Jika tak minum obat itu, Ibu benar-benar akan menderita. Kedua kakinya, terutama di bagian telapak, akan terasa sakit dan berdenyut sepanjang malam. Jika sudah begitu, Ibu tak akan bisa tidur dan terjaga sampai pagi. Hal ini pernah terjadi, aku tak tega melihatnya. 

Tiba-tiba Anis, karyawan baru di kantor kami, masuk ke ruangan sambil menenteng sebuah paket. Dia mendekati Rina lalu menyerahkan paket itu. Rina memekik kegirangan, membuat hampir semua mata di ruangan ini tertuju kepadanya. 

“Eh, maaf … maaf. Aku sampai tak sadar. Masalahnya, aku tak menyangka pesanan aku yang dikirim dari luar pulau akan tiba secepat ini.” Rina tersenyum dan menganggukkan kepalanya beberapa kali. 

Astaga, betapa bodohnya aku! Tentu saja. Kenapa dari tadi aku dan Dewi tidak berpikir untuk menggunakan jasa pengiriman? 

Aku pindah ke kabupaten kecil ini sejak bertahun-tahun lalu saat belum ada satu pun perusahaan jasa pengiriman swasta yang beroperasi. Waktu itu, jika ingin mengirim sesuatu, sebagian besar penduduk di sini akan menitipnya pada sopir-sopir angkutan yang setiap hari bolak-balik mengangkut penumpang. Sekarang, daerah ini semakin berkembang. Banyak perusahaan-perusahaan yang membuka cabangnya di sini termasuk beberapa perusahaan jasa pengiriman dan logistik. 

Aku segera menghubungi Dewi. Dia sedang dalam perjalanan ke apotek untuk menjemput obat Ibu. Aku memintanya mengecek beberapa perusahaan jasa pengiriman yang melayani sampai ke kabupaten tempatku tinggal. Semoga saja Dewi menemukan jasa pengiriman yang tepat sehingga obat Ibu bisa tiba dengan cepat. 

Setelah menyerahkan laporan pada Bos, aku kembali menghubungi Dewi.

“Baru saja mau kutelepon, Bang. Dewi sudah dapat jasa pengiriman untuk mengirim obat Ibu. Insya Allah, besok sampai.” Suara Dewi terdengar bersemangat. 

“Serius?” Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. 

“Iya. Paling lambat besok sore obat Ibu sudah tiba.” 

“Syukurlah, Wi. Makasih, ya. Kamu pasti capek. Nanti uang jajannya semester depan abang tambah, deh.”

Dewi tertawa. “Abang baik banget, sih. Selalu berbagi dan memberi. Yah, memang sih, menyantuni anak yatim, kan, pahalanya besar.” Aku tahu, Dewi sedang menggodaku, seperti yang selalu dia lakukan.  

“Kita sama-sama anak yatim, kali. Memangnya bapak kita beda?” Kami tertawa bersama. 

Aku dan Dewi masih saling menggoda dan tertawa selama beberapa menit. Kami sangat lega, obat Ibu akan tiba tepat waktu. 

 

Kamar Cokelat, 31 Juni 2021

 

***

Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya. 

 

Editor: Nuke Soeprijono

 

Gambar: pexels






Leave a Reply