Semangkuk Bakso

Semangkuk Bakso

Oleh: Jemynarsyh

Editor: Inu Yana

 

Syarif sedang membersihkan gerobak baksonya di tepi teras ketika terdengar seruan memangil namanya dari arah belakang. Ia menoleh, terlihat Tono, tetangganya, membawa bingkisan dan menghampirinya dengan senyum semringah tanpa memakai masker. Syarif heran, kenapa warga sini seakan-akan abai dengan anjuran pemerintah, salah satunya yaitu memakai masker.

“Syarif, ini oleh-oleh buat kamu,” ucap Tono, suaranya agak bindeng seperti sedang flu.

Syarif masih menatap lekat Tono, ia sedikit mundur untuk berjaga jarak. “Terima kasih. Kamu sakit, Ton?” tanya Syarif seraya menerima bingkisan dari Tono.

“Cuma flu biasa, kecapean. Kemarin, kan,  ke luar kota ada acara keluarga.” Tono menjelaskan seraya menggosok-gosok hidungnya yang mampat.

Syarif hanya mengangguk.

***

Syarif menatap kosong pada gerobak baksonya. Matahari sudah di atas kepala, tetapi jualannya masih sepi pembeli. Lelaki yang memakai kaus merah itu menghela napas berat, diusapnya peluh yang menetes di dahi dengan handuk kecil yang selalu tersampir di pundaknya. Cuaca siang ini cukup terik, membuat embusan napasnya di balik masker terasa pengap.

Sejak daerah tempat tinggalnya dinyatakan zona merah oleh pemerintah setempat, banyak toko-toko dan pusat wisata ditutup. Warnet yang tak jauh dari tempat Syarif berjualan itu juga tutup dan kafe yang biasa ramai kini sepi tak ada pengunjung. Dua ruko itu terlihat seperti bangunan tua tanpa penghuni. Ya, sejak wabah korona menyerang dunia, banyak pedagang yang terkena imbasnya. Begitu pun yang dialami Syarif. Sudah beberapa bulan ini dagangannya tak pernah habis, padahal ia sudah mengurangi jumlah produksinya.

“Bang, baksonya satu, ya, dibungkus,” pinta ibu berjilbab cokelat yang baru saja menepikan kendaraannya di dekat gerobak bakso.

Syarif tersentak dari lamunannya, buyar sudah pikirannya tentang korona. Ia menoleh kepada sang pembeli lantas tersenyum. Meski senyumnya tak bisa dilihat, tetapi siapa pun akan tahu dari pancaran matanya yang tampak berbinar. Segera ia membuat pesanan ibu berjilbab cokelat itu dalam porsi yang besar agar pelanggannya senang dan berharap akan membeli lagi nanti.

***

Jalanan tampak lengang, padahal hari masih senja. Dengan pelan Syarif mendorong gerobaknya menuju rumah yang sudah tiga tahun ini ia tempati. Di persimpangan jalan, ia melalui musala yang terlihat sepi. Hanya ada dua motor di parkiran. Dari kejauhan terlihat hanya ada dua orang sedang melaksanakan salat Magrib.

 Lelaki berperawakan kurus itu menghentikan langkahnya setiba di rumah, lalu memindahkan peralatan dagangnya ke dapur. Setelah semua beres, ia menuju ruang tamu menghampiri Lastri, istrinya, yang sedang menidurkan sang buah hati. Terlihat bocah cilik berambut keriting itu terlelap pulas dalam pangkuan sang ibu.

“Seperti biasa, Bu,” ucap Syarif, memberitahukan hasil jualan kepada sang istri seraya duduk di sampingnya.

Lastri termangu. Ada rasa sesak mendengar apa yang baru saja diucapkan suaminya. Jika keadaan seperti ini terus, akan banyak kebutuhan yang tak terpenuhi. Wanita tiga puluh tahun itu menarik napas panjang, mengusap pundak sang suami berusaha saling menguatkan di tengah kondisi yang semakin sulit.

“Malam ini kita makan bakso lagi, ya, Pak,” kata Lastri memecah kesunyian.

Syarif menatap sang istri dengan sendu, lantas mengangguk. Tiap kali dagangannya tak habis, mereka akan makan malam dengan bakso.

“Semoga besok dagangan Bapak laris, ya, Bu.”

Lastri mengaminkan ucapan sang suami. Sesaat kemudian mereka saling pandang kala mendengar ketukan pintu. Merasa tak mengundang siapa pun, Syarif segera beranjak dari kursi dan membuka pintu. Tampak lelaki paruh baya berkaca mata dengan seulas senyum terukir di wajahnya yang mulai keriput.

“Pak RT?” tanya Syarif, dahinya mengernyit. Tak biasanya Pak RT berkunjung malam-malam, apalagi dengan kondisi yang seperti ini. Berbagai pikiran buruk melintas dalam benaknya. Syarif sedikit bergeser, menyilakan sang tamu masuk.

“Di sini saja, Pak. Saya hanya sebentar,” ucap Pak RT menolak tawaran Syarif seraya membenarkan letak kaca matanya.

Syarif mengangguk. Dua lelaki itu kemudian terlihat berbincang dengan serius. Syarif tertegun kala mendengar pernyataan dari lelaki tua berkaca mata itu, yang mengatakan bahwa ia dan keluarganya harus isolasi mandiri, sebab sebelumnya Syarif ada kontak langsung dengan si tetangga, Tono, yang baru saja dinyatakan positif COVID-19.

Pupus sudah harapan Syarif untuk berjualan besok. Dengan gontai ia melangkah menuju sang istri. Lastri yang mencuri dengar pembicaraan antara suaminya dan Pak RT hanya bisa pasrah, berusaha sehemat mungkin adalah jalan satu-satunya. Dan seperti malam-malam yang telah lalu, pasangan suami istri itu makan malam dengan bakso.(*)

Palangka Raya, 30 Mei 2021

 

Jemynarsyh. Gadis kelahiran Kalimantan yang suka kopi dan sedang belajar aksara.

Leave a Reply