Ruang Putih
Oleh : Alin Muzakky
Ruangan ini seperti tak berujung, seperti tak bertepi. Hanya terlihat warna putih sejauh mata memandang. Juga tak terlihat keberadaan barang apa pun. Benar-benar kosong.
Tunggu! Aku baru menyadari bahwa kini aku berdiri di atas sepotong karpet berwarna hijau. Warna hijau yang menyegarkan mata. Satu-satunya hal yang berwarna selain putih di tempat ini. Sepotong karpet ini berukuran kecil saja. Hanya sebesar satu keramik lantai di rumahku.
Sebenarnya sejak tadi aku berpikir, bagaimana caraku keluar dari tempat ini? Jelas saja, aku tak tahu bagaimana bisa aku tiba-tiba berada di ruangan antah-berantah ini. Caraku masuk saja aku tak tahu, apalagi cara untuk keluar. Aku ingin melangkah. Mencari jalan keluar dari ruangan yang tiba-tiba membuatku takut. Akan tetapi, sepertinya aku tak bisa melewati garis tepi dari sepotong karpet berwarna hijau ini. Bukan, bukan. Sejujurnya aku takut untuk melangkah.
Bagaimana jika hanya di atas karpet ini aku bisa berdiri? Dan sisi yang kukira lantai adalah sebuah jurang yang tak terdeteksi dasarnya. Lalu, langit-langit ini. Apakah tingginya sangat tinggi? Ataukah mungkin hanya sebatas ujung jariku ketika aku mengangkat tangan? Aku tak tahu. Juga sama sekali tak memiliki keberanian untuk memastikan itu semua.
“Hahaha.”
Aku menjengit kaget. Suara tawa menggelegar itu tiba-tiba saja terdengar, seperti memantul dari seluruh sisi ruangan ini. Apakah memang ruangan ini memiliki sisi-sisi yang padat, sehingga dapat memantulkan suara? Aku menoleh ke segala penjuru. Tetap saja nihil. Tak ada satu pun makhluk hidup yang tertangkap pandanganku.
“Si-siapa?”
Tak ada jawaban.
“Halo ….” Aku mulai bergidik ketika lagi-lagi tak ada jawaban, seluruh bulu kudukku mengirim sinyal untuk serentak berdiri. Selain itu, baru aku sadari bahwa suaraku tak memantul seperti suara tawa tadi. Pikiranku mulai memunculkan berbagai asumsi menyebalkan.
Bagaimana jika tempat ini adalah penjara kelas kakap yang berada di negeri antah-berantah? Tetapi bagaimana aku bisa berada di sini? Lalu, bagaimana jika aku selamanya tak dapat keluar dari tempat ini? Bagaimana jika aku mati kelaparan di sini?
Oke, cukup. Berhenti berpikir. Mungkin memang benar apa kata orang. Orang lapar pikirannya menjadi liar. Bisa-bisanya aku berpikir akan mati, padahal masih segar bugar begini. Hanya saja … aku merasa sangat lapar.
“Hahaha.” Suara tawa itu terdengar lagi. “Dasar manusia bodoh!”
Aku? Manusia bodoh? Emosiku mulai tersulut meski getar ketakutan masih terasa.
“A-aku tidak bodoh!” sangkalku memberanikan diri. Menantang pemilik suara untuk terus berbalas kata. Setidaknya agar aku tahu alasan untuk tetap berdiri di sini. Bukan berbaring di atas kasur empukku yang nyaman. Namun sialnya, tak ada balasan lagi. Kucoba merunut kejadian yang kualami hingga aku berakhir di tempat aneh ini.
Tak ada hal yang berbeda dari yang biasa kulakukan sehari-hari. Aku hanya berbaring nyaman sembari scroll-scroll akun media sosial yang kupunya, membalas beberapa pesan tak penting, lalu menatap lamat-lamat dalam waktu yang lumayan lama pada beberapa poster lomba menulis. Juga melihat status teman-teman yang mulai nyaman dengan kegiatan lama mereka. Kuembuskan napas pelan ketika mengingat bagian itu. Merutuki lagi diri sendiri yang terlalu takut untuk memulai.
“Aku tak memiliki bakat apa pun. Bagaimana aku dapat memulai sesuatu yang tidak memiliki masa depan yang pasti? Setidaknya … aku dapat berjuang dengan kemampuanku. Tapi, kan, aku tak memiliki kemampuan apa pun.”
“Aku memang tak berguna.”
Aku mungkin sudah gila. Berbicara sendiri di ruangan kosong yang entah apa tempat ini sebenarnya. Bahkan saat ini aku sudah duduk sambil memeluk lutut, berusaha memeluk diri sendiri.
“Aku tahu. Aku tahu. Aku harus mencintai diri sendiri untuk menemukan apa yang aku inginkan. Tapi diriku sendiri saja sudah tak berguna, payah, tak bisa diharapkan, bagaimana aku bisa menggantungkan harapan orang-orang di sekitar pada diriku yang payah ini? Sial, mengapa aku payah sekali sih. Merepotkan orang lain saja.”
Sesuatu yang bersinar mengganggu aktivitasku. Sinar itu menghilang beberapa saat. Tepat ketika aku telah sempurna berdiri. Mataku menyipit. Berusaha memperjelas penglihatan. Ah, ternyata ada sebuah benda lain yang muncul tepat dua meter di hadapanku.
Jus pisang!
Aku merasa kelenjar air liur berproduksi lebih banyak dari biasanya. Ah, jus pisang, aku suka sekali.
“Bagaimana caraku mengambilnya?” Aku berputar-putar di atas karpet kecil itu sembari memikirkan cara untuk meraih jus pisang yang sangat menggiurkan itu.
“Ya, tinggal diambillah. Susah banget. Tinggal jalan, terus hap, dapatlah ia dalam genggaman!” seruku senang. Namun, sisi lain dalam hatiku turut bersuara.
“Hai, kamu enggak tahu di luar karpet hijau ini kamu bisa tetap berdiri atau enggak. Jangan ceroboh dong! Kalau kamu jatuh terus shodaqallahul ‘adzim, kan, enggak lucu. Enggak usah ke sana. Di sini aja. Yang penting kamu masih hidup, cukup.”
Aku mengangguk setuju pada kata hatiku yang satu itu. Bisa-bisanya aku mau mengorbankan nyawa demi hal yang sepele seperti itu.
“Ini jus pisang, woi! Keajaiban dunia kesekian yang enggak banyak orang bisa merasakan. Ambil ayok, ambil!” Aku memejamkan mata. Frustrasi dengan dua sisi hatiku sendiri.
“Hei, kalau kamu nggak mau ambil, nanti diambil orang, loh. Ayo ambil!” Perutku ikut berbunyi bersamaan dengan berhentinya suara hati itu. Seolah mendukung kakiku untuk melangkah keluar dari karpet hijau ini.
Tiba-tiba suara tawa itu terdengar lagi. “Dasar manusia bodoh. Kalau ingin itu, ya ambil saja. Kenapa terus-menerus memikirkan hal-hal yang belum pasti? Kalau kamu tidak mau mencoba. Siapa yang tahu?”
Aku mendongak. Berusaha mendeteksi asal suara yang sedari tadi mengganggu ketenanganku itu. Sedang dua sisi hatiku terus berseru sekarepe dewe. Aku pikir benar juga apa yang suara misterius itu katakan. Kalau aku tidak mencoba, aku tidak tahu apakah akan berhasil meraih jus pisang kesukaanku itu atau tidak.
Tanpa sadar, sebelah kakiku sudah selangkah melewati tepi karpet hijau mungil ini dan menapak jejak pada sisi putih di luar karpet. Aku terkesiap. Buru-buru kutarik lagi sebelah kakiku. Suara yang sedari tadi melarangku untuk melangkah seketika terdiam.
“Wah, benar-benar bisa dipijak. Ayo lanjutkan terus!” seru suara hatiku yang satunya. Aku bimbang. Tapi pikiranku mengatakan bahwa hal ini patut dicoba. Jadi aku kembali menapakkan sebelah kaki di sisi putih luar karpet hijau yang semula aku pijak.
Aman. Bisa dipijak tanpa terasa rapuh. Jadi kuayunkan yang sebelah lagi hingga kini aku telah sempurna berdiri di luar karpet hijau tempatku berdiri tadi. Aku menoleh ke belakang. Pada karpet hijau yang kutinggalkan. Aku terkejut. Di atas karpet hijau itu kini berdiri kedua orangtuaku yang sedang tersenyum haru. “Semangat, Nak. Lanjutkan langkahmu. Kami akan selalu mendukungmu dari belakang.”
Tanpa terasa mataku mulai berembun. Melihat kedua orangtua yang kusayangi berkata seperti itu membuatku sedih. Tapi tak dapat aku memungkiri bahwa api semangat dalam hatiku semakin berkobar.
“Aku akan terus melangkah!” tekadku.
Meski beberapa kali langkahku terasa bergoyang, akhirnya aku berada tepat di depan jus pisang kesukaanku. Aku menoleh kepada Ayah dan Ibu.
“Yey, aku dapet! Ayah, Ibu, aku dapet jus pisangnya! Aku bisa berjalan di atas sisi putih ini!” seruku bahagia.
Ayah dan Ibu tersenyum bangga. Mengacungkan dua jempol mereka untukku, sementara aku sudah duduk di atas kursi yang muncul entah sejak kapan, sambil meminum sedikit-sedikit jus pisang yang terasa sangat segar.
Tiba-tiba muncul sebuah tulisan di langit-langit ruangan.
Kamu Berhasil Memulai Langkah untuk Keluar dari Zona Nyaman. Silakan Terapkan Motivasi Anda Tadi pada Kehidupan Nyata, dan Raihlah Sukses Anda!
Aku terdiam. Zona nyaman? Jadi, karpet hijau tadi ….
**
Kubuka mata perlahan. Sepertinya tadi aku ketiduran. Kulirik jam di samping pintu kamar. Baru pukul sepuluh lebih lima. Tapi, kenapa rasanya mimpi tadi lama sekali—Tunggu! Berarti tadi aku bermimpi?! Rasanya nyata sekali.
Kulihat ponsel yang tergeletak di samping boneka kodok kesayanganku. Layarnya masih menyala. Berarti memang benar tidurku tadi sebentar saja. Tak lebih dari sepuluh menit.
Ingin menjadi penulis hebat? Mari belajar bersama kami!
Ingin menjadi pengusaha sukses yang berdiri di atas kaki sendiri? Mari bergabung bersama kami dalam “Seminar Wirausaha: Meraih Impian dengan Usaha Sendiri”
Hatiku tergerak melihat dua postingan yang secara kebetulan muncul di layar beranda salah satu media sosialku. Aku mungkin sama sekali tak memiliki bakat ataupun kemampuan. Namun, aku bisa belajar. Ya, aku akan berusaha. Aku harus keluar dari zona nyaman ini dan melawan segala ketakutanku yang sebenarnya tak nyata.
Baiklah, aku akan melakukannya.(*)
Ponorogo, 31 Mei 2021
Alin Muzakky adalah pribadi yang sedang dalam perjalanan memperbaiki hati. Belajar melangkah meski tertatih. Beruntung banyak tangan-tangan yang bersedia membantu berdiri ketika ia terjatuh.
Editor : Rinanda Tesniana