Salah Sangka

Salah Sangka

Salah Sangka

Oleh: Elly ND


Namanya Amira Putri. Teman-temannya biasa memanggilnya Ami. Gadis manis berambut sebahu itu baru lima bulan merantau ke kota. Bersama kedua temannya, Ami memutuskan mengadu nasib selepas lulus SMA.

Hari ini, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima belas menit. Ami, Restu dan Tati yang mendapat shift sore, baru saja menutup toko tempat mereka bekerja. Rasa lelah dan pegal setelah seharian bekerja membuat Ami ingin segera beristirahat.

“Ti, aku duluan, ya.” Sembari memasang resleting jaket, Ami mendatangi Tati yang malam itu bertugas menghitung uang hasil penjualan. “Perutku kram lagi ini,” tambah Ami. Tangannya menekan perut bagian bawah yang terasa nyeri.

“Iya, Mi. hati-hati di jalan. Kami sebentar lagi juga pulang,” jawab Restu yang kebetulan berdiri di rak dekat kasir.

“Eh, kamu lagi datang bulan, Mi?” tanya Tati, sementara tangan perempuan itu masih sibuk menghitung uang dan memasukkannya ke dalam dompet khusus.

“Iya, nih. Padahal udah minum pereda nyeri, tapi masih kram.”

“Oh, ya sudah. Nanti langsung istirahat aja, Mi.”

“Iya.”

Setelah menggeser pintu harmonika agar memudahkan untuk keluar dari toko, Ami berpamitan sekali lagi pada kedua temannya dan bergegas untuk pulang.

Suasana jalanan tampak lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Ditambah lagi, lampu yang biasanya menerangi meja dan kursi yang berada di depan toko telah dimatikan. Meskipun ada dua lampu yang terisa di pojok, itu tak membuat suasana temaram lantas hilang.

Langit tampak gelap. Bintang-bintang yang biasa berkelap-kelip seolah bersembunyi. Dari kejauhan terdengar suara guntur, mengisyaratkan sebentar lagi akan turun hujan.

Ami merapatkan jaket yang dipakainya, mencoba menahan dingin yang semakin menusuk. Angin malam yang berembus terasa dingin membelai kulit. Entah mengapa malam ini tak seperti biasanya.

Asap dari sate yang sedang dibakar, terbang terbawa angin. Aromanya membuat Ami merasa lapar. Sebelum melanjutkan perjalanan, ia memutuskan untuk membeli sate sebagai menu makan malamnya. Penjual sate yang mangkal tidak jauh dari toko, menjadi tujuannya.

“Bang, satenya dua porsi ya, dibungkus. Lontong sama sambalnya dipisah aja.”

“Oke, Neng,” jawab Abang penjual sate. Dengan cekatan, ia menyiapkan dagangannya.

Tidak menunggu lama, dua porsi sate sudah terbungkus rapi dalam plastik.

“Makasih, Bang.”

Rumah kontrakan yang ditempati Ami berada tidak jauh dari toko. Jaraknya kurang dari satu kilometer dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Pos ronda di depan gang yang biasanya ramai oleh bapak-bapak malam ini terlihat kosong. Mengandalkan penerangan dari rumah warga, Ami mempercepat langkah untuk segera sampai ke rumah.

Lima puluh meter dari pos ronda, mendadak kaki Ami terhenti, seolah ada yang menahan langkahnya. Perlahan bulu kuduknya mulai meremang. Hawa panas terasa menjalar dari punggung menuju belakang kepala. Ami mengedarkan pandangan dan memerhatikan sekitar. Sepi. Kemudian ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Baru beberapa langkah, sekelebat bayangan putih melintas dan kemudian menghilang di rimbunnya tanaman perdu. Detak jantung Ami kembali bekerja dua kali lebih cepat. Perasaan takut mulai mendera, terlebih saat ia teringat seminggu yang lalu ada yang meninggal di gang sebelah.

Ah, mungkin cuma perasaanku aja, ucapnya dalam hati.

Tidak ingin berpikiran yang aneh-aneh, setengah berlari, Ami melanjutkan perjalanannya.

Tepat di sebelah kanan jalan, sebelum belokan menuju rumahnya, langkah Ami kembali terhenti. Pandangannya terpaku pada sosok berbaju putih yang memiliki bentuk badan sedikit berisi, tengah berdiri menghadap rumah kosong.

“Sepertinya seorang perempuan,” batin Ami.

Penasaran bercampur dengan rasa takut, diliriknya bagian bawah sosok itu hanya untuk memastikan apakah menyentuh tanah atau tidak. Seperti sadar ada yang memerhatikan, perempuan itu menoleh. Kaki Ami mundur beberapa langkah melihat siapa yang kini ada di hadapannya.

“Eh, ada Neng Ami. Baru balik kerja, Neng?” Berjalan dengan langkah angkuh, perempuan itu mendatangi Ami yang terlihat ketakutan.

“I-iya, Bu Ratih.” Terbata, Ami menjawab pertanyaan Bu Ratih.

“Hehehe … Eneng kaget ya, liat ibu pake baju putih-putih gini? Gak usah takut, Neng.”

“Ng-nggak kok, Bu. Tadi cuma kaget aja, kirain siapa malam-malam di sini.”

“Oh, begitu. Ibu abis selamatan di gang sebelah, Neng. Pas lewat tadi ada liat Si Oren masuk rumah itu,” kata Bu Ratih sambil menunjuk rumah kosong. “Udah malam, yuk kita jalan bareng-bareng aja,” lanjut Bu Ratih.

“Iya, Bu.”

Perasaan lega dirasakan Ami. Sebab sosok yang tadi dianggapnya makhluk halus, ternyata adalah Bu Ratih. Pemilik rumah kontrakan tempat ia tinggal. []

Kota Cantik, 23-05-21

Elly ND, seorang perempuan penikmat bakso dan kopi susu.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply