Menjemput Hari Kepastian

Menjemput Hari Kepastian

Menjemput Hari Kepastian

Oleh: Laely Maulidyah

 

Jangan biarkan waktu berlalu tanpa cerita.

Rabu adalah hari kelahiranku. Hari di mana Allah mempertemukanku dengan orang-orang tercinta di bumi.

“Naufal Kamil bin Ahmad Abbas, kamu sudah siap, ‘kan?” tanya Malaikat Izrail ringan.

“Siap ke mana? Dan Anda siapa?” jawabku heran.

“Saya Malaikat Izrail, saya akan mencabut nyawamu beberapa jam lagi!” ucapnya mulai tegas.

“Hah?” Aku termenung.

“Iya, saya Izrail yang diutus Allah untuk mencabut nyawamu,” jelasnya.

“Oke … aku bersedia, tapi jangan hari ini, dong!” pintaku kepada Malaikat Izrail.

“Nggak. Nggak bisa, saya nggak ada waktu lagi, saya hari ini ada jadwal ketemuan sama bidadari,” ucapnya kepadaku.

“Hah? Ketemu bidadari?” tanyaku heran.

“Iya.”

“Ya udah, gimana kalo setelah ketemu bidadari aja?”

“Hmm, nggak bisa! Setelah itu, saya harus rapat bersama beberapa malaikat di langit selama beberapa hari.”

“Ya udah, setelah rapat selesai aja! Bisa, yah? Boleh, ‘kan? Saya janji nggak akan minta apa pun lagi.”

“Hhhmm, oke, deh, saya akan selesai rapat sekitar sepuluh hari lagi. Oh, ya, nanti saya akan konfirmasikan kepada Malaikat Munkar dan Nakir dulu, ya, dan bakda ashar saya akan kabarkan padamu.”

Huft, huft, huft.

“Jam berapa ini?”

Aku terbangun dengan keringat bercucuran dan hampir membasahi seluruh kain yang digunakan untuk menyelimuti bantal. Tak lama, aku bergegas untuk mengambil air wudhu dan segera pergi mengajar anak-anak yang mengabdikan dirinya di pondok pesantren asuhan kedua orang tuaku.

Dalam proses pembelajaran yang berlangsung di pesantren, aku masih memikirkan mimpi yang tadi kualami. Namun, kegiatan belajar di sini tetap harus berjalan. Ah, mimpi itu, kan, cuma bunga tidur, mana mungkin jadi kenyataan.

Adzan Ashar berkumandang, tandanya aku harus menyelesaikan pembelajaran bersama para santri pada siang itu dan mengajak mereka sholat berjemaah bersama Bapak di masjid. Seusai sholat Ashar, aku memasuki kamar untuk sekadar beristirahat sebentar dan dilanjutkan dengan mengulang hafalan yang akan diujikan hari ini di depan kedua orang tuaku.

Tiba-tiba terdengar suara, persis seperti yang terdapat di dalam mimpiku. Malaikat Izrail, ya … benar, Malaikat Izrail yang akan mencabut nyawaku. Aku pasrah, seluruh bulu kuduk merinding ketakutan.

Lalu, ia mulai berbicara denganku, “Hai, Naufal, saya telah berbicara dengan Munkar dan Nakir, mereka menyetujui permintaanmu tapi dengan syarat.”

“Hah? Bagaimana maksudnya, Malaikat Izrail?” tanyaku kebingungan.

“Iya, mereka akan memundurkan jadwalmu untuk menanyakan amal perbuatan selama di dunia,” jelas Izrail.

“Iya, tapi kamu harus memenuhi syaratku terlebih dahulu,” sahut Malaikat Munkar yang berada bersama Izrail.

“Apa itu, Malaikat?” tanyaku tegang.

“Kegiatan apa yang akan kamu lakukan selama sepuluh hari itu? Maksiat ataukah ibadah? Kamu harus memilih salah satunya!” Malaikat Munkar membentak.

Hhmmm, gimana ya?”

“Ayo jawab! Kita nggak punya banyak waktu, kita mau ketemuan sama bidadari.”

“Iya, karna aku bosan hidup baik terus, aku akan melakukan maksiat selama masa tungguku, tapi aku mau pergi dari tempat ini.”

”Oke, kita setuju. Baguslah, kamu akan meringankan tugasku nanti.”

“Oh iya, karena aku meringankan tugas engkau, aku minta reward, yah!” pintaku kepada Malaikat Munkar.

“Oke, bisa diatur nanti, sehari sebelum kepulanganmu ke alam akhirat, aku akan menemuimu.”

“Siap, ditunggu!”

Sedetik kemudian, suara itu menghilang dan seketika hatiku kembali tenang. Kemudian, seorang santri membangunkan lamunanku melalui ketukan pintu kamar untuk mengingatkan jadwalku mengajar.

***

Aktivitas demi aktivitas kulakukan, agar bisa melupakan obrolan bersama suara yang aneh itu. Malam harinya, aku berinisiatif untuk meminta izin ke suatu tempat bersama seorang teman kepada kedua orang tua selama sepuluh hari. Mereka mengizinkannya.

Keesokan harinya, aku membawa mobil dan uang secukupnya untuk sekadar melakukan hal yang belum pernah kulakukan. Malam pertama, aku bertemu teman lama yang bernama Devid. Ia terlihat mapan. Ia pemilik salah satu kafe ternama di kota ini.

Devid mengajak berbincang dan mengenalkanku kepada seorang perempuan muda yang berparas jelita. Perempuan itu bernama Syafa. Ia berhidung mancung sempurna. Kami bertukar cerita hingga larut malam. Aku diminta untuk mengantarkannya. Kemudian, aku menurutinya.

Hari kedua, aku kembali menemui kawanku, Devid. Ia memintaku untuk menemaninya menuju sebuah kantor tertentu. Aku pun menyanggupinya. Pada waktu senja menjelang tergantikan oleh gelap, kami beranjak menuju tempat yang dituju. Aku sengaja menunggu di dalam mobilku hingga tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa barang-barang yang tak terbungkus rapi di dalam sebuah plastik. Aku tak menanyakan apa isi dari bungkusan yang ia bawa, tetapi ia terlihat sangat gelisah ketika membawanya ke dalam mobil.

Malam harinya, aku kembali menemui Syafa yang saat itu memintaku untuk menjemputnya di sebuah hotel.

Jika telah sampai di depan kamarku, tolong kabarkan, ya! pinta Syafa pada pesan singkat yang ia kirim melalui Wa.

Iya, jawabku singkat.

Dua puluh menit kemudian, kukabarkan kepadanya bahwa aku telah berada di depan kamarnya. Sedetik kemudian, ia membuka pintu dengan senyuman yang mampu menyihir siapa pun yang melihatnya—dan aku termenung.

“Kenapa? Ada yang salah denganku?” tanya Syafa mengagetkan.

“Nggak, kamu cantik. Ayo, kita pergi!” ajakku ringan.

“Sebentar, sini masuk dulu ke kamarku!” ajaknya lembut.

“Ngapain? Mendingan pergi!” jawabku menolak.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Fal!” paksa Syafa.

“Kan, bisa di sini juga, atau nanti di tempat makan?”

“Nggak bisa, aku maunya sekarang! Kalo nggak mau, ya sudah, kamu pulang aja!” ketus Syafa.

Hhmm.”

“Gimana? Nggak bisa?” tanyanya memastikan.

“Ya sudah, kali ini aku turuti,” jawabku pasrah.

Kemudian, aku mengikuti langkah kakinya. Aku diminta duduk di salah satu kursi dan ia memberikan segelas minuman. Ia memaksaku untuk meminum minuman tersebut, dan aku pun menurutinya walaupun hanya sedikit.

Tak berselang lama, aku merasa seperti melayang. Lalu kukatakan hal itu kepada Syafa. Ia menyuruhku untuk tidur di kamarnya dan aku mengiyakannya karena merasa sudah tak kuat lagi jika harus melangkah.

Keesokan harinya, aku terbangun dan ketika itu pula aku terkejut. Syafa berada di sampingku dengan keadaan yang tidak aku pikirkan sebelumnya. Ia tidak mengenakan sehelai pakaian pun dan begitu pun denganku. Kemudian aku segera membangunkannya. Aku segera mengenakan pakaian. Ia terbangun dan mencegahku lagi, aku menolaknya, tetapi aku tak bisa mengelaknya karena pintu kamar masih terkunci. Kemudian, ia memintaku untuk mengabulkan permintaannya jika aku ingin keluar dari kamarnya.

“Kamu harus janji akan menuruti permintaanku, ya, kalo kamu mau keluar dari kamarku!” bentak perempuan berhidung mancung tersebut.

“Apa?”

“Kamu harus menemaniku setiap malam, walau hanya sedakar mengobrol.”

“Nggak!”

“Ya sudah, kamu nggak akan bisa keluar dari sini!” bentak Syafa.

“Oke, aku turuti permintaanmu. Besok aku kembali ke sini, puas!” jawabku membentak.

“Baguslah, kalo kamu bohong, nanti akan tau akibatnya!” ancamnya.

“Iya, mana kuncinya?”

“Tuh, di dalam lemari!” katanya sambil menunjuk lemari kecil yang berada di dekat kursi.

Sedetik kemudian, aku meninggalkannya. Sejak saat itu, aku benci diriku. Aku takut sama Allah, bagaimana jika Ia sangat membenciku?

Selepas dari hotel yang disewa oleh Syafa, aku kembali ke hotel yang kusewa selama sepuluh hari dan melakukan sholat untuk menebus kesalahan, hingga hati merasa sedikit tenang.

Pada hari berikutnya, aku memulai berjaga jarak dengan Syafa. Namun tak dapat dimungkiri, parasnya memang sangat cantik hingga tak jarang ketika melihat wajahnya, aku selalu termenung. Ia kembali mengajakku berbincang hingga larut dengan dilengkapi minuman yang tak asing, dan aku kembali memutuskan untuk menemaninya tidur di dalam ruangan yang sama.

Hari berganti hari, aku melakukan hal yang sama hingga tiba saatnya pada hari kesembilan berada di luar rumah. Pagi itu, seusai aku mandi dan merapikan kamar, tak berselang lama, tiba-tiba aku ingat tentang perjanjian Malaikat Munkar denganku, ia akan menemuiku pada hari kesembilan untuk memberikan reward karena telah meringankan tugasnya.

Detik demi detik berlalu hingga berubah menjadi hitungan jam, tepat pada pukul empat sore saat aku hendak bersiap menemui Syafa, aku menemukan ide untuk mengajukan sebuah permintaan kepada Malaikat Munkar.

Pada pukul 4:20 PM, tiba-tiba terdapat angin yang menyejukkan dan diikuti oleh suara yang tak asing bagiku, yang tak lain dan tak bukan ialah suara itu lagi. Ia tanpa basa-basi menanyakanku, “Reward apa yang kau inginkan?”

“Aku ingin kembali kepada kedua orang tuaku.”

“Untuk apa?”

“Aku ingin mati di depan orang tuaku,” ucapku lirih.

“Baik, saya lihat dulu catatan tempat kematianmu yang berada di tangan Izrail.”

Tak berselang lama, Malaikat Munkar memperbolehkanku untuk pulang. Sedetik kemudian, aku mengemasi barang-barang dan segera bergegas untuk menemui orang tuaku. Tiga jam perjalanan, hatiku sangat gembira, tetapi sedih juga karena aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Setibanya di rumah, aku segera meminta maaf kepada kedua orang tua, seluruh dewan guru, dan kepada seluruh santri agar kesalahan yang pernah diperbuat dimaafkan. Kemudian, aku mandi dan memutuskan untuk tidak tidur agar bisa bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat.

Keesokan harinya, seusai sholat Shubuh, aku membantu santri melakukan piket harian memasak, tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan meminta seorang santri untuk mengantarkanku ke kamar. Beberapa detik setelah aku rebahan, getar suara malaikat muncul dan ia mengatakan akan mencabut nyawaku.(*)

Cirebon, 31 Mei 2021


  • Laely Maulidyah. Seorang murid dari siapa saja yang memberikanku setetes ilmu sekalipun.

 

 

 

Leave a Reply