Bunda, Mengapa Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?

Bunda, Mengapa Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?

Bunda, Mengapa Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?

Oleh: Cici Ramadhani

 

“Abang … Adek … ayo, tidur,” panggilku kepada kedua buah hati yang masih asik bermain di ruang keluarga.

“Abang masih mau main,” jawab si Abang. Sementara si Adek sudah beranjak, berjalan ke arahku.

“Adek lupa, ya?” tanyaku. “Ayo, simpan dulu semua mainannya. Buku-bukunya letak lagi di lemari, tasnya juga simpan di tempatnya,” titahku.

Si Adek kemudian berbalik membenahi semua mainannya, tentunya dengan asal-asalan.

Anak wedokku itu baru berusia empat tahun, tetapi tubuhnya tinggi besar seperti anak berusia tujuh tahun. Jika sudah bermain, semua mainan dan buku dia keluarkan dari lemari sehingga ruang keluarga yang sekaligus ruang tamu itu menjadi berantakan sekali.

Lain hal dengan si Abang. Anak lanangku itu berusia tujuh tahun, dan tinggi badannya seperti anak berusia sembilan tahun. Si Abang sangat suka menggunting kardus bekas. Hasil guntingannya nanti akan dia pamerkan padaku atau pada ayahnya.

“Lihat, Ayah Bunda, Abang buat senjata. Senjata apa ini namanya, Yah?” tanyanya sambil memegang hasil kreasinya.

“Dari bentuknya seperti senjata laras panjang,” jawab ayahnya.

“Keren, kan?” tanyanya dengan mata berbinar.

“Keren, dong,” pujiku dan suami serempak.

Saat melihat si Adek sudah mau selesai berbenah, perhatianku beralih pada si Abang.
“Abang juga beresin ini sampah-sampah kardusnya. Buang ke tempat sampah. Sudah waktunya tidur, Nak. Mainnya besok lagi, ya.”

“Besok, kan, Abang gak sekolah, Bunda,” rengeknya.

“Iya, tapi kalau Abang tidur lama, besok dibangunkan salat subuhnya susah, loh.”

Akhirnya si Abang menuruti kata-kataku.

Meskipun anak-anak sudah mulai besar, tapi kedua buah hatiku masih tidur satu kamar denganku dan suami. Pernah aku mencoba membujuk si Abang untuk tidur sendiri, tetapi dia tidak mau, takut katanya. Akhirnya, setiap malam aku akan tidur di antara mereka berdua.

“Bunda, kenapa surga di bawah telapak kaki ibu?” tanya si Abang tiba-tiba setelah selesai memimpin doa tidur.

Aku terkejut. “Dari mana Abang dengar?” tanyaku penasaran.

“Dari TV, Nda,” jawabnya.

Ya, mungkin dari salah satu kartun yang ditontonnya. Entah Ipin Upin, atau Omar Hana, pikirku.

“Kenapa surga di bawah telapak kaki ibu?” Aku mengulang pertanyaan si Abang sambil menoleh. Kulihat dia sangat ingin tahu jawabannya.

“Itu karena Allah sangat memuliakan seorang ibu. Bahkan ketika sahabat Rasulullah bertanya, ‘Ya, Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku muliakan?’ Rasulullah kemudian menjawab, ‘ibumu.’. ‘Lalu, siapa lagi?’ tanya sahabat Rasulullah. ‘Ibumu,’ jawab Rasulullah. ‘Siapa lagi?’. ‘Ibumu, kemudian ayahmu.’. Tiga kali Rasulullah menjawab ibumu, setelah itu baru ayahmu,” jelasku.

“Kenapa sampai tiga kali, Bunda?” tanya si Abang sambil tangannya terus mengintilin telingaku. Sedangkan si Adek matanya sudah seliweran, tetapi terlihat tetap tertarik mendengar ceritaku.

“Itu karena ibu mengandung anaknya selama sembilan bulan, kemudian berjuang melahirkannya. Setelah lahir, ibu mengurus anaknya sampai besar,” jawabku dengan nada naik turun serta gerakan tangan.

Hal ini kulakukan agar anak-anak tertarik mendengar penjelasanku dan benar-benar terekam dalam memorinya.

“Kalau Ayah?” tanyanya lagi.

“Kalau Ayah tugasnya bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Memberi kita rumah, agar terlindung dari panas dan hujan. Makanan dan pakaian yang kita dapat itu hasil gaji ayah bekerja selama sebulan.”

“Sebulan itu apa?”

“Sebulan itu tiga puluh hari,” jawabku.

“Banyak, ya, Bunda?” tanyanya lagi.

“Banyaklah.”

“Waktu Abang dalam perut Bunda, Bunda kesakitan?” tanyanya lagi.

“Sakitlah. Apa yang Bunda makan, langsung dimuntahkan. Sampai Bunda minum pun muntah. Bahkan muntahan Bunda mengeluarkan darah karena udah enggak ada lagi makanan yang dimuntahkan.” Kulihat wajahnya menjadi sendu, seperti menaruh iba padaku.

“Abang mau lihat perut Bunda,” ucap sambil terduduk ingin meraba perutku.

“Untuk apa?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

“Abang mau lihat bekas lahir Abang di perut Bunda,” katanya serius.

Aku yang mendengarnya tergelak. Tak habis pikir dari mana dia mengetahui segala yang dia tanyakan malam ini.

“Cepatlah, Bunda. Abang mau lihat perut Bunda,” rengeknya sambil mengguncang selimutku.

“Bunda melahirkan Abang enggak dari perut, Nak. Kalau dari perut itu namanya operasi.”

“Jadi, dari mana?” tanyanya penasaran dan berhasil membuatku gelagapan.

Aku tidak mau memberikan suatu jawaban kebohongan kepada anakku. Akan tetapi, jika kuberikan jawaban yang jujur takutnya dia makin penasaran pula. Ah, dilema.

“Jadi, dari mana Abang lahir, Bunda?” desaknya.

“Abang lahir dari kokocit Bunda,” jawabku.

Kokocit adalah sebutan untuk alat kelamin. Bukan aku yang memberi nama itu, tapi si Abang sendiri saat berusia hampir dua tahun. Saat itu, setiap mengganti popoknya yang penuh, aku selalu bilang, bau lecit. Jadilah dia menyebutnya Kokocit.

“Loh, tapi Abang besar, Nda. Apa muat?” tanyanya heran. Raut wajahnya menunjukkan dia sedang berpikir keras, mungkin juga membayangkannya. Aku tersenyum sambil menggeleng pelan.

“Abang besarnya setelah keluar dari kokocit Bunda,” jawabku.

“Kok, gitu?” Dia memicingkan sebelah matanya.

“Iya, karena kena angin,” jawabku asal.

“Sakit, Bunda, saat melahirkan Abang?” tanyanya lagi. Kali ini dia kembali merebahkan badannya di sampingku. Sedangkan adiknya sudah tertidur pulas.

“Sakit kali,” jawabku. “Dari malam Bunda nahan sakit sampai pagi. Ayah aja tangannya sampai mau Bunda gigit.”

Dia tergelak. “Ayah enggak marah, Nda?”

“Enggak, lah. Malah Bunda yang marah-marah sama Ayah karena berhenti ngipasin Bunda. Bunda, kan, kepanasan. Eyang sampai bolak-balik telepon Bunda, nanya kabar Bunda. Mengingatkan Bunda untuk selalu salawatan dan bersabar menahan sakit. Makanya Abang harus sayang sama Bunda. Bunda penuh perjuangan melahirkan Abang.”

Si Abang langsung memelukku. “Maafkan Abang, ya, Bunda, karena tadi enggak dengar cakap Bunda.”

“Iya, Bunda maafkan. Tapi besok jangan diulangi. Abang harus dengar cakap, Bunda, ya,” pintaku sambil mengecup keningnya. si Abang juga membalas menciumi kedua pipiku.

“Saat Abang kecil, Abang pernah sakit, Nda?”

“Pernah. Tapi besok Bunda ceritakan, ya. Sekarang Abang tidur, biar besok bisa bangun salat Subuh dan mendoakan Ayah Bunda.”

Meski dia ingin menolak, tetapi akhirnya dia urungkan karena aku pura-pura tidur. Kerena jika kujawab, si Abang pasti memiliki daftar pertanyaan yang cukup panjang dan terkadang membuatku kelabakan. Dari sedikit celah mataku, dapat kulihat ekspresi kekecewaannya. Oh, anak lanangku. Tidak terasa, kau cepat sekali tumbuh besar. (*)

 

Cici Ramadhani, Ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply