Primordial

Primordial

Primordial

Oleh: Ika Marutha

 

Padang pasir tandus, udara panas, matahari yang bersinar sepanjang musim, tak ada malam di Planet G72. Sudah 82 jam 47 menit Borkhu menjejakkan kakinya di sana, mencari-cari eksistensi yang bisa dimaknai sebagai kehidupan.

“Bumi kepada Borkhu, Bumi kepada Borkhu.” Alat komunikasi yang dibawanya menjerit parau.

“Borkhu kepada Bumi. Ganti.”

“Waktu habis, segera kembali. Ganti.”

“Sepuluh menit lagi. Ganti.”

“Borkhu ….”

Borkhu memutuskan sambungan. Dia tidak membutuhkan pengalihan apa pun saat itu. Sesuatu yang warnanya sangat mencolok di hamparan muram padang pasir telah menggelorakan jiwanya, membakar langkahnya. Akhirnya!

“Halo, Cantik,” gumam Borkhu begitu dia sampai di hadapan benda dengan warna mencolok itu.


Entitas itu serupa helaian selendang yang berpendar keunguan, melayang di udara, bergerak-gerak melambai, mengingatkan Borkhu akan tarian Enhalus acoroides. Dengan kecermatan dan kehati-hatian yang tepat, Borkhu memindahkannya ke dalam bejana kaca besar yang sengaja dia siapkan sebelumnya di dalam ranselnya.

“Siapa namamu, Cantik?” Borkhu memandangi spesimen itu dari balik bejana kaca. “Violet. Akan kupanggil kau demikian.”

***

Bumi, setelahnya, di sebuah laboratorium swasta.

“Kau harus pulang, Borkhu.” Manyeruke, asisten sekaligus kekasih Borkhu, seorang perempuan berkulit selegam kopi, berkata dengan nada prihatin.

Borkhu sudah tiga hari tidak tidur. Rambut pirangnya yang ikal bergerombol seperti sarang burung di atas kepalanya. Wajahnya pucat. Dahinya senantiasa mengernyit, sampai-sampai membuat Manyeruke khawatir.

Borkhu harus berhenti. Manyeruke sudah menyiapkan satu dosis suntikan obat bius di balik punggungnya jika Borkhu masih menolak untuk istirahat.

“Violet melemah. Ada yang salah. Aku harus memulai semuanya dari awal.” Borkhu meraih botol berisikan kapsul suplemen pengganti makanan di dekatnya, mengambil beberapa butir, lalu menelannya tanpa air.

“Kumohon Borkhu, kau harus pulang dan makan makanan sungguhan.” Manyeruke melirik ke arah kotak makan berisi nasi kari yang masih utuh dan mulai berbau.

Brak!

Borkhu melempar botol kapsul ke arah Manyeruke yang dengan sigap mengelak. Botol itu jatuh ke lantai, memuntahkan semua isinya. Manyeruke tahu Borkhu akan berbuat begitu, sebab itu bukanlah pertama kalinya Borkhu melemparkan barang-barang kepadanya.

“Pergi kau dari sini! Kau membuyarkan konsentrasiku.” Borkhu menggeram sambil mendelik dengan bola mata yang merah.

Manyeruke menghela napas. Tangannya yang sedari tadi terlipat di balik punggung, terasa semakin berkeringat dengan jarum suntik dalam genggamannya. Borkhu sudah gila, pikirnya. Manyeruke merindukan Borkhu yang dulu. Ilmuwan tampan dengan senyum nakal kekanakan. Manyeruke mencintai Borkhu yang dulu. Violet telah mengubah Borkhu.

Borkhu membalikkan punggung, matanya berkilat-kilat memandangi deretan angka dan grafik yang terpampang di layar monitor. Sesekali dia berganti melihat Violet yang mengapung di udara dalam bejana yang terhubung dengan berbagai selang dan kabel. Menurut pengamatan Borkhu, cahaya Violet telah memudar dan semakin terus memudar seiring berjalannya waktu. Borkhu panik dan frustasi. Violet tidak boleh mati.

Manyeruke melangkah mengendap-endap mendekati Borkhu dari belakang. Sebelah tangannya yang memegang jarum suntik teracung menghadap Borkhu. Sebelum Borkhu menyadari, Manyeruke dengan cepat menyuntik leher Borkhu.

“Aaargh!” Borkhu mendorong Manyeruke sekuat tenaga. Terlambat. Satu dosis obat bius sudah mengalir dalam darahnya. Borkhu pun rebah dalam hitungan detik.

“Tidurlah, Borkhu.” Manyeruke menyelimuti tubuh Borkhu yang tergeletak di lantai.

Manyeruke kemudian berpaling dan melangkah mendekati Violet. Dia tahu benda asing yang dibawa Borkhu akan mati sebentar lagi, sama seperti spesimen sebelumnya. Bumi bukanlah tempat yang cocok untuk mereka. Manyeruke akan membantu Borkhu untuk menyadari itu dan menghentikan obsesi tidak masuk akalnya.

Manyeruke mengeluarkan Violet dari dalam bejana. “Sayonara!”
Violet berpendar sekali, seakan-akan berusaha memberi sinyal akan hidupnya yang tinggal sesaat.

Manyeruke membawa Violet ke tungku pembakaran, tetapi sebelum dia sampai di sana, sesuatu menyengat tangannya. Dia menjerit. Akar Violet ternyata telah menusuk telapak tangannya dan terus masuk semakin dalam.

Manyeruke menjerit-jerit histeris. Dia dapat merasakan bagaimana akar itu merobek setiap sendi dan ototnya dari dalam. Violet menjadikan Manyeruke sebagai media tanamnya, menghisap sari pati tubuhnya. Darah keluar dari setiap lubang di tubuh Manyeruke, pertanda bahwa semua organ tubuhnya mulai rusak.

Manyeruke berhenti menjerit. Dia tidak lagi tampak seperti manusia. Helaian daun berwarna ungu tumbuh berkilau, melambai-lambai keluar dari setiap pori tubuhnya. Darah yang tergenang di sekitarnya tampak bagai karpet merah.
Beberapa jam kemudian, Borkhu akhirnya bangun. Dia bergegas menengok ke dalam bejana dan murka begitu mendapati Violet telah lenyap.

“Manyeruke!” Borkhu berteriak penuh emosi sambil membanting beberapa gelas ukur di meja hingga pecah berkeping-keping.


“Aku di sini,” desis sebuah suara yang terdengar dari balik punggung Borkhu.

Borkhu segera berbalik. Matanya memelotot begitu tahu apa yang sedang dia saksikan. Dia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Apakah itu Manyeruke atau Violet? Warna hitam Manyeruke berbaur dengan warna ungu Violet. Keduanya bersama, bersatu, dan bercahaya.

Borkhu perlahan mendekat. “Manyeruke?” Dia memanggil nama kekasihnya dengan lirih.

Makhluk perpaduan Manyeruke dan Violet mengangguk. Sesuatu yang tadinya bibir Manyeruke, tampak menyunggingkan senyum.


Borkhu tertawa lalu menangis, tertawa lalu menangis, begitu terus sampai dia lupa apa yang sudah membuatnya tertawa atau menangis.


Ika Marutha, lahir tanggal 24 September 1982 di Serang Banten, merupakan alumni Fakultas Kedokteran UNS angkatan 2000 yang memilih untuk menjadi penulis di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Antologi pertamanya yang sudah terbit adalah kumpulan cerita anak, menyusul beberapa antologi lain yang diterbitkan oleh beragam penerbit indie. Galeri karyanya bisa dilihat di akun Instagram @Ika_Marutha.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply