Wanita yang Bermimpi untuk Tampil Cantik
Oleh: Musyrifatun
Apakah ada wanita di dunia ini, yang tidak menginginkan wajah cantik berseri sepanjang masa tanpa pernah tersentuh penuaan? Rasanya tidak. Begitu pun aku. Aku punya rahasia supaya kulit wajah serta tubuh ini tetap kencang, mulus, dan bercahaya. Aku tidak mau dekat-dekat dengan penuaan, berkenalan dengannya saja tak sudi.
Bukan, bukan semata karena aku takut kehilangan cinta pasangan jika kulit tubuhku berkerut menua, tapi lebih karena aku sangat mencintai kemolekan yang telah Tuhan berikan untukku.
Wajah cantik nan rupawan milik ibu menurun padaku. Meski aku tidak melakukan berbagai ritual—yang sering dilakukan ibu—untuk kecantikan, tapi kulit mulus dan bercahaya tetap ada pada diriku. Bagiku, ritual itu merepotkan dan tentu saja memakan banyak biaya.
Jika wanita lain memilih untuk menggunakan serangkaian skincare yang merepotkan dan butuh banyak waktu, aku punya cara lain; bernegosiasi dengan tubuhku sendiri. Ya, aku benar-benar melakukannya. Dan hasilnya? Kulit lembap, kencang, dan bersinar tanpa harus repot menggunakan body lotion, pelembap, dan sebagainya.
Hemat waktu, hemat uang pula. Tentu saja suamiku semakin menaruh cinta padaku, karena aku adalah seorang istri yang awet muda tanpa menghabiskan uangnya untuk membeli kebutuhan perawatan kulit. Aku cukup berbicara pada kelenjar di tubuhku untuk memproduksi minyak agar kulitku tak kering hingga cepat berkerut. Juga berbincang dengan rambut, memintanya agar tak berubah warna menjadi kelabu kemudian memutih.
Sejauh ini seluruh anggota tubuhku tak pernah menolak perintah dariku. Mereka semua penurut. Hingga suatu hari, otak memerintahkan kaki untuk mengunjungi sebuah salon kecantikan. Awalnya aku heran, sebab ini adalah permintaan yang tak biasa.
Aku sempat bertanya mengapa otak menginginkan itu hari ini?
“Bukan apa-apa. Aku hanya ingin tubuh ini menghirup udara segar. Mereka memberiku sinyal bahwa ada kejenuhan yang mendera.”
Oh, baiklah. Sesekali memanjakan diri memang tak ada salahnya.
Sesampainya di salon, seorang wanita berwajah cerah dengan dandanan tebal menyambut kedatanganku. Alisnya sedikit berkerut melihat wajahku yang mungkin baru sekali ini dilihatnya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
Aku bingung harus menjawab apa, tak mungkin kukatakan bahwa otakku yang menginginkan aku berjalan sampai ke tempat ini.
Dan otak tentu saja tahu apa yang kupikirkan.
“Aku ingin melakukan perawatan muka dan seluruh badan.”
Hah? Aku terkejut sendiri dengan apa yang keluar dari mulutku barusan.
“Baik. Mari silakan ikut saya.”
Wanita berwajah cerah itu lalu menyuruhku untuk memasuki sebuah ruangan menyerupai kamar yang tertata dengan sangat cantik. Aku terkesima dengan seisi ruangan yang beraroma wangi, satu sisi dinding dihiasi lukisan bunga beraneka warna dan ukuran yang ditata sedemikian rupa. Di sisi lain, beraneka jenis wadah peralatan kecantikan berderet rapi pada sebuah rak berwarna putih. Hampir saja tubuhku melompat kegirangan, baru kali ini aku memasuki tempat seperti ini. Bibirku sampai tak bisa kupaksakan untuk berhenti tersenyum, sedangkan mataku tak henti-hentinya bergerak-gerak mengagumi keindahan tempat ini.
Hei, tunggu dulu. Perawatan di sini pastilah memakan biaya yang tak sedikit, lalu dari mana aku mendapatkan uang untuk membayar semuanya? Tiba-tiba otakku teringat sesuatu.
Benar juga. Aku bahkan tak ingat untuk membawa dompet. Huh, sial!
“Maaf, Mbak. Kira-kira butuh biaya berapa, ya?”
Wanita berwajah cerah yang sedang menyiapkan sesuatu yang lembek dan berbau harum—entah apa namanya—menoleh sambil menyebutkan nominal yang seketika membuat kepalaku berdenyut nyeri. Tubuhku mendadak lemas.
Aku memilih untuk keluar dari ruangan beraroma wangi itu. Kupaksakan kaki melangkah meski terasa kaku. Namun ternyata, perintah mulutku tak lebih kuat dari perintah yang diberikan oleh otak.
“Jangan macam-macam. Atau aku tidak segan membunuh kalian semua!” Aku berteriak kalap.
Bukannya menuruti perintahku, otak justru mengomando seluruh tubuhku untuk semakin kaku dan sulit untuk digerakkan. Wanita berwajah cerah terlihat ketakutan melihatku yang berdiri tegak seperti patung, ia kemudian lari ke belakang dan muncul kembali bersama dua orang perempuan.
Aku hendak berlari keluar, tapi kakiku masih sulit untuk digerakkan. Tiga orang pegawai salon terlihat panik melihat kondisiku.
“To-long, aku mau pulang.” Dengan bersusah payah, akhirnya kata-kata itu bisa kuucapkan.
Ketiga orang di hadapanku terlihat menjaga jarak. Mungkin mereka menganggap aku adalah orang gila yang bisa saja melukai mereka.
“To-long.” Aku berusaha menggerakkan tangan, meminta bantuan.
Salah satu di antara mereka berlari keluar, lalu kembali bersama seorang pria yang membawa seutas tali.
Dengan sigap pria itu mengikat tanganku ke belakang. Tubuhku masih sulit untuk kugerakkan, untung saja mulut masih sedikit kubuka untuk berbicara meskipun terbata-bata.
“An-tar-kan a-ku pu-lang.”
Empat orang di depanku terlihat berdiskusi, bercakap-cakap sambil sesekali melihat ke arahku yang kini mulai menitikkan air mata. Aku mencoba memohon bantuan mereka lewat tatapan mataku yang mengiba.
Beruntung, mereka akhirnya memutuskan untuk mengantarkan aku pulang. Sebenarnya jarak rumahku dengan salon ini tidak terlalu jauh. Hanya saja, dengan kondisi kakiku yang mendadak susah digerakkan, tentu akan sulit sekali untuk sampai ke rumah.
Pria yang mengikat tanganku tadi memutuskan untuk mengantarkan menggunakan kursi roda yang entah mereka dapat dari mana. Tapi sebelum keluar dari salon, pria itu membuka ikatan tali yang membelit tanganku terlebih dahulu.
“Saya antar Ibu pulang, tapi awas kalau macam-macam di jalan, saya tidak akan segan meninggalkan Ibu sendirian di jalanan.”
Aku mengedipkan mata, pertanda setuju.
Beruntung, suamiku belum pulang saat aku sampai di rumah. Kalau tidak, dia pasti akan marah jika mendengar cerita dari pria yang mengantarku pulang.
Pria itu membukakan pintu yang memang tidak terkunci lalu pergi begitu saja saat sudah mendorong kursi rodaku sampai di dalam rumah.
Tubuhku masih kaku. Lalu bagaimana aku hendak turun dari kursi roda ini? Bagaimana jika nanti suamiku pulang dan mendapati aku masih dalam posisi seperti ini, apa yang harus aku katakan padanya?
Aku ingin berteriak, tapi lidahku kelu. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Bukankah selama ini aku berbicara dengan tubuhku cukup hanya mengucapkannya dalam hati? Ah, kenapa aku baru menyadarinya sekarang.
“Tolong jangan hukum aku seperti ini!” perintah hatiku.
“Kami sudah lelah!” Otak berteriak.
“Jadi apa maumu?”
“Berikan hak kami!”
“Apa maksudmu? Bukankah selama ini kalian, anggota tubuhku, baik-baik saja? Kenapa sekarang berulah?”
Kepalaku berdenyut, rasanya seperti berputar-putar di ayunan hingga terasa pusing. Kurasakan tubuhku perlahan melemah, sudah tidak sekaku tadi.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menetes jatuh di pangkuanku. Aku mendongak menatap langit-langit, mungkin ada yang bocor, tapi di luar tidak sedang turun hujan. Lalu dari mana asal tetesan cairan lengket serupa minyak yang semakin lama semakin bertambah banyak, hingga membuat celana dan bajuku basah kuyup. Cairan apa ini?
Wajahku juga terasa basah, aku merabanya, lalu terenyak. Mengapa begitu banyak cairan di wajahku?
“Rasakan! Bukankah itu yang kamu harapkan selama ini?”
“Aku tidak pernah meminta seperti ini!”
“Hei, kamu lupa? Dengan begitu wajahmu akan selalu basah, tidak kering dan tidak berkerut!”
Kurasakan pori-pori wajah serta seluruh tubuh melebar tak terkendali, mengeluarkan minyak yang mengucur deras seperti tetes air di musim hujan.
Oh, tidak. Ini bukan seperti mauku! [*]
Indragiri hilir, 22 Mei 2021
Bionarasi
Musyrifatun, perempuan penyuka hujan, bunga, benang dan pena.
Editor: Inu Yana
#kecantikan
#wanita
#cerpen
#penuaan
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata