Senyum untuk Secangkir Kopi
Oleh: Ika Marutha
“Secangkir Earl Grey dan Tuna Puff?” tanya Mia sambil tersenyum pada Frits, seorang pria tua yang rutin mengunjungi kafenya tepat sebelum jam makan siang.
Frits balas tersenyum dan mengangguk. “Seperti biasa.”
“Silakan duduk, Pak. Kami akan mengantarkan pesanan Bapak sebentar lagi,” ujar Mia.
“Mbak Mia, bukannya kita hanya menjual kopi di sini?” bisik Cici si pegawai paruh waktu yang baru saja dipekerjakan Mia.
Mia mengedipkan mata. “Biar aku yang urus.”
Cici tidak salah. Kafe mereka memang hanya menyediakan kopi. Earl grey yang tersedia di pantry, sejatinya bukan untuk dijual melainkan untuk dirinya sendiri. Mia, sang barista pemilik kafe adalah penggemar teh hitam itu. Sementara kopi? Kopi hanya pekerjaan.
Begitu juga dengan senyum manisnya yang tak pernah absen. Mia menanggapi setiap keluhan bahkan sumpah serapah yang kadang muncul dari pelanggannya dengan wajah tersenyum. Hanya demi pekerjaan.
Orang-orang tersenyum bukan karena mereka bahagia, tapi dengan tersenyumlah maka mereka bahagia. Mia mengingat kalimat itu dari salah satu film yang pernah ditontonnya bersama Andy. “Omong kosong!” komentarnya saat itu.
Andy tertawa. “Ayang Beib, kau akan terlihat lebih cantik kalau tersenyum.”
“Talk to my hand!” sahut Mia ketus. Hanya kepada Andy dia bisa bebas memasang wajah aslinya yang dingin, tanpa ekspresi, tanpa senyum, tanpa kepura-puraan.
“I love you too, Ayang Beb.” Andy mengecup pipi Mia. “Tapi, serius! Kau harus belajar caranya tersenyum. Setidaknya lakukan itu demi uang.”
“Kamu ngomong apa, sih?” tanya Mia.
Andy meraih laptop dari dalam tasnya, menghidupkannya, dan menunjukan grafik-grafik angka pada Mia. “Lihat? Angka penjualan di kafe kita semakin lama semakin menurun. Kau tahu gara-gara apa?”
“Kopi racikanmu tidak enak?” Mia memicingkan mata.
Andy serta merta menyentil dahi Mia keras-keras. “Beraninya kau! Ini semua gara-gara tampang jutekmu!”
“Serius?” Mia mengelus-elus dahinya.
“Sini-sini ….” Andy meraih ponsel dari dalam sakunya, mengajak Mia untuk berswafoto. “Say cheese ….”
“Cheese ….” Cekrek!
“Nah, sudah hampir betul! Kau harus sering-sering berlatih tersenyum seperti ini. Oke, Ayang Beib?”
Mia tidak pernah suka kopi, tapi dia suka senyum Andy. Dan laki-laki itu tersenyum lebih sering lagi saat berhadapan dengan kopi. Begitulah akhirnya Mia memutuskan untuk belajar menjadi seorang barista. Demi melihat Andy.
“Ya, aduk sampai 30 kali. Pelan-pelan. Hati-hati. Air panas.” Andy juga selalu tersenyum saat mengajarinya meracik kopi. “Jangan mencucu! Kopinya akan terasa masam seperti wajahmu. Senyum … ayo, senyum.”
Sampai pada suatu ketika, Andy mulai berbeda. Di mata Mia, senyumnya tidak lagi indah, melainkan hanya seperti sebuah kata cheese yang diucapkan tanpa suara.
“Kau sudah memeriksa desain kartu undangan kita? Kau belum mengirimiku daftar tamu. Aku butuh segera, please?”
“Sabar, Mia. Toh, masih sebulan lagi.” Andy tersenyum. Senyum ala cheese. Dia pun tidak lagi memanggilnya dengan sebutan Ayang Beib. Hanya Mia.
“Ah, biasa! Sindrom pranikah namanya. Kamu tak perlu berpikir yang aneh-aneh. Calon pengantin harus tenang, supaya aura kecantikannya nanti, terpancar pas hari H.” Santi, kakak perempuan Mia, berkata saat dia mengeluhkan perubahan sikap Andy.
“Memangnya ada? Sindrom apa tadi? Pranikah?” Mia bertanya ragu.
“Percaya padaku. Aku sudah merasakannya sendiri. Pernikahan memang bukan perkara yang mudah. Jadi wajar saja kalau Andy mengalami fase itu.” Santi berusaha meyakinkannya.
“Apa yang bisa aku lakukan?”
“Berhenti membicarakan masalah pernikahan dengannya. Beri Andy kejutan. Makan malam romantis, atau apa yang dia sukai, kau tentu lebih tahu.”
“Bagaimana bisa aku tidak membicarakan pernikahan? Waktunya, ‘kan, sebentar lagi.”
“Justru itu, Sayang. Tinggal sebentar lagi dan kalian akan diikat oleh sebuah hubungan pernikahan. Maka, lupakanlah sejenak. Bangun kembali perasaan kalian seperti saat kalian pertama bertemu. Mengerti maksudku?”
Seperti saran Santi, Mia merencanakan sebuah kejutan. Dia sengaja datang ke apartemen Andy pagi-pagi benar, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hari itu hari Minggu, tepat seminggu sebelum pernikahan dilangsungkan, dia akan mengajak Andy ke tempat pertama kali mereka bertemu, Perpustakaan Bianglala. Kemarin, Mia sudah mengemis–dan memberi sogokan besar–pada sekuriti untuk membiarkan mereka masuk di hari libur. Bayangkan! Sebuah perpustakaan hanya untuk mereka berdua? Romantis sekali!
Perlahan, Mia memutar kunci apartemen Andy. Dia ingin membangunkan calon suaminya itu dengan kecupan selamat pagi. “Ini akan menjadi kejutan yang tak akan dia lupakan,” batinnya bersemangat.
Kejutannya berubah menjadi bencana. Di atas ranjang tempat Andy berbaring, ada perempuan lain. Mereka tidur saling berpelukan.
Mia melangkah mendekat, dia mengecup Andy lalu berbisik di telinganya, “Selamat pagi, Sayang!”
Andy dan si perempuan terbangun. Butuh waktu sesaat sebelum mereka lompat dari tempat tidur begitu menyadari kehadiran Mia. “Ma, maaf Mbak Mia. Sa, saya ….” Perempuan itu tergagap. Mia mengenalinya sebagai salah satu karyawan di kafenya.
“Kau dipecat!” Mia berkata dingin. Tanpa ekspresi, seperti biasanya.
Perempuan itu menunduk malu seraya bergegas keluar sambil mengambil bajunya sendiri yang berserakan di lantai dengan panik.
Andy menatapnya nanar. “Mia, aku ….”
“Kau juga kupecat!”
“Kau tidak bisa memecatku. Aku ikut menanam modal pada kafe itu. Aku baristanya.”
“Aku akan mengembalikan semua uangmu, sepuluh kali lipat! Barista? Aku bisa melakukannya sendiri. Percayalah, kopi racikanmu tidak seenak itu.”
Andy memalingkan wajah. “Ini! Inilah yang tak aku sukai darimu, Mia. Arogansimu, wajah datarmu! Aku tahu keluargamu kaya raya dan aku bukan siapa-siapa. Aku tidak sehebat kakak iparmu yang seorang CEO. Keluargaku hanya petani biasa dari kampung. Aku tak mengerti bagaimana kalian dengan tenang, bisa menghabiskan milyaran rupiah hanya demi sebuah resepsi pernikahan!”
“Andy! Apa aku dan keluargaku pernah mempermasalahkan latar belakang keluargamu? Pekerjaanmu? Wajah datarku, kau bilang? Apa kau tahu, justru hanya kepadamu aku bisa menanggalkan topeng basa-basiku? Inilah aku yang sebenarnya. Kau hanya mencari-cari alasan untuk ke-tidak percaya diri-anmu sendiri! Kita putus! Hari ini juga aku ingin kau keluar dari apartemen ini.”
“Apa? Kau mengusirku dari sini? Ini apartemenku!”
“Aku yang membayar apartemen ini. Kau lupa?”
“Sialan!” Andy memaki.
Sepuluh tahun berlalu sudah sejak perpisahan mereka berdua. Santi beberapa kali berusaha menjodohkan Mia dengan laki-laki pilihannya. “Cara terbaik untuk move on, ya, menjalin hubungan baru. Cobalah bertemu. Sekali saja.”
“Aku tidak mau. Tidak butuh.”
“Sampai kapan? Ingat usiamu! Dengar, tidak semua laki-laki sama brengseknya dengan Andy. Di luar sana masih banyak laki-laki sejati yang dapat membuatmu tersenyum.”
“Kak, aku tidak butuh laki-laki yang bisa membuatku tersenyum, tapi justru sebaliknya.”
“Apa?” Santi mengerutkan dahi. Dia tidak pernah bisa memahami jalan pikiran Mia. Adik satu-satunya tersayang, yang tak pernah lagi tertawa sejak ibu mereka meninggal dunia.
***
“Double Espresso, please.” Arman, salah satu pengunjung tetap kafe milik Mia datang memesan kopi.
“Baik, ditunggu sebentar pesanannya,” ujar Mia sambil tersenyum.
“Hmm, maaf sebelumnya, apa saya boleh berkata sesuatu?” tanya Arman hati-hati.
Mia mengangguk ramah. “Ah, ini dia … keluhan pelanggan! Hari ini bukan hari baikku,” desah Mia dalam hati. Dia menarik sudut bibirnya, memberikan senyum terbaiknya. “Cheese!” serunya tanpa suara.
Arman mencondongkan badannya sedikit kemudian berbisik, “Jangan tersenyum! Saya lebih suka wajah datarmu.” (*)
Ika Marutha, lahir tanggal 24 September 1982 di Serang Banten, merupakan alumni Fakultas Kedokteran UNS angkatan 2000 yang memilih untuk menjadi penulis di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Antologi pertamanya yang sudah terbit adalah kumpulan cerita anak, menyusul beberapa antologi lain yang diterbitkan oleh beragam penerbit indie. Galeri karyanya bisa dilihat di akun instagram @Ika_Marutha.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com