Ayah, Bolehkah Aku Memanggilmu Seperti Itu

Ayah, Bolehkah Aku Memanggilmu Seperti Itu

Ayah, Bolehkah Aku Memanggilmu Seperti Itu

Oleh : Hassanah

 

Aku menatap wajah Umi yang masih tidur. Dadanya naik turun dengan teratur. Keningnya berkerut bukan karena heran, tapi memang sudah semestinya. Faktor usia. Rambutnya juga sudah putih, helai demi helai. Namun, embusan napasnya adalah satu dari banyak hal yang senantiasa aku pinta kepada Tuhan, agar dapat lebih lama mendengarnya. Seperti saat ini.

 

Abang bilang, Umi adalah wanita terbaiknya. Bagiku, Umi adalah malaikat kami berdua.

 

Aku adalah seorang siswa di sekolah menengah atas. Sudah kelas dua, tapi rasanya belum pernah aku tidur sendiri di kamar depan yang kata Abang adalah milikku. Entahlah, rasanya tidur bersama Umi lebih nyaman saja. Sejak bayi aku sudah tidur bersamanya.

 

Jika berbicara tentang Ayah, belum sekalipun aku memanggilnya. Jangankan hangat peluknya, wajahnya saja aku tak tahu. Foto yang menjadi kenang-kenangan sudah terbakar habis saat rumah ini dilanda kebakaran, kala itu aku masih usia tiga tahun. Api merembet dengan cepat dari rumah Pak Haji, yang berjarak tiga rumah dari rumah kami.

 

Abang bilang, Ayah meninggal saat aku masih di kandungan. Aku pun percaya begitu saja, kala itu.

 

***

 

Dua tahun yang lalu, saat aku masih usia lima belas. Ketika putih-dongker masih menemani hari-hariku, pun dengan persiapan ujian nasional yang selalu menghantui siswa kelas tiga. Seorang perempuan muda, tampak seperti usia tiga puluhan, mengenakan seragam guru, datang menghampiriku yang tengah belajar bersama teman-teman di kelas. Dia bertanya, “Siapa nama kamu?”

 

Aku pun menjawab tanpa ragu, “Bening, Bu.”

 

Beberapa teman di sampingku berbisik, “Itu dia guru barunya. Katanya galak, loh!” Namun aku tidak peduli. Mau galak atau tidak, yang penting mereka tulus mengajarku. Bukankah guru juga manusia?

 

Abang bilang, apa pun cita-citaku, dia akan mendukungnya. Lalu, hal biasa yang bisa aku lakukan ya hanya belajar, bukan?

 

Guru perempuan itu bernama sama denganku. Hidungnya kecil, bulu matanya lentik dan panjang, menambah keindahan rupanya yang memiliki muka bulat. Saat tersenyum, matanya membentuk bulan sabit.

 

“Bening Kusuma?” Guru berkulit putih itu kembali bertanya. Dia memang tidak mengajar di kelasku, tapi anak-anak kelas C dan D selalu bercerita tentangnya di kelasku.

 

“Iya, Bu.” Aku mengamati bibirnya yang mulanya tersenyum kaku, kini terlihat benar-benar kaku. Entahlah, mungkin cuma perasaanku saja, dia terlihat seperti akan menangis.

 

Setelah memberi semangat kepada aku dan teman-teman, dia undur diri. Tidak seperti imajinasiku, guru yang disebut galak itu sama sekali tidak terlalu mengerikan. Bahkan wajahnya terlalu cantik untuk dilabeli guru galak.

 

“Itu yang waktu itu nanya nama kamu di kelas sebelah.”

 

“Iya. Ternyata benar kata anak-anak sebelah, sekilas kalian mirip.”

 

“Iya, ya? Bener. Pas lihat langsung lagi barengan, kalian mirip. Jangan-jangan, Bu Putri itu kembaran kamu, Ning. Kan, katanya kita punya tujuh kembaran di dunia.”

 

Aku hanya tersenyum simpul. Mungkin saja. Sebab saat masih mengenakan putih-merah pun aku sempat bertemu dengan seseorang yang dibilang mirip denganku. Kata teman-temanku saat itu, mungkin aku akan terlihat seperti dia ketika besar nanti. Padahal, kami hanya tidak sengaja melihat kakak mahasiswa itu di kampung sebelah. Bu guru bilang, dia dan teman-temannya sedang kuliah nyata. Entahlah, saat itu aku tidak begitu peduli dan paham. Hanya saja, bagiku mereka itu keren.

 

Hari berikutnya, aku menjadi sering berpapasan dengan Bu Putri Bening Ayu. Mula-mula, dia dulu menyapaku. Lama-lama, aku berusaha untuk lebih dahulu menyapanya. Kami pun terkadang tidak sengaja bertemu di kantin, perpustakaan, ruang guru, dan kemudian mengobrol sebentar. Membicarakan hal-hal biasa seperti kendala belajar, hal yang tak kupahami, atau cita-citaku.

 

Bulan-bulan berlalu, aku dan Bu Putri semakin dekat. Tidak jarang pula kami bertemu di luar dengan sengaja. Sekadar untuk makan sate sambil berbagi cerita. Tidak sering, hanya ketika dia sudah mendapatkan gaji PNS-nya.

 

Tapi ada satu yang aneh. Setiap kali Umi mengundangnya ke rumah, selalu saja dia tidak bisa. Entahlah, aku juga tidak ingin mengganggu aktivitasnya.

 

Abang bilang, guru itu banyak kesibukannya. Apalagi dia seorang perantauan. Aku pun sepakat.

 

Sampai akhirnya aku mengetahui satu kenyataan, saat kelas satu SMA. Tanpa ada yang memberitahu agar aku siap mendengar sebuah fakta, seseorang datang membawa berita utama. Topik panas yang dulu pernah dengan sengaja ditutupi. Menyembunyikan api yang berkobar dari dua lumbung. Tidak ingin tetangga terbangun dan berbondong-bondong datang untuk memenuhi pekarangan.

 

Seorang tua itu bercerita dengan derai air mata. Bibirnya bergetar, giginya bergemeletuk. Lalu, dia menangis sembari menundukkan kepala.

 

“Aku bersalah. Kesalahan yang benar-benar salah, ternyata menjadi sangat salah karena aku serakah. Padahal, dia menjadi pesakitan setelah keputusanku untuk membawanya pergi jauh dari sini. Berharap dia tak terpuruk di satu titik dan menyongsong masa depan, impianku. Dia, benar-benar rindu.”

 

Aku tak mengerti apa yang diucapkan seorang laki-laki berambut putih itu. Yang aku paham, dia menyesal akan tindakan di masa lalu. Entahlah, mulanya dia datang dan menungguku di depan sekolah. Tiga kali aku melihatnya, tiga kali pula aku menolak untuk menuruti keinginannya mengobrol denganku. Tapi, ternyata keputusanku hari itu salah. Seharusnya aku memang tidak usah bertemu dengannya yang mengaku ayah dari Bu Putri, guru kesayanganku.

 

“Dia langsung setuju saat ada lowongan di sekolahmu. Dia ke sana hanya untuk bertemu seseorang, setelah bertahun-tahun aku tak memberitahu di mana dia.”

 

“Maaf, sepertinya saya tidak perlu tahu mengenai cerita keluarga Bapak. Saya hanya anak SMA, tidak tahu bagaimana caranya menghibur Bapak yang sedang bersedih. Teman-teman juga mulai membicarakan saya karena Bapak yang selalu menunggu saya. Sebaiknya, Bapak selesaikan saja masalah Bapak dengan keluarga.” Aku sudah tidak tahan. Apa dan mengapa, aku diajak mengobrol di sini?

 

“Tidak, Nak. Kamulah tokoh utama cerita ini. Setelah kehadiranmu yang berusia tujuh minggu, semua fokus kami tertuju kepadamu.” Aku semakin tak paham! Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan bapak tua itu. Biarlah aku dibilang anak tak sopan, sebab mendengar ceritanya entah mengapa membuat jantungku berpacu cepat. Aneh yang semakin aneh.

 

“Dia ibumu, Nak. Dia adalah perempuan yang menangis meraung-raung setelah aku memisahkan kalian. Dia yang tak bisa tidur karena memikirkanmu dan payudaranya yang membengkak hingga harus menerima resep obat dari dokter. Dia yang juga mencarimu ke mana-mana tanpa lelah.” Seketika kakiku mendadak lemas. Kepalaku pun terasa berdenyut-denyut mengakibatkan kelopak mataku panas. Apa dan mengapa, aku menjadi tokoh utama?

 

“Bertanyalah, Nak. Agar aku bisa menjawab semua kebingunganmu.”

 

Tidak! Tentu saja aku tidak akan bertanya apa pun. Bapak itu pasti salah orang.

 

Aku terus mengelak akan fakta yang tidak ingin aku akui, kala itu. Hingga akhirnya salah satu tokoh dari cerita sebelumnya membuka suara. Dua hari setelah pertemuan itu, Bu Putri mengajakku makan sate, seperti biasa. Kami pun mengobrol seperti biasa. Topik biasa, suasana yang biasa, sampai akhirnya aku terkejut luar biasa.

 

Bapak tua itu benar. Dia benar-benar berkata benar. Hingga membuat aku terkejut benar.

 

***

 

Kini, setiap minggu aku ingin memanggil Ayah. Mencari kehangatan dalam peluknya, lalu meminta maaf karena sudah membuatnya susah-susah.

 

Aku tidak bercerita kepada Umi. Pun kepada Abang. Bu Putri yang selalu kuceritakan kebaikannya, sudah tak pernah kusebut lagi namanya di rumah. Dan lama-lama, Abang penasaran. Setiap pulang di hari Sabtu, dia selalu bertanya, “Tidak ada cerita tentang si guru cantik?”

 

Aku bungkam. Luka-luka yang telah lama bersemayam, dia akhirnya tetap menjadi luka. Bila aku mengatakan bahwa aku si tokoh utama, apakah Abang akan menerima? Atau marah sehingga aku semakin terluka?

 

“Mulai bulan depan, abang akan kerja di Taipei. Abang titip Bening sama Umi.” Suara Abang terdengar samar dari dapur. Saat itu, aku baru pulang dari kerja kelompok di rumah teman. Masih di samping rumah, dekat tungku kayu, aku mendengar semua pembicaraan Abang dan Umi.

 

“Kenapa, Nak? Kok jauh sekali?”

 

“Di pabrik sini penghasilannya sudah lumayan. Tapi, kebutuhan untuk kuliah Bening pasti lebih banyak, Mi. Bening mau jadi dokter katanya.”

 

Ada sesuatu yang terasa nyeri di dalam dada. Bukan luka lama, tapi lebih tepatnya sesuatu yang tidak bisa kusebut dengan nama luka, walau sakitnya sama. Di saat seperti ini, bukankah tokoh utama akan bertindak? Tapi, mengapa aku tidak? Rasanya, aku belum siap.

 

Setelah sore di hari Minggu itu, ada banyak rencana-rencana yang ingin kulakukan untuk mengobrol serius dengan Umi dan Abang. Menanyakan perihal kenyataan yang mereka simpan rapat-rapat, juga hakku untuk mengetahui langsung dari mereka. Tapi, hingga detik ini aku masih bungkam. Tidak bertanya kepada Umi, apalagi Abang.

 

Benar kata Abang, dia benar-benar akan pergi ke luar negeri. Besok pagi, mobil travel akan menjemputnya. Berangkat ke pelabuhan di Pekanbaru, menuju Batam. Selanjutnya, dia akan menyebrang ke Phuket. Abang bilang, gaji di sana cukup besar.

 

Rencanaku terus tertunda. Gagal, juga enggan. Bagaimana aku harus memulainya? Apakah harus bertanya alasan mereka terlebih dahulu, atau memastikan kebenaran yang sudah tentu benar? Semalaman aku tidak bisa tidur dibuatnya. Apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu?

 

“Jaga Umi buat Abang. Selalu ingat pesan Abang agar tidak bermain-main dengan laki-laki. Abang percaya kamu tahu mana yang terbaik buat kamu.” Abang berujar setelah memastikan semua barangnya tidak ada yang tertinggal. Sementara itu, aku terdiam memikirkan apa yang akan aku ucapkan untuknya. Di saat seperti ini, bukankah tokoh utama harus bertindak dan tidak diam saja? Bagaimana bila aku kehilangan kesempatan untuk memanggil Abang dengan semestinya?

 

“Tidak usah khawatir, Nak. Umi akan baik-baik saja. Bening juga akan baik-baik saja. Kamulah yang harus menjaga diri dengan baik di sana. Di negara orang, jangan berbuat semaunya.” Suara Umi terdengar parau. Malam tadi, dia menangis tiada henti. Sekuat tenaga aku menahan agar tidak membuka mata, takut menambah kekhawatiran di pikirannya.

 

“Abang hati-hati, ya?” Ayah, bolehkah aku memanggilmu seperti itu?

 

“Iya. Belajar yang rajin, ya?”

 

Iya, Ayah. “Hem.”

 

“Abang pergi dulu. Assalamualaikum.”

 

“Waalaikumussalam.” Ayah.(*)

 

Bumi Lancang Kuning, 6 Mei 2021

 

Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Penyuka petrikor, segelas kopi panas, dan senja. Menulis dengan baik adalah fokus utamanya.

 Editor : F. Mudjiono

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply