Kala Lonceng Gereja Berdentang
Oleh : Hassanah
bahagiaku apa guna
tanpa hadirmu aku lara
hampir sewindu kau dan aku
merajut asa dalam kisah seumpama renda
kini rindu mengudara berbalut luka
berharap angin menggiring
pada pertemuan paling purba
kau dan aku di dalamnya
***
“Seandainya Tuhan tidak menghendaki musibah besar itu terjadi, mungkin saat ini aku sudah berada di neraka.”
“Apa maksudmu?”
“Mati adalah tujuanku saat itu, sepuluh tahun lalu.”
Perempuan berambut ikal sebahu yang duduk di anak tangga tepian sungai Mississippi kembali menatap ke arah boat yang melintas. Tidak disangka, kedatangannya ke New Orleans masih belum membuahkan hasil. Padahal, tiga hari penuh dia berkeliling demi menemukan seseorang yang dipanggilnya ‘Bee’.
“Bagaimana kalian bisa bertemu?” Laki-laki di sebelah perempuan itu bertanya. Sudah dua hari dia menemani perjalanan si perempuan.
“Boleh aku menebak, Daniel? Pasti kau berusaha keras untuk tidak menanyakan itu, bukan?” Perempuan itu tersenyum dan menatap Daniel beberapa saat. Setelahnya, dia kembali menatap ke arah sungai.
“Kau sangat cerdas.” Laki-laki yang dipanggil Daniel itu tersenyum sambil menyandarkan punggung ke anak tangga yang terbuat dari beton. Semilir angin dan hawa dingin dari tangga beton tak mereka hiraukan.
“Jane, sungguh aku—“
“Panggil saja aku Noora. Aku lebih nyaman dengan nama itu saat ini,” potong perempuan itu, cepat.
“Ah, baiklah, Noora. Sekarang, ke mana lagi kau akan mencari Bee?”
“Entahlah.” Noora mengusap gelang di tangannya dengan tatapan nanar.
Noora terdiam. Ingin rasanya dia menangis saat ini. Setelah mencari ke sana kemari, seseorang berkulit hitam yang dirindukannya itu tak juga ditemukan.
Benar kata Lucy—sukarelawan yang mengadopsi Noora—bahwa mencari Bee akan butuh perjuangan. Tujuh tahun bukanlah waktu yang lama untuk menjalin sebuah hubungan. Sementara itu, tiga tahun adalah waktu yang sangat menyiksa bagi Noora untuk merindukan Bee. Pertemuan dan perpisahan, mengapa mereka selalu bersanding bersama? Noora masih tidak terima dengan fakta yang satu itu.
Sepuluh tahun lalu. Noora kecil yang saat itu berusia sembilan tahun baru saja tiba di Las Vegas—rumah Lucy—dengan perasaan takut. Satu tahun setelah tsunami yang meluluhlantakkan kota kelahirannya, Aceh, membawa dia ke Negeri Paman Sam itu untuk menyambung hidup. Lucy memang pernah berjanji untuk kembali dan membawa Noora ke negara asalnya saat setelah proses evakuasi. Namun, untuk mendapatkan izin adopsi secara legal membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Saat tiba di rumah Lucy dan suaminya, Adam, Noora terlihat canggung. Kendala bahasa dan budaya membuatnya tak bisa tersenyum bahagia seperti lima anak lainnya di sana. Noora tak bisa berbahasa Inggris saat itu.
Ketika jam makan malam, perempuan seusia Noora dengan perawakan yang lebih besar, datang menghampiri. Dia mengajak saudara barunya itu untuk makan. Dengan segala keterbatasan, perempuan keturunan Afrika-Amerika itu tersenyum semringah.
Siapa yang menyangka, dua anak perempuan itu dapat akrab. Mereka bercerita dengan menggunakan bahasa masing-masing sambil memberi isyarat lewat tubuh. Tidak sampai di situ, bahkan mereka menggambarkan apa yang dimaksud pada kertas sebagai jalan untuk berkomunikasi.
Noora juga tak lagi bermimpi buruk setelah berteman akrab dengan Bee. Dia tak lagi menangis di pojok kamar sambil menekuk lutut. Dia juga tak lagi berniat mengakhiri hidup setiap kali teringat kenangan tak mampu menahan pegangan tangan adiknya. Sapuan ombak begitu kuat saat itu.
“Apakah tidak sulit berbicara seperti itu?” tanya Daniel. Dia benar-benar penasaran saat mendengar cerita Noora.
Noora pun tersenyum sembari menggeleng. “Tidak juga. Entah apa yang membuat batin kami bisa terikat dengan cepat saat itu. Aku dengan mudah memahami apa yang Bee ingin sampaikan sebelum aku mampu menguasai bahasa Inggris,” ucapnya kemudian.
“Lalu, bagaimana kalian bisa terpisah?”
“Bee mendapat kabar bahwa adik kandung ibunya selamat dan masih menetap di Nola. Dia pun bergegas ke sini setelah Adam mendapatkan alamat mereka. Namun, Bee tidak pernah menghubungi kami sejak kepergiannya. Dia menghilang.” Noora kembali mengusap gelang di tangan kirinya. Gelang yang dirangkai dari manik-manik berwarna hitam.
“Itu sebabnya kau datang ke sini? Bagaimana bila dia sudah meninggalkan kota ini, Noora? Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar.”
“Dia sangat ingin menjadi musisi jazz terkenal, Daniel. Di mana lagi tempat yang tepat untuk mewujudkan impiannya selain di sini?”
Noora dan Daniel saling berpandangan. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Aku sedikit iri kepada Bee.” Daniel menyugar rambutnya. Laki-laki berkulit putih itu tersenyum sembari mengalihkan pandangan ke arah sungai.
“Apa yang membuatmu iri? Bukankah kau sudah berhasil membuatku nyaman hingga aku mau bercerita seperti sekarang?” Noora membalas senyum Daniel.
“Ah, kau membuatku tersipu, Nona.” Daniel bangkit setelah mengatakan hal itu. “Tunggulah di sini sebentar. Aku akan membelikan beignet* terenak untukmu,” ucapnya.
Baru beberapa langkah, Daniel berbalik dan mengatakan sesuatu kepada perempuan bermata bulat yang menawan hatinya itu. “Aku tidak akan lama. Kau jangan rindu, ya?” Dia berlari setelahnya.
Noora tersenyum. Telinganya memerah seketika. Lagi-lagi Tuhan mempertemukan dia dengan sosok yang sangat mengerti hatinya. Ya, walaupun pertemuan mereka baru sebentar.
Daniel adalah teman baru yang dikenalkan Adam sehari setelah tiba di New Orleans. Sang ayah angkat meminta Daniel—anak teman sesama sukarelawan yang berdomisili di New Orleans—untuk menemani sekaligus menjaga Noora. Menurut Noora, Daniel itu lucu dan sangat pandai menggoda perempuan. Namun, dia benar-benar orang baik. Noora mengakui itu setelah dua hari berkeliling bersama untuk mencari Bee.
Mungkin dua hari bukanlah waktu yang cukup untuk menilai seseorang. Namun, Noora dapat menilai itu dengan mudah karena pengalaman hidupnya. Selamat dari musibah besar, bertemu banyak orang baru, tinggal bersama beberapa anak yang berbeda, menjadi korban bully-an di sekolah, serta lain hal yang membuatnya dengan mudah menilai kepribadian seseorang.
Mengingat bagaimana Daniel memperlakukan Noora layaknya seorang adik, membuatnya teringat akan Bee. Mereka benar-benar seperti saudara kandung. Hubungan di antara keduanya sangat erat hingga Lucy menjuluki mereka ‘Sepasang Mutiara’.
Saat ini, Noora tengah memejamkan matanya. Dia membiarkan angin menerpa wajahnya. Sejuk. Itulah yang dia rasakan. Semburat keemasan mentari pagi juga sudah menghiasi langit dengan sempurna.
Baru saja Noora menarik napas dalam, suara dentang lonceng gereja menggema di sekitar tempatnya duduk. Beberapa detik kemudian, dentang lonceng lainnya juga terdengar dari arah lain. Angin membawa suara itu dengan sangat jelas membuat dada Noora berdebar.
“Noora, ada apa?” tanya Daniel yang baru kembali. Dia menatap Noora yang berdiri dengan wajah kebingungan.
“Entahlah, Daniel. Aku merasa sedih saat lonceng gereja itu berbunyi.” Mata Noora sudah berkaca-kaca.
Daniel mendekat dan meletakkan kantong kertas di tangannya ke anak tangga. Tangannya meraih bahu Noora dan pandangan mereka bertemu. “Hei, seerat itukah ikatan batinmu dengan Bee?” tanyanya.
Noora menatap Daniel, tak mengerti. Air matanya sudah meleleh tanpa persetujuan darinya.
“Lonceng itu dibunyikan sebagai pertanda, Noora. Hari ini, tepat di tanggal 29 Agustus, merupakan peringatan 10 tahun pasca badai Katrina** di French Quarter. Di sini.” Daniel memberitahu dengan nada pelan. Wajahnya juga terlihat sedih.
“Apakah Bee akan mengingat kejadian saat itu juga hari ini? Bagaimana bila dia menangis karena takut? Dia pasti sedih, Daniel. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menenangkan hatinya.” Noora menangis sesegukan. Daniel yang sudah berkaca-kaca mendengar ungkapan Noora barusan pun segera mendekap tubuh perempuan itu. Air matanya ikut meleleh. Kenangan saat badai menenggelamkan rumahnya juga melintas begitu saja.
“Tuhan akan menjaganya, Noora. Seperti sepuluh tahun lalu, Tuhan tetap menjaganya.” Daniel mengelus kepala Noora.
Tidak hanya Noora yang tengah menangis saat ini. Beberapa pejalan kaki yang sedang melewati lintasan Moon Walk di tepian Mississippi itu pun ikut mematung dan menatap nanar ke arah sungai. Ada pula sepasang manula yang saling merangkul sembari terisak. Begitu pun beberapa pemuda berkulit hitam yang membawa gitar dan saksofon. Mereka terdiam sejenak sambil menatap langit.
“Noora, berhentilah menangis. Kita akan temukan Bee. Pasti.” Daniel mengurai pelukannya.
Noora tak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Mata dan hidungnya memerah. Isaknya semakin menjadi. Dia benar-benar merindukan dan mengkhawatirkan Bee saat ini.
“Hei, percaya padaku. Kita pasti bisa menemukan sahabatmu itu. Aku akan bertanya ke seluruh musisi jazz jalanan di sini untuk menemukannya. Akan kupastikan kau bertemu dengannya.”
Sementara itu, salah satu perempuan di antara beberapa pemuda di sekitar tepian sungai, sedang menatap gelang di tangannya. Bentuknya mirip seperti yang ada di tangan Noora. Air matanya menetes saat mengalihkan pandangan ke arah langit. Dari sekian banyak kenangan dalam ingatannya, dia hanya bergumam, “Jane, aku sangat merindukanmu”.(*)
Bumi Lancang Kuning, 6 Maret 2021
Keterangan :
*Beignet merupakan donat khas New Orleans berbentuk petak seperti roti goreng dengan dilapisi tepung gula yang manis.
**Badai Katrina merupakan sebuah siklon tropis besar yang melanda tenggara Amerika pada tanggal 24-31 Agustus 2005 dan menewaskan 1.800 jiwa.
Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Penyuka petrikor, segelas kopi panas, dan senja.
Editor : F. Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata