Bekal
Oleh : Ketut Eka Kanatam
Jeritan dan seruan penuh kepanikan mewarnai acara rapat ketika David, staf marketing di perusahaan travel milikku, tiba-tiba saja ambruk di depan kami.
Aku hanya bisa terpaku melihat orang-orang seketika bangkit, berlari ke arahnya yang sudah terbaring di lantai.
“Cepat panggil dokter!”
“Dia terkena serangan jantung!”
“Jangan diangkat dulu, nanti fatal akibatnya!”
Suara mereka campur baur dengan jeritan para wanita yang berhamburan ke luar ruangan.
Bunyi sirene meraung-raung mengiringi gerakan cekatan paramedis memberi pertolongan pertama pada David. Akhirnya dokter yang memeriksanya menggelengkan kepala. Semua berlangsung begitu cepat.
Kepergiannya sulit diterima oleh akal sehat. Tidak ada pertanda apa pun darinya. David sedang bicara dengan penuh semangat, mempresentasikan ide-ide brilian untuk program liburan sehabis Lebaran nanti saat kejadian itu berlangsung.
Dokter mendiagnosis, David meninggal dunia karena terkena serangan jantung.
Demi memenuhi prosedur, kami tetap membawa jenazahnya ke rumah sakit untuk divisum. Setelah itu, baru kami menghantar laki-laki yang sebaya denganku itu ke rumahnya.
Jerit tangis keluarga menyambut kedatangan jenazah membuat air mataku menitik.
“Dia berangkat kerja segar bugar, tidak
mungkin terkena serangan jantung. Katakan kepada saya, Bu! Jawab, Pak! Semua ini tidak benar, kan? Suami saya masih hidup. Dia cuma lelah dan ingin tidur sebentar.”
Tidak ada satu pun di antara kami bisa menjawab pertanyaan istri David. Kami hanya bisa menunduk di depannya.
Kini, semua mengarahkan pandangan kepadaku, membuat kaki ini begitu berat mendekati perempuan itu. Apa yang bisa aku katakan kepadanya?
“David mati karena memang waktunya sudah habis di dunia ini.”
“Ibu harus sabar karena ini adalah suratan takdir dari-Nya.”
“Kami juga sama terkejutnya seperti Ibu.”
Kalimat mana yang harus Aku katakan? Aku tidak bisa mengatakan hal itu kepada seorang perempuan yang terlihat begitu berduka.
“Maaf, Bu. Kami juga sama seperti Ibu, tidak ada yang menyangka hal ini akan terjadi. David tidak mengeluhkan apa pun kepada kami. Saat rapat, keadaannya terlihat sehat walafiat. Dia jatuh begitu saja di depan kami.” Sekretarisku yang maju mendahului, mengatakan hal itu kepadanya.
“Sabar ya, Bu.”
“Semoga David meninggal dalam husnul khotimah, Bu.”
“Kami ikut berdukacita, Bu.”
Satu per satu rekan kerjanya mendekati istri David, mencoba memberi dukungan dan ucapan menenangkan sambil menangkupkan tangan di depan dada. Aku hanya bisa mengikuti tindakan mereka.
“Jodoh, rezeki, dan ajal, semua sudah ada ketentuan, kita hanya bisa pasrah menerimanya. Sabar, ya, Dik.”
Sepertinya Bapak paruh baya yang mengatakan kalimat itu adalah salah satu keluarga David, karena dia berani merangkul pundak ibu tersebut. Perempuan itu akhirnya berhasil menenangkan dirinya.
Aku mengikuti proses pemakamannya dengan perasaan campur aduk. David salah satu karyawanku yang paling berjasa selama ini. Dia teman kuliah yang sengaja direkrut sejak aku menggantikan posisi Ayah di perusahaan. Kemampuan marketing-nya sangat bagus. Perusahaan semakin maju berkat ide-ide cemerlang darinya.
Saat meninggalkan rumah David, pikiranku masih berkecamuk sebab tidak bisa melupakan bagaimana David meregang nyawa di depanku, tanpa sempat mengatakan apa pun.
Dulu, kepergian Ayah untuk selamanya bisa aku hadapi dengan tenang, karena beliau sudah berbulan-bulan dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan kepergian David yang mendadak, membuatku sangat terguncang.
Malaikat mencabut nyawa sesuai ketentuan-Nya. Dia tidak memandang orang itu sedang sakit atau segar bugar. Kapan pun dan di mana pun, tanpa peduli kita siap atau tidak, dia akan melakukannya.
Bagaimana jika aku yang ada di posisi David? Apakah istri dan anak-anakku siap?
Aku hanya terpaku ketika melihat kedua anak David terus membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an di samping mayat ayahnya. Air mata mereka terus menetes saat membaca ayat-ayat suci itu. Orang-orang yang mendengar mereka mengaji ikut meneteskan air mata. Istrinya pun terlihat sama, berulang kali menyebut asma Allah sambil terisak-isak setiap ada yang datang mengucapkan belasungkawa.
Aku hanya bisa memandang dari kejauhan saat warga berbondong-bondong datang ke masjid untuk menunaikan salat jenazah.
Aku merasa malu sebab tidak bisa mengikuti tindakan mereka. Salat wajib saja aku sudah lupa kapan terakhir melakukannya. Bagaimana mau melakukan salat jenazah?
Saat mereka bersiap-siap untuk menyalatkan David di masjid, kucoba melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Rasanya lidahku begitu kaku ketika membaca surat yang wajib dibaca ketika selesai takbir pertama. Dengan keadaan seperti itu, bagaimana aku bisa percaya diri menyalatkannya?
Melihat David dibungkus kain putih seperti itu membuatku merasa takut. Apa yang terjadi jika aku mengalami hal yang sama? Apa bekalku menghadap-Nya? Apa yang akan aku tinggalkan untuk anak-anak dan istriku?
Aku tidak punya apa-apa selain harta. Harta yang tidak bisa kubawa sebagai bekal di alam kubur. Harta yang aku tidak yakin bisa dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Semua pikiran itu terus berkecamuk di benakku. Bagaimana sekarang, apa yang harus kulakukan? Kegelisahan itu terus terbawa hingga aku pulang ke rumah.
“Ada apa, Mas? Kenapa dari tadi terlihat gelisah seperti itu?” tegur Lea, istriku. Aku kira dia tidak memperhatikan kegelisahanku, sedari tadi dia asyik dengan telepon seluler miliknya.
“Kamu percaya dengan kesempatan kedua, Dik?”
Pertanyaanku membuatnya segera meletakkan ponsel.
“Entahlah, Mas. Tergantung apa masalahnya dulu. Jika ada seorang suami berselingkuh kemudian mengatakan bertobat dan meminta kesempatan kedua, aku tidak percaya!”
Aku menggeleng.
“Bukan tentang hal itu ya, Mas?”
“Bukan.”
“Lalu tentang apa?”
“Anak buahku meninggal tadi di kantor.”
Berita yang kusampaikan tampaknya membuat Lea terkejut. Dia menanyakan kronologis kejadiannya. Kemudian aku kembali bertanya mengenai kegelisahanku.
“Aku bertanya-tanya sendiri dari tadi. Jika aku ada di posisi David, apa yang akan kulakukan? Akankah aku bisa diselamatkan oleh dokter? Akankah ada kesempatan kedua untukku? Akankah ada kesempatan lagi menemani kamu dan anak-anak?”
Lea menatapku dengan sorot mata kebingungan.
“Aku merasa takut, Dik. Jika aku mati mendadak seperti itu. Apa yang aku wariskan kepada kalian? Apa bekalku menghadap-Nya?”
Dia spontan bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan merangkulku dengan erat.
“Jangan berkata seperti itu, Mas. Tidak akan terjadi apa pun padamu, padaku, dan pada anak-anak.”
Aku menggeleng mendengar jawabannya.
“Ajal kita memang tidak ada yang tahu, Dik. Aku hanya kepikiran bagaimana jika itu terjadi pada kita. Apa bekal kita menghadap-Nya? Aku lihat sendiri, David hanya dibungkus kain putih, tidak membawa bekal apa pun.”
“Mas masih terguncang karena melihat langsung kematiannya. Tenanglah, Mas, jangan dipikirkan terlalu dalam, tidak semua bisa dijawab sekarang. Kita jalani saja hidup ini dengan baik.” Lea semakin mengeratkan pelukannya.
“Kamu tahu, apa yang dilakukan oleh istrinya David? Dia histeris, Dik. Anak-anaknya menangis.” Kulepas pelukannya dan menatap matanya saat mengatakan reaksi keluarga David. “Mereka mengantar David dengan air mata dan doa, Dik. Doa yang dilantunkan dengan membaca ayat suci yang ada di Al-Qur’an. Apakah kamu mau melakukan hal yang sama jika aku yang ada di posisi David? Maukah anak-anak mengaji untukku?”
Reaksinya membuat aku termangu. Lea terlihat sangat syok dengan ucapanku. Matanya membesar sambil memegang dada.
“Jangan meminta sesuatu yang tidak pernah Mas contohkan kepada kami. Mas kepala keluarga, apa yang kulakukan selama ini hanya mengikutimu.”
Jawabannya membuatku menghela napas panjang. Lea tidak bisa menjawab pertanyaanku. Namun, aku merasa yakin telah diberi kesempatan kedua oleh Dia.
Apa pun yang akan kulakukan ke depannya akan terasa sangat berat. Mengubah kebiasaan kami sekeluarga yang tidak pernah memikirkan bekal untuk menghadap Tuhan nantinya. Selama ini, kami sibuk menikmati kehidupan, seolah-olah kematian bisa dihindari dengan materi.
Hari ini, keyakinanku goyah begitu melihat David yang juga mapan dan segar bugar mengalami kematian dengan proses begitu cepat.
Kini, aku yang bangkit untuk menghampiri Lea. Memeluknya erat.
“Dengarkan janjiku, Dik. Aku akan berubah. Aku akan menyiapkan bekal untuk kalian jika aku pergi seperti David. Semoga, ketika waktu itu tiba, aku pun sudah punya bekal sendiri untuk menghadap pada-Nya.” (*)
Bali, 09 Mei 2021
Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di taman kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.
Editor : Rinanda Tesniana