Tanda Merah di Pipi
Oleh : Hassanah
Pakaian yang sudah terlipat rapi mulai aku masukkan ke lemari satu per satu. Setelahnya, aku duduk di tepi dipan yang berada di dekat jendela. Dipan yang berukuran kecil, sudah mulai lapuk kayunya, dan robek di bagian pinggir kasur kapuknya. Aku mengembuskan napas panjang saat melihat anak-anak yang berlari riang di luar rumah lewat jendela kamar. Masa kecil yang bahagia. Akan tetapi, aku telah melewatinya dengan begitu saja hingga saat ini. Umur tujuh belas yang mengenaskan. Tanpa tawa, tanpa teman. Aku lelah.
Beberapa detik kemudian, pintu kamar yang terbuka sebagian didorong dari luar dengan kuat. Suara keras yang ditimbulkannya membuatku terkesiap. Mama sudah berdiri di sana dengan tatapan berang.
“Intan! Sudah berapa kali Mama katakan agar tidak membuka pintu dapur?! Kucing sialan itu sudah mencuri lauk kembali.”
“Maaf.”
“Dasar anak tak berguna! Menyesal Mama melahirkan kamu ke dunia.”
“Maaf, Ma.”
“Sudah! Lebih baik kamu tidak perlu melakukan apa pun! Mama muak dengan segala kekacauan yang kamu buat.”
Mama mengunci pintu kamar dari luar setelah mengatakan kalimat barusan. Sesuatu yang membuatku tertawa karena sudah lelah meluapkannya dengan deraian air mata. Seburuk itukah aku hingga Mama tak pernah menganggap atau bahkan menerima kehadiranku di rumah ini?
Aku menarik diri dan meringkuk di atas kasur. Rasa nyeri di jempol kaki kian menjadi dan berdenyut-denyut. Warnanya sudah kebiruan dengan putih kekuningan di sisi kukunya. Ingatan saat Mama menindihnya dengan kaki meja membuat aku menahan napas. Sesak. Ditambah pula rasa nyeri di sudut bibir sejak tadi malam. Perih dan berdenyut akibat tamparan Mama. Namun, rasa sakit di dalam sana jauh lebih menyiksaku.
Suara keramaian di luar rumah sesekali membuatku ingin menjadi bagian dari mereka. Bermain, bercengkerama, dan berbagi cerita. Kulihat anak-anak gadis seusiaku tengah berjalan bersama. Kutebak, mereka hendak pergi ke kota. Akhir pekan yang sepertinya menyenangkan.
“Intan, kamu di sana?”
Suara itu. Fadlan, akhirnya dia datang juga. Segera aku mendekati jendela berterali besi di sisi kanan dipan. Rasanya, tersenyum saja tak cukup untuk menyambut kedatangannya.
“Hai, sudah lama kamu tidak mengunjungiku.”
“Apakah itu pertanda rindu?”
“Hanya kamu yang mau datang ke sini untukku.”
“Bukankah aku adalah temanmu?”
Aku terdiam sejenak. Degup jantungku tiba-tiba berpacu kencang. Dengan menahan rasa panas pada kelopak mata, aku menjawabnya lirih, “Tidak. Aku tidak pantas menjadi temanmu.”
“Kenapa?”
“Kamu akan menyesal karena tak akan melihatku ada di saat kamu membutuhkan teman.”
Hening. Hanya suara anak kecil yang sedang berteriak mengejar pedagang mainan keliling mengisi kesunyian di antara aku dan Fadlan. Wajahnya yang tengah menatap wajahku kini sudah mengabur. Kelopak mataku terasa panas.
“Bertahanlah. Kumohon. Dua tahun lagi, aku akan membuatmu terbebas dari rumah ini. Percayalah padaku,” ucap Fadlan setelah meloloskan sebuah bungkus plastik hangat dari jendela.
Dia pergi. Dengan mengayuh sepeda ontel yang membawa dagangan di belakangnya, dia berteriak seperti biasa. Cilok, cilok, cilok, bisikku mengikuti irama Fadlan saat menjajakan dagangannya.
Hanya dia, satu-satunya, yang mengajakku bicara saat tanda merah di pipi membuat sayatan di lenganku semakin banyak. Hampir saja, tali jemuran yang kusembunyikan di belakang lemari menjadi jembatan menuju maut. Tiga minggu lalu, setiap kali Mama memukuliku akibat kesalahan yang menurutnya fatal. Atau, saat dia pulang dalam keadaan mabuk.
Akankah aku mampu menunggumu, Fadlan?
***
“Intan, sudah kupenuhi janji dua tahun lalu. Sekarang, tersenyumlah sedikit untukku.”
“Bolehkah?”
“Tentu. Kecantikanmu pasti bertambah setelahnya.”
Aku tersenyum kecil. Di perjalanan menuju rumah orang tua Fadlan di Desa Bayangalu Kidul, aku melihat dunia luar yang sesungguhnya. Bersama lelaki yang sering mengunjungiku dua minggu sekali, dari balik jendela kamar berterali.
“Ah, sepertinya jantungku akan copot. Senyummu membuatnya berdetak sangat kencang.”
Aku mencubit lengan Fadlan dengan cepat. Rasanya sangat malu sekali mendapat gombalan seperti tadi.
Fadlan mengusap pipi kananku. Bibirnya tersenyum kecil dengan mata berkaca-kaca. Sejujurnya, ada rasa perih di sana. Namun, rasa hangat dari telapak tangannya membuat perih bercampur ngilu itu tersamarkan.
“Aku berjanji, tanda merah di pipi ini adalah yang terakhir dalam hidupmu. Tak akan kubiarkan Mama melakukannya lagi.”
Aku mengambil tangan Fadlan dan meletakkannya di atas pangkuan. Rasa panas yang menguasai kelopak mata sejak tadi, akhirnya melelehkan air yang terkurung di sana. Aku sudah tidak lelah lagi.
“Terima kasih, telah menjadikan aku sebagai istrimu.”
“Tidak, tidak begitu. Sebaliknya, aku yang berterima kasih. Karena kamu bertahan sampai detik ini.”
Suara klakson panjang bus yang kami tumpangi diiringi teriakan penumpang di bagian depan, menjadi hal terakhir yang kudengar. Genggaman tangan dan pelukan dari Fadlan menjadi sentuhan terakhir yang kurasakan. Bus yang kami naiki terguling entah berapa kali. Hangat, ada sesuatu yang mengalir di punggung dan pipi sebelum kesadaranku menghilang sepenuhnya. Akankah aku mati?
Bumi Lancang Kuning, 29 Maret 2021
Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Penyuka petrikor, segelas kopi panas, dan senja.
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata