Tentang Orang-Orang yang Enggan Menengadahkan Tangan

Tentang Orang-Orang yang Enggan Menengadahkan Tangan

Tentang Orang-Orang yang Enggan Menengadahkan Tangan

Oleh : Jeevita Ginting

 

Apa kau melihatnya, Nak? Orang-orang itu membuang makanan mereka di tempat sampah hingga lalat-lalat gemuk datang mengerumuni bahkan menetaskan telur-telurnya di sana, sampai nantinya seorang petugas kebersihan datang dan membawanya ke tempat pembuangan sampah.

Mungkin kau akan merasa jijik karena makanan itu telah bercampur sampah lain yang berbau menyengat. Namun, apa kau tahu bahwa sebenarnya di sanalah surga yang dibuat untuk kita? Benar, Nak. Kita bisa bebas mengambil apa pun dari sana tanpa harus membayar, tanpa takut dituduh sebagai pencuri, tanpa bersikap memelas demi menarik simpati orang. Di sanalah nasi dan daging sisa yang orang-orang itu buang berada.

Jangan mengeluh, Nak. Percuma terus menyumpahi keadaan seperti itu. Syukuri saja, toh setidaknya kita bisa tetap makan. Kau tahu kalau kedua mataku kini sudah lamur, kan. Jangankan untuk kembali memunguti tumpahan beras maupaun sayur-sayur tak layak jual di pasar seperti dulu, bisa membawamu ke tempat sampah ini saja bukankah termasuk keajaiban?

Berhentilah merutuki dirimu seperti itu. Aku tak pernah menyalahkanmu karena kedua kakimu buntung, ataupun menganggapmu sebagai beban. Kau putraku, ingat? Kemarilah … kau hanya perlu sedikit mengais tumpukan sampah di hadapanmu itu, dan kau akan segera mendapatkan sesuatu untuk di makan. Jangan kau pikirkan tentang layak atau tidaknya makanan ini, yang terpenting sekarang, perutmu itu berhenti menjerit-jerit lagi.

Nak, apa kau sudah mendengar kabar yang begitu menggembirakan? Orang-orang yang membuang makanan mereka di depan rumahnya itu terus membicarakan datangnya bulan di mana mereka harus menahan haus dan lapar. Kau tahu apa artinya itu, Nak? Akan ada lebih banyak makanan yang mereka buang nantinya. Mereka selalu saja begitu, memasak banyak makanan, merasa bisa menghabiskan semuanya, tapi akhirnya malah dibuang begitu saja. Sebagian dari makanan itu masih enak, tak ada jamur maupun lendir berbau busuk yang menutupinya. Bukankah kita sangat beruntung?

***

Kenapa pagi ini aku merasa kau sedang sangat gelisah, Nak? Apa kau merasa bising karena mendengar tabuhan-tabuhan yang begitu nyaring itu? Mereka adalah orang-orang yang membangunkan orang lain agar lekas makan, supaya selepas fajar hingga petang nanti mereka kuat untuk menahan lapar dan haus.

Tidak. Kita tidak perlu makan pagi-pagi buta seperti seperti mereka. Memangnya kau mau lemas karena kelaparan saat aku kembali mengajakmu berkeliling, mengais sisa-sisa makanan orang-orang itu? Sekarang rapatkan kembali selimutmu, kembalilah tidur. Saat fajar kita akan segera berkeliling sebelum petugas kebersihan datang dan membawa makanan-makanan itu ke tempat pembuangan sampah.

***

Kau terus saja berdecak kesal. Bukankah sudah kukatakan tak ada pilihan lain selain melakukan hal ini. Berhentilah mengeluh seperti anjing yang dipaksa majikannya berburu. Lebih baik kau tetap perhatikan jalanan di depanmu saat menuntunku.

Nak, mengapa kini kau berhenti menyeret tubuhmu? Apakah kita sudah sampai di tempat sampah dari salah satu rumah yang sering kita kunjungi? Mengapa kau terisak pilu seperti itu? Ah, terserah saja. Sekarang lekaslah kembali seret tubuhmu, kita harus segera kenemukan sesuatu yang bisa dimakan.

Tunggu sebentar, aku mendengar suara orang lain. Dia sepertinya tengah berbicara padamu. Apa kini aku juga mulai tuli? Suara yang kutangkap terdengar begitu samar. Ucapan terima kasih? Apa benar kau yang mengucpkannya, Nak?

Ah, mengapa lagi-lagi kau enggan menjawab pertanyaanku. Aku hanya penasaran, mengapa kau mengucapkan terima kasih seperti itu. Apa yang telah orang itu lakukan untukmu? Dan mengapa sedari tadi kita hanya terus bergerak tanpa mengais makanan seperti biasanya? Yang kudengar terus-menerus hanyalah suara ketukan dan ucapan terima kasih yang kaugaungkan.

Kedua kakiku kini mulai lelah, perutku juga kelaparan, tapi anehnya kau masih tetap semangat menyeretku kesana-kemari. Ah, kenapa sekarang gantian aku yang mengeluh. Mungkin karena aku sudah sangat lapar. Ya, bisa jadi begitu. Dan bahkan kini aku mencium sesuatu yang beraroma sangat sedap.

Aku jelas merasa penasaran dengan asal aroma itu, hingga akhirnya aku tahu bahwa aroma itu tercium dari makanan yang kau bawa. Tapi dari mana kau mendapatkannya? Apa kau mengais makanan yang masih seeenak ini di tempat sampah?

Kau memintaku untuk tak banyak bertanya, dan lekas menghabiskan makanan ini agar kita bisa kembali berkeliling, dan aku menurutinya. Ah, sepertinya putraku ini memang sudah besar. Dan kurasa kau sudah berlapang dada dengan apa yang kita jalankan sekarang. Baguslah….

Hari-hari berikutnya tetap berjalan sama seperti biasa, selepas fajar kita berkeliling mencari sisa makanan orang-orang yang sahur dini hari tadi. Akan tetapi, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang janggal. Aku terus saja mendengar suara ketukan, dan rangkaian ucapan terima kasih yang mendayu. Jika yang kupikirkan adalah benar … apakah kau sekarang mengemis, Nak?

Hening. Kau tak berani menjawab pertanyaanku, berarti benar beberapa hari terakhir kau tak mengais makanan di tempat sampah, melainkan meminta-minta pada mereka. Sadarkah apa yang kau lakukan, Nak? Kau membuat kita semakin hina! Sudah … aku tak mau mendengar penjelasanmu. Yang jelas, mulai sekarang berhentilah menjadi pengemis yang mengharap belas kasih!

Nak, apakah kau percaya pada ucapan mereka yang mengagungkan bulan ini, mereka yang berlomba-lomba berbuat baik, entah itu dengan menyantuni kaum duafa seperti kita atau menyerukan kebaikannya melalui spiker-spiker surau. Kau tertipu! Kau terperdaya!

Taukah kau, Nak. Mereka tak pernah benar-benar mengagungkan bulan ini. Mereka hanya menjadikan bulan ini sebagai kedok. Dan mereka juga hanya menjadikan kita sebagai kambing hitam! Memang benar, mereka berbagi rejekinya pada kita, tapi setelahnya mereka akan mengambinghitamkan kita, menyeru-nyerukan kekurangan yang kita punya, lantas menunjukkan seberapa baiknya mereka, seberapa banyaknya harta yang mereka miliki sehingga bisa membantu kita.

Bagaimana, sekarang apa kau paham, Nak? Mulai sekarang, berhentilah meminta-minta, tetaplah kau turuti perintahku untuk mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah! (*)

Senin, 10 Mei 2021

 

Jeevita. Perempuan berdarah jawa, lahir di bulan februari. Bertempat tinggal di Batang Jawa tengah, sudah sejak kecil gemar membaca. Mimpinya memiliki buku solo yang terpajang di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia. Penulis biasa aktif di sosial media Facebook bernama Jeje, dan Instagram Jeevita_21.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

+28
 

Leave a Reply