Sandiwara Alam
Penulis: Ray Eyrus
Suara gemeresik menemani langkah mengendap-endap seorang lelaki di sepertiga malam itu. Tubuhnya yang tegap berbalut jaket kulit hitam berhati-hati menembus malam. Langkah kakinya pasti, menuju suatu tempat yang telah diperintahkan. Menjalankan rencana kotor titah sang tuan.
Dengan perhitungan matang, lelaki misterius itu membuka gerbang sebuah bangunan. Aksinya seperti belut, licin. Cukup mudah baginya untuk masuk ke area ibadah Masjid Al Amal.
Tanpa membuang waktu, ia segera menuju tempat penampungan air bersih di bagian belakang masjid tersebut. Dia menoleh ke sekitar untuk memastikan bahwa ia aman. Setelah yakin tidak ada yang akan menghalanginya, ia pun segera membuka kancing depan jaket yang dikenakan. Kemudian tampak tangan kanannya, merogoh ke balik jaket tersebut.
Kini, tabung kaca sebesar ibu jari orang dewasa—berisi cairan bening—berada dalam genggaman tangannya. Ia sempat menarik sebelah sudut bibirnya, sambil memandang benda tersebut. “Sebentar lagi, tidak akan ada orang yang mau ke masjid ini,” ucapnya penuh keyakinan.
Baru menjejak anak tangga pertama untuk mencapai mulut tempat penampungan air tersebut, tiba-tiba ia dikejutkan, “Woy, siapa itu yang manjat? Maling, ya?” Lantang suara itu menembus sunyi.
“Mana malingnya? Cepat tangkap!” susul suara yang lain.
Tanpa menoleh, ia semakin tergesa-gesa menaiki anak tangga yang tersisa. Ketika sampai di bibir bak besar yang terbuat dari beton setinggi dua meter itu, alih-alih menyelesaikan misinya, ia justru melompat ke bagian belakang bak yang langsung terhubung ke jalan setapak memasuki hutan.
Ia disergap rasa panik. Tergopoh-gopoh ia menyeret langkah dari kejaran orang-orang di belakangnya. Baru kali ini dia bertindak ceroboh. Lalai terhadap kegiatan ronda, serta salah perhitungan saat mendarat. Alhasil, kakinya terkilir.
Lelaki itu terus bergerak tanpa mengacuhkan sakit yang tengah dirasakan. Terus berlari sampai tak ada jalan untuk maju apalagi kembali.
Ya, jalan setapak itu adalah jalan menuju bendungan Desa Sukamal yang baru saja diresmikan. Sebuah mahakarya yang membuat tuannya murka. Sebuah sebab hingga ia tak bergelung kehangatan malam ini.
“Sial!” rutuknya putus asa.
Sementara itu, dua orang pemuda yang memergoki dan mengejarnya semakin dekat. Bahkan mereka sudah sempat membunyikan kentungan untuk memanggil warga desa.
Ia menyisir keadaan sekitar sambil menimbang-nimbang langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri. Sampai pada saat pandangan matanya terpaku ke telapak tangan kanannya … seketika ia mematung. Tabung kaca yang digenggamnya pecah, dan sebagian pecahannya menancap pada telapaknya.
Rupanya, rasa panik telah mengalihkan nyeri tertusuk beling. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi tetap berdarah.
“Woy, siapa kamu?” tanya suara dari belakang punggungnya. Ah, ia telah terkejar.
“Kamu gak bisa lari ke mana-mana lagi, Boy …,” ucap suara lain, “Menyerah sajalah!” lanjutnya.
Lelaki berjaket hitam itu berbalik menghadap mereka, kemudian melemparkan seringai kepada dua orang yang berhasil memojokkannya itu.
“Kalian akan sengsara! Ha-ha-ha.” Lelaki itu kembali membelakangi mereka, lalu ia terjun masuk ke dalam bendungan yang gelap.
“Gila. Jangan, woy!” Teriakan itu yang sempat didengar lelaki berjaket hitam, sebelum akhirnya ia tenggelam ke dalam pekat dan dinginnya air bendungan Desa Sukamal.
***
“Guoblok!” teriak seorang pria tambun berkumis baplang, “Harusnya kamu mati saja,” lanjutnya.
“Ta-tapi, Pak … setidaknya, saya sudah berhasil mencemari air di bendungan itu,” ucap seorang lelaki berjaket hitam—agak basah—hati-hati.
“Iya, tapi kamu jadi terinfeksi dan kembali sebagai orang yang tak berguna!” murka sang tuan yang meludah ke lantai semen agak berlumut di dalam bangunan itu.
“Perlu kau ketahui, aku hanya mau orang-orang yang datang ke masjid saja yang jadi pesakitan. Aku mau mereka tidak lagi ingin beribadah dan semakin jauh dari Tuhannya. Terutama Kades Sukamal yang sok dermawan itu!” Lelaki tambun itu berdiri kasar, hingga menjatuhkan kursinya.
“Emm, tapi tadi malam—“
“Halah, tidak ada tapi-tapian!” hardiknya, “Bejo, Codet! Kemari kalian!” teriaknya menggema di dalam bangunan tersebut.
“Siap, Pak Kades!” seru dua orang laki-laki lain bersamaan.
“Seret anak setan ini dan bakar dia hidup-hidup. Dia sudah tak berguna!” titahnya yakin.
Kedua orang bertampang preman yang dipanggilnya tersebut saling melemparkan pandangan. Tampak jelas keterkejutan dan keraguan dari wajah keduanya.
“Cepat!” seru lelaki yang dipanggil “Kades” dengan mata yang seolah-olah hendak melompat ke luar.
“Si-siap, Pak,” ucap dari salah seorang pesuruhnya yang memiliki tanda bekas luka di wajah.
Sigap kedua anak buahnya menggamit kedua lengan lelaki berjaket hitam. Sedikit menyentakkan tubuh si lelaki agar bergerak mengikuti mereka.
“Bukankah, Tuanku punya penawarnya?” cecar sang lelaki berjaket hitam, setengah berteriak. Ia dengan sengaja menekankan kata: Tuanku, berharap dapat pengampunan.
“Apa? Penawar?” Pak Kades mendekat ke arahnya.
“Ha-ha-ha, Nanang … Nanang … emangnya kamu siapa, hah?” ejeknya, “Cepat bawa dia!” Kades itu kembali menekan kedua suruhannya.
Belum sempat lelaki berkumis baplang membalikkan badan, Nanang meludahi wajah yang penuh gelambir itu. Air liur Nanang mengenai bagian sebelah kiri wajahnya. Refleks ia menyeka wajah dengan punggung tangan.
“Bajingan! Kau berniat menulariku.” Pias wajahnya terbingkai, seakan tak percaya pada apa yang baru saja ia alami, diludahi. Dia semakin muntab. “Cepat, bakar dia!” Kemudian segera berlalu meninggalkan tempat tersebut.
“Ayo, cepat! Kamu dengar itu, kan, Nang?” gertak seorang laki-laki tanpa bekas luka di wajahnya, menarik tangan Nanang.
“Kalian, apa tidak takut tertular?” tanya Nanang sendu, “Sebentar saja, aku bisa menularkan virus itu pada kalian,” lanjutnya.
Bejo dan Codet kompak melepaskan cengkeraman mereka. Bahkan Codet mundur beberapa langkah menjauhi Nanang.
“He-he-he, kalian takut rupanya.” Setengah bergetar Nanang mengucapkannya.
“Biarkan saja aku pergi. Lepaskan aku dan kalian aman.” Nanang mencoba bernegosiasi. “Cukup bilang pada kepala desa berengsek itu, bahwa kalian sudah menjalankan tugas kalian.” Nanang bergerak mundur perlahan-lahan menunggu kesempatan untuk melarikan diri.
“A-aku belum menikahi Lastri,” ucap Codet tercekat, “Aku gak mau tertular!” lanjutnya tampak ketakutan.
“Bodoh, dia hanya menggertak!” tukas Bejo geram ke arah Codet.
Tidak menunggu lama, Nanang mengambil kesempatan itu untuk kabur. Ia berlari sekuat-kuatnya meninggalkan kedua orang yang hanya bisa bengong memandangi kepergiannya.
“Bodoh, ayo kita kejar!” teriak Bejo.
“Ogah!” Mantap Codet menjawab.
***
“Bu, kopiku mana?” tanya Kepala Desa Sukaunjuk pada istrinya.
“Bentar, ya, Pak!” seru sang istri dari arah dapur.
Tak berselang lama, sang istri menyajikan secangkir kopi susu panas beserta sepiring pisang rebus ke atas meja makan. Kemudian, ia memungut handuk setengah basah dari punggung salah satu kursi makan.
“Tumben banget, Pak, mandi jam segini?” tanya sang istri heran.
“Gak papa, Bu, gerah!” Ia menjawab sekenanya.
“Nanang, kok, gak muncul hari ini, ya, Pak?” selidik istrinya, “Padahal mau minta tolong buat nyalakan mesin air. Syukurnya hari ini jatah desa kita dapat aliran air dari bendungan Desa Sukamal,” lanjutnya sembari berlalu kembali ke dapur.
Cangkir kopi menggantung dalam genggaman suaminya. Seketika kegiatan menyesap kopi panas terhenti begitu saja.
Kopi yang sempat disesap tersembur dari bibir gelap Pak Kepala Desa Sukaunjuk tersebut, berhamburan membasahi dan menodai taplak meja makan. Wajahnya tampak pucat, seakan-akan tak memiliki pembuluh darah.
“Minumnya hati-hati, dong, Pak!” ketus istrinya sambil membawa lap basah dari dapur.[*]
Kota Minyak, 8 Mei 2021
Ray Eurus, penulis yang juga seorang istri dari lelaki yang biasa disapa Bang Ray. Ibu dari lima orang putra-putri yang dijuluki Al Haq Squad ini dapat diajak berdiskusi melalui akun Facebook: Ray Eurus.
Editor: Inu Yana
#bencana #bendungan #karma
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata