Andai Bisa Diulang Kembali

Andai Bisa Diulang Kembali

Andai Bisa Diulang Kembali

Oleh: Jemynarsyh

 

Aninda, remaja tujuh belas tahun, terduduk di lantai kamar mandi. Wajahnya pucat, bulir keringat membasahi kening. Tangannya gemetar memegang benda persegi panjang berukuran kecil. Dua kali sudah ia mencoba dan hasilnya selalu sama. Positif. Apa yang ia takutkan beberapa minggu ini terjadi. Aninda menghela napas panjang, satu-satunya orang yang bisa membantunya adalah Arlan, kekasihnya. Ya, lelaki yang mengajarinya mengenal cinta itu harus bertanggung jawab.

 

Dibukanya pintu kamar mandi dan memandangi sekitar yang tampak sepi. Hari ini Minggu, kedua orangtuanya sudah berangkat ke ladang, tinggallah ia sendiri di rumah. Bergegas Aninda memasukkan satu test pack berbentuk persegi panjang itu ke dalam tas. Setelah mengunci semua pintu, ia segera menstater motor menuju ke tempat Arlan.

 

Jalanan tampak sepi, Aninda mengendarai motor dengan kecepatan sedang menelusuri gang yang kanan-kirinya dibangun tembok tinggi. Memang, tempat Arlan cukup jauh dari tempatnya tinggal. Diperlukan waktu sekitar enam puluh menit untuk sampai di tempat tujuan. Setibanya di penghujung gang, Aninda belok ke kiri menuju rumah bercat biru.

 

Dari pekarangan rumah terdengar suara gelak tawa diiringi musik yang mengentak. Pemukiman sekitar sini memang sepi, penghuninya hanya beberapa orang dan itu pun acuh dengan kondisi sekitar. Seraya menahan mual yang tiba-tiba bergejolak, Aninda membuka pintu. Terlihat sepasang muda-mudi sedang tertidur di pojok sana. Beberapa orang lainnya sedang minum sembari terkikik menertawakan temannya. Ruangan ini begitu pengap, itulah yang dirasakan Aninda. Sambil menutup hidung dengan lengannya, ia menghampiri Arlan yang sedang menghisap tembakau di ujung kursi.

 

Arlan menatap heran Aninda, tak biasanya kekasihnya itu mau menghampirinya ke sini. Ia segera membuang sisa tembakaunya, kemudian tangannya terulur hendak menarik Aninda ke dalam pelukannya, tetapi segera ditepis oleh si wanita berambut panjang itu. “Ar, kita bicara di luar saja,” pinta Aninda yang masih berdiri di hadapan Arlan.

 

Arlan mengangguk lantas mengekori Aninda. Dua sejoli itu berjalan menuju teras depan. Sesampainya di teras, Aninda memberikan test pack itu kepada Arlan.

 

Arlan tertegun memandangi benda pipih itu. Bagaimana mungkin, selama ini selalu bermain aman, pikir Arlan. Ia menoleh ke samping, di mana Aninda tertunduk menahan isak.

 

“Maaf ….” Hanya itu yang keluar dari bibir Arlan. Ia masih mencerna informasi yang baru saja ia terima. Ada rasa percaya dan tidak, tetapi saat pandangannya tertuju pada benda pipih itu, ia tahu, semuanya tidak baik-baik saja. Ada tanggung jawab besar yang harus segera ia pikul.

 

“Kamu, harus tanggung jawab Arlan! Kamu harus ketemu sama kedua orangtuaku!” desis Aninda, air matanya luruh membasahi pipi yang terlihat gembil.

 

Arlan menarik napas panjang, lalu mengacak rambutnya yang kian kusut. Napasnya mulai tak teratur menahan emosi yang bergejolak. Arlan tak mau jika harus menghadap kedua orangtua Aninda. Menikah, sungguh, ia tak pernah berpikiran untuk menikah di usia semuda ini.

 

“Nin, dengar, ya,” ucap Arlan seraya memegang pundak Aninda. Ditatapnya wajah sang kekasih yang tampak sembab oleh air mata. “Nin, kita masih muda, aku belum siap kalau harus menikah. Kita bisa gugurkan kandunganmu dan setelahnya kita bebas bisa meraih kembali mimpi kita.” Arlan menatap lekat Aninda.

 

Aninda terkejut, ia tak menyangka jika Arlan akan berucap demikian. Tangannya refleks menampar pipi mulus Arlan. Dengan kemarahan yang kian menggebu Aninda memukul-mukul Arlan hingga lelah dan bersimpuh di lantai. “Ar, aku enggak mau tahu. Kamu harus tanggung jawab! Ingat, aku enggak akan menerima tawaranmu untuk menggugurkan kandungan ini,” ucap Aninda seraya berdiri meninggalkan Arlan.

*

Perasaan Aninda kian berkecamuk kala tahu kedua orangtuanya telah tiba. Dengan langkah pelan ia masuk ke rumah. Jantungnya berdegup kencang saat melihat sorot mata sang ibu yang terlihat terluka. Kedua pasangan tua itu sedang duduk di kursi. Tampak lelaki tua yang rambutnya memulai memutih itu terdiam. Wajahnya memerah, napasnya tak teratur seperti orang habis berlari. Kedua tangannya mengepal menahan gejolak amarah.

 

Aninda bersimpuh di hadapan sang ibu yang sedang memandang kosong pada benda pipih yang sudah ia buang ke tempat sampah itu.

 

“Bawa orangnya ke sini, Nin!” perintah Bapak, suaranya lirih. Namun, penuh dengan penekanan.

 

Aninda masih terisak di kaki sang ibu. Perasaannya remuk redam. Ia sedih, juga menyesal dengan apa yang telah diperbuat. Apalagi sedari tadi kedua orangtuanya enggan menatapnya, membuat perasaan Aninda kian pilu. Andai bisa, Aninda ingin mengulang waktu yang telah lalu. Ia akan menjadi anak yang mengingat nasihat orangtuanya dan tak akan ikut bergaul bebas seperti temannya. Andai waktu bisa diulang lagi, tentu ia takkan terlena dengan dunia merah jambu itu.[*]

 

 

Katingan, 15 Mei 2021

 

Jemynarsyh, gadis kelahiran Kalimantan yang sedang belajar aksara.

 

Editor: Inu Yana

 

#penyesalan #cinta #remaja

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply