Innocent Boss (Part 9)

Innocent Boss (Part 9)

INNOCENT BOSS
Oleh : R. Herlina Sari

Part 9

Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang berdegup kencang. Beruntung, Dewi Fortuna berpihak kepadaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan kesekian, seolah memberiku kesempatan untuk mempelajari berkas terlebih dahulu.

Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama kali mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggungjawabkannya, tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.

Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri, kemudian menyiapkan data yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun pertama kalinya aku berbicara di depan orang, tetapi hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.

Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali aku bekerja di bawah asuhannya. Meskipun dalam bentuk hukuman, tetapi ada ilmu yang bisa aku dapat. Ketertarikanku kepadanya naik satu tingkat.

Tepuk tangan meriah bergema menutup presentasi yang aku lakukan. Aku tersenyum lega. Tak sengaja kutatap Pak Nala yang juga tersenyum tipis, kemudian kembali memasang wajah datar.

“Bagus. Lain kali kamu aja yang presentasi,” ucap Pak Nala saat kami keluar dari ruangan meeting.

What? Gila. Aku enggak maulah karena bukan tanggung jawabku. Enak aja!

“Kalau saya yang presentasi, terus Bapak ngapain?” tanyaku.

“Jadi suami kamu,” ujarnya singkat. Kemudian mempercepat langkahnya menuju ruangan.
Sedangkan aku masih mencoba mengumpulkan nyawa karena mendengarkan apa yang Pak Nala ucapkan. Memang duren yang satu itu suka bikin orang salah tingkah. Sial!

Namun, aku tak bisa memungkiri jika ada hati yang berbunga-bunga karena ucapannya.

***

“Sher, makan, yuk!” ajak Raka. Lagi-lagi cowok itu sudah nangkring di depan kabin, padahal jam baru sana menunjukkan pukul 11.40. Dua puluh menit sebelum jam istirahat kantor di mulai.

“Dua puluh menit lagi, Ka,” jawabku. Aku bukanlah tipe orang yang suka makan gaji buta atau istirahat sebelum waktunya.

“Aku udah laper. Yuk!” Raka memaksa.
Tak bisa dimungkiri kalau sebenarnya aku pun merasakan hal yang sama. Sejak pagi memeras tenaga dan otak, sudah waktunya perut diberi asupan yang bergizi.

“Emangnya kamu enggak ada kerjaan kok udah free jam segini?” tanyaku. Mataku masih menatap layar komputer dan mengetik sesuatu di sana.

“Semua udah beres. Kalaupun aku pulang sekarang juga tak masalah,” ucapnya.

Aku heran sama cowok yang satu ini, kerjaannya santai benar. Padahal kalau dilihat yang lainnya selalu ada kesibukan dan tak pernah ada waktu luang untuk bersenang-senang. Namun, cowok ini? Sebenarnya bagian apa dia di perusahaan ini? Aku jadi penasaran.

Tepat pukul 12.00 siang, aku dan Raka berjalan keluar kantor. Kami memutuskan untuk makan siang di luar. Sebelum itu, tak lupa handphone aku matikan karena tak ingin bos killer mengganggu seperti yang terakhir kali. Sudah cukup duren yang satu itu membuat kembang kempis di hatiku.

Aku mengambil duduk di pojokan, sambil menikmati pemandangan dari balik kaca. Hilir mudik para pekerja yang sedang beristirahat menjadi hiburan tersendiri.

“Sekarang jujur sama aku, mengapa kamu tadi menolak aku jemput?” tanya Raka. Cowok itu duduk di depanku setelah memesan beberapa makanan dan minuman.

“Biasa, Ka. Pak Nala. Kan, kamu tahu sendiri lelaki itu tak bisa dibantah. Aku juga heran mengapa dia begitu. Padahal kalau sama yang lainnya enggak pernah,” jawabku.

“Jangan-jangan dia ada rasa kali ama kamu, Sher?” Raka mengutarakan pendapat. Ah, bukan pendapat, melainkan pertanyaan yang aku sendiri tak tahu bagaimana menjawabnya.

“Jangan bahas dia bisa enggak sih, Ka? Aku bosen. Terlebih itu orang suka memainkan perasaan. Masa aku harus presentasi tadi. Padahal itu, kan, tugasnya. Hanya karena hukuman saat aku menumpahkan kopi di mejanya.” Aku menghela napas perlahan. Ada gemas yang merajai hati.

“Kamu ini enggak mau bahas malah yang antusias. Shera … Shera ….”

Kami menyantap makanan dengan tenang tanpa gangguan. Iyalah, karena handphone aku matikan. Dan aku sadar diri harus mempersiapkan untuk hukuman yang akan aku terima selanjutnya. Biarlah kali ini aku bersenang-senang berdua sama Raka.

“Sher … tahu enggak kalau CEO perusahaan kita mau ada pergantian?”

“Iyakah? Kok aku enggak denger gosipnya, ya? Apa karena aku hanya bergaul sama Pak Nala aja jadi karyawan lain tak mau ngasih tahu? Kok kamu tahu? Dari mana, Ka?” tanyaku.

“Aku dengar gosip saat gak sengaja fotokopi berkas,” jawabnya. Kulihat dia sedang menyeruput es jeruk di hadapan. Otakku jadi berkelana saat melihat jakunnya naik turun.

“Kira-kira, CEO baru laki apa perempuan, ya?”

“Laki-laki.” Belum selesai aku berkata, Raka sudah menjawab.

“Ah, pasti orang tua yang gendut dengan perut tambun. Lagian aku tak akan ada hubungan sama CEO-CEO itu. Jadi aku tak akan mengindahkannya. Biarin ajalah mau ganti kek atau enggak kek aku juga gak bakal peduli,” jelasku.

“Bukan gitu, tapi gosipnya dia lagi cari sekretaris baru. Kali aja kamu minat,” jawab Raka.

“Enggak! Latar belakang pendidikanku ekonomi, bukan sekretaris. Yang ada bosnya ntar gemes melihat kinerjaku yang amburadul. Yuk balik, udah mau jam satu!” ajakku.

Raka akhirnya beranjak dan membayar makanan kami. Ah, ternyata aku ditraktir. Sering-sering aja, jadi uang makan siangku utuh. Aku bisa nabung buat beli skincare.

***

Aku berjalan santai menuju ruanganku. Belum sempat duduk, suara bariton menegurku dengan keras.

“Dari mana saja kamu?” tanyanya.

“Makan siang, Pak,” jawabku tak acuh.

“Mengapa handphone kamu matikan?”

Lowbatt. Lagian saya ingin makan dengan tenang, Pak. Bukankah memang waktunya jam saya istirahat?”

Pak Nala mendekat dan mengungkungku di dinding dengan kedua tangannya.
“Aku enggak keberatan kamu makan sendirian. Tapi aku enggak suka kalau kamu makan berdua dengan lelaki lain,” bisiknya.

Apa-apaan ini? Mengapa mendadak atmosfer di ruangan ini panas. Gerah. Padahal AC menyala di titik paling rendah.

“Kamu dengar, Shera?” tanyanya.

“Dengar, Pak. Tapi apa alasan Pak Nala melarang saya untuk makan dengan orang lain?”

“Karena kamu milikku,” bisik Pak Nala. Kemudian dia keluar ruangan meninggalkanku dengan napas yang masih sesak.

Sepeninggal Pak Nala, aku duduk di ruangan. Memikirkan apa yang baru saja terjadi. Hatiku berdebar-debar dengan degup jantung yang lebih cepat. Nyaris saja aku teriak jika tak menyadari bahwasanya aku sekarang sedang berada di kantor.

Sesorean itu aku tak fokus kerja. Pikiran ini berkelana ke mana-mana hingga dering interkom berbunyi.

“Shera, bisa kamu ke ruangan saya sebentar,” kata Bu Sherly. Aku hafal suaranya yang merdu.

“Ya … Bu,” jawabku. Segera aku berajak dan menuju ruangan Bu Sherly.

Tumben HRD memanggilku. Jangan-jangan aku akan dipecat. Mendadak wajahku pucat memikirkan pemecatan. Karena hanya ada dua alasan yang Bu Sherly memanggilnya karyawan, kenaikan jabatan atau pemutusan hubungan kerja. Aku berharap bukan opsi yang terakhir karena masih ingin bekerja di perusahaan ini.

Dengan harap-harap cemas aku segera menuju ruangan Bu Sherly. Tak menunggu lama, aku segera memasuki ruangan dengan desain klasik. Baru kusadari ternyata di dalam ruangan ini ada balkon sendiri yang dihiasi aneka bunga.

Bu Sherly menatapku sekilas kemudian tersenyum manis.

Ada apa? Ada yang tak biasa dengan sikapnya. Walaupun aku tahu dia ramah. Namun, tak pernah tersenyum tanpa alasan.

“Kamu besok tidak perlu bekerja di bagian pemasaran,” ucapnya.

Skakmat! Aku dipecat.

*) bersambung

 

RHS, penyuka hujan, senja, lumba-lumba, dan warna ungu.

Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply