Ramadan Terakhir

Ramadan Terakhir

Ramadan Terakhir Kita
Oleh : Zuhliyana

Bulan Ramadan hanya tinggal menunggu hari dan selama itu pula kondisi kampung yang didiami Karim tak seperti biasanya. Masih lekat diingatan, jika sudah sepuluh hari terakhir Ramadan, anaknya dan beberapa anak muda lainnya yang memilih merantau di kota, akan pulang mudik agar bisa menghabiskan hari kemenangan bersama sanak keluarga.

Keadaan rumah Karim akan sangat ramai diisi dengan tawa dari para cucunya, dan dia akan sangat senang menghabiskan waktu selepas tarawih bersama Harun—anak semata wayangnya—dengan bermain catur sembari meminum secangkir kopi di teras rumah. Kegiatan itu selalu diselingi percakapan dan canda tawa. Di sudut rumah yang lain, istri Karim akan senang sekali menghabiskan waktu di dapur bersama Anita—sang menantu. Mencoba beberapa menu terbaru sambil bersenda gurau dan tak jarang akan terdengar kalimat-kalimat curhatan si menantu dalam menghadapi kedua anaknya yang kini sudah mulai tumbuh besar dan semakin aktif saja.

Seperti teman-temannya yang lain, Karim juga sangat merindukan kedatangan Harun bersama istri dan kedua cucunya.

Andai waktu bisa diputar kembali, Karim pasti akan lebih menikmati lagi momen dan berusaha merajut kenangan terindah pada hari lebaran di tahun lalu. Kini, semua sudah berubah. Tak ada suara kaki yang berlarian dari kedua cucunya diiringi sebuah teriakan saling ejek. Karim sekilas mengulas senyum di bibir tatkala memandangi ruang tamu di rumahnya sembari memutar memori tersebut.

“Bah, lebaran kali ini Harun gak bisa pulang.” Suara Harun tiga bulan yang lalu melalui sambungan telepon masih terngiang di telinga.

Mendengar penuturan anaknya saat itu, Karim hanya bisa mengangguk karena paham bahwa sekarang memang sedang sangat sulit. Pandemi sudah membatasi semuanya, salah satunya perjumpaan bersama keluarga.

Karim menghela napas panjang jika mengingat percakapan mereka kali itu. Beberapa detik berlalu, dipandanginya kursi yang biasa dipakai sang anak untuk duduk di depan teras guna menemaninya bermain catur setiap malam.

Nak, Bapak rindu, batin Karim.

Setetes air mata tak bisa lagi ia tahan. Semua pertahanan yang selama seminggu ini ia bangun, akhirnya runtuh juga.

“Beberapa bulan ini, Harun harus bekerja lebih keras. Pasien semakin bertambah dan kami para tenaga kesehatan juga sudah kewalahan. Bah, sekali lagi Harun minta maaf. Dan Harun minta doanya.”

Siapa yang menyangka percakapan mereka di telepon waktu itu, ternyata menjadi kalimat yang terakhir kali Karim dengar dari anaknya. Karena dua minggu kemudian, sang anak dinyatakan positif Covid-19.

Karim dan istri yang tinggal di kampung mendengar berita itu dari sang menantu. Ingin sekali keduanya berangkat ke kota dan menjenguk sang anak, tapi kondisi tidak memungkinkan.

“Abah sama Umi di kampung saja. Kalau ke sini, juga tidak akan dapat izin untuk bertemu Mas Harun. Pokoknya, Anita minta doa Abah sama Umi buat kesembuhan Mas Harun, ya,” ucap sang menantu di seberang telepon dengan suara yang sedikit terisak, walau samar, tapi masih terdengar jelas oleh Karim dan istrinya.

Hari demi hari berlalu. Setiap sebelum melaksanakan sahur, Karim menyempatkan melakukan qiamulail, sembari berdoa demi kesehatan dan kebahagiaan anaknya dan keluarganya. Bait demi bait yang terucap lirih nan syahdu mewarnai malam-malamnya Karim dan istri. Namun, usaha dan doa yang mereka lakukan nyatanya tak seiring dengan kehendak-Nya. Tepat pada hari kelima belas bulan Ramadan, Karim mendapat kabar duka dari sang menantu dengan suara yang terisak lebih keras dari sebelumnya.

“Bah, Mas Harun sudah tak ada. Dia … dia meninggal dunia,” kata Anita.

Semenjak itu, Karim lebih senang menyendiri. Ada kalanya dia terlihat menangis tersedu selepas salat Tarawih saat memori seputar putranya kembali menyerang pikiran.

Hari-hari terakhir bulan Ramadan yang selalu membawa kebahagiaan, kali ini menjadi sesuatu yang berbeda. Karim tak bersemangat lagi menanti hari yang fitri, begitu pula dengan sang istri. Hari-hari yang mereka lewati seakan hampa. Di tempat yang berbeda, Anita juga merasakan hal yang sama. Hampir setiap malam, wanita itu akan tidur sembari memeluk jas putih yang selalu dipakai suaminya saat bertugas. (*)

Barabai, 5 Mei 2021

Zuhliyana, akrab disapa dengan nama Zuya. Wanita yang suka menikmati keindahan bunga kertas.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply