Halo Sahabat Semua,
Setelah melalui minggu yang panjang, khususnya bagi kami penyelenggara, setelah menerima 78 karya pada event KCLK minggu pertama, senang rasanya kita sampai ke pengujung sesi ini. Dari 7 nominator itu, hanya tiga yang akan kita pertimbangkan melalui penilaian juri dan voting.
Pada saat kami memulai perlombaan ini, poin antara voting dan juri adalah seimbang. Artinya, jika poin untuk voting terbanyak adalah 3, maka yang terbaik menurut juri pun 3, namun seiring waktu kami mulai meragukan keputusan itu. Jadi, keputusan juri berpoin lebih banyak daripada voting di grup. Perhitungan kotornya, 40% voting dan 60% juri.
Sedikit alasan kenapa beberapa cerpen menjadi nominator.
Dalam setiap kompetisi atau perlombaan menulis, tentu ada kriteria dalam menilai para pemenang. Umumnya, ide, penyampaian/teknik bercerita, dan tata bahasa/EBI. Khusus untuk Loker Kita, kami mengabaikan faktor terakhir dengan asumsi bahwa EBI/tata bahasa itu bisa dipelajari, sementara ide dan cara bercerita yang bagus adalah indikasi bahwa seseorang itu berbakat. Meskipun begitu, sebagian besar nominator pada minggu pertama ini tidak pula perlu diragukan kemampuan tata bahasanya. Dalam cerita yang mereka tulis, bukan hanya idenya keren, penyampaiannya yang menarik, tapi juga dilengkapi dengan pengetahuan EBI yang mumpuni. Ya, belum ada yang betul-betul bersih, namun ada yang hanya perlu kami perbaiki 5% saja—pengaplikasian EBI—dalam karyanya. Mereka sendiri sudah menguasai aturan berbahasa tersebut.
Artinya, kepiawaian menulis seseorang seringnya berbanding lurus dengan ketaatannya dalam mematuhi EBI. Hubungan yang begitu jelas yang seringnya dinafikkan oleh penulis yang malas belajar EBI, yang menganggap menulis itu yang penting jadi.
Pada cerpen-cerpen terpilih minggu ini, kami menemukan ide-ide yang segar, teknik yang mumpuni, dan kelebihan lain (faktor X) yang membuat cerpennya punya nilai tambah. Nah, akan kami singgung sedikit tentang faktor X tersebut.
Dalam Sekelumit Risau, kami menemukan cara bertutur yang menarik, penggunaan bahasa daerah tanpa perlu menulisnya dengan “huruf miring”. Untungnya, bahasa daerah di dalam cerpen itu memang tidak jauh-jauh dari bahasa Indonesia, hanya cara penyampaiannya saja yang berbeda. Misalnya pada satu dialog ini:
“Aba yang hendak mengipas baju ni? Manalah ‘kan kering kalau tak dijemur di luar.”
Jika dalam bahasa Indonesia, maka ia mungkin akan ditulis begini:
“Aba yang mau mengipas bajunya? Mana bisa kering kalau tidak dijemur di luar.”
Tetapi penulisnya memilih untuk berdialog dengan “gaya” penyampaian yang sesuai dengan latar ceritanya—gaya bahasa Riau. Bukan hanya sekali, tapi pada semua dialog, ia konsisten dan hal itu membuat pembaca serasa melihat langsung ke sana, berada di sana.
Dalam cerpen Manusia, kita diajak melihat sesuatu dari sudut pandang tokoh aku yang jelas-jelas bukan manusia. Menariknya, tanpa peduli dengan pertanyaan pembaca, penulis tetap melanjutkan cerita tanpa perlu memberi penjelasan tentang tokoh “aku”. Makhluk apa “aku” ini? Mungkin ada pembaca yang bisa menebaknya, tetapi apakah pasti benar? Belum tentu. Ruang kosong beginilah yang membuat sebuah cerita terus hidup dalam benak pembaca, kita terus bertanya-tanya, membayangkan apa yang terjadi dan siapa tokoh tersebut. Cerita tidak selesai meskipun kita selesai membacanya. Ruang kosong pun hadir dalam cerpen Anak Semata Wayang Bapak, ketika kita diajak bertemu dengan putra sang ayah yang muncul di akhir cerita dengan kursi roda. Apa yang terjadi, apakah ia sakit? Lumpuh? Tidak tahu. Bagian itu sengaja dibuat kosong.
Hal menarik lain kami temukan pada cerpen Garudaku Hebat! yang menggunakan simbol yang sangat dekat dengan kita orang Indonesia. Hal ini tak ubahnya penggunaan simbol “naga” yang sering kita temukan dalam banyak cerita pun film. Kenapa begitu menariknya simbol tersebut? Karena ia misterius. Sebagian orang mungkin percaya bahwa naga betulan ada di dunia. Begitu pula dengan garuda, simbol yang sangat menarik dan sangat Indonesia. Bukan sebatas simbol, ia pun menyisipkan satir dalam cerpen tersebut. Kemudian, cerpen paling horor kami temukan dalam Kamar 40 Hari. Menulis cerita horor bukan sebatas memunculkan hantu dan darah belaka, tetapi membangun pendekatan yang mencekam dalam semua aspeknya: judul, alur yang tidak bertele-tele, dan pemilihan diksi. Terakhir, kita disajikan teknik bertutur yang rapi dan bernuansa lokal sekali dalam Muang Sangkal; Dekatkan Jodohku. 😀
Hasil Penilaian
Berdasarkan voting di grup KCLK (berbatas: tiga hari setelah ia terbit):
- Siluet Hitam di Depan Jendela: 112 likes, 13 shares.
- Manusia: 56 likes, 12 shares.
- Sekelumit Risau: 54 likes, 4 shares.
Pilihan juri:
Keputusan Akhir untuk cerpen terbaik minggu pertama Februari:
Demikian pengumuman dan sedikit pertanggungjawaban dari tim juri KCLK. Terima kasih untuk perhatiannya. Pemenang di minggu pertama (hanya peringkat pertama) akan ditandingkan kembali dengan pemenang di minggu ke-2, 3, dan 4. Untuk kemudian menemukan cerpen terbaik selama Februari–yang berhak mendapatkan hadiah kompetisi.
Sekarang, mari ramaikan KCLK minggu ketiga—karena minggu ke-2 sudang ditutup. 😀
Salam.
Untuk ikut KCLK minggu ke-3, klik link ini
Daftar nominator KCLK Minggu Pertama, klik ini.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan