Ketukan yang Mengoyak Hati
Oleh : Dhilaziya
Bersimpuh dengan alas karpet di ruang tengah, aku duduk berhadapan dengan seorang bocah lelaki yang sorot matanya membuat hatiku terluka. Bibirnya gemetar setiap kali hendak berbicara. Sesekali dia mengusap ingus yang berkejaran dengan air mata. Wajah yang bagiku selalu terlihat paling menawan itu sekarang tampak semuram mendung menjelang hujan. Tidak pernah terlintas dalam angan yang paling liar sekalipun, bahwa aku akan menghadapi situasi yang begitu menyayat perasaan seperti sekarang.
“Sebenarnya, Rio anak siapa?”
Pertanyaan itu disampaikan dengan suara lirih dan parau. Aku yakin dia menahan tangis yang membuat wajahnya memerah. Perlahan aku meraih jemari pria kecil berusia sepuluh tahun yang terkulai di kedua lututnya.
“Rio anak Ayah dan Ibu, selamanya begitu.” Aku pun sama sepertinya, menahan tangis. Dadaku terasa sesak melihatnya berusaha tegar dan kuat, menyakitkan sekali.
“Lalu kenapa Rio dan Ria harus memilih antara ikut Ayah atau ikut Ibu? Kenapa mereka hanya mau bersama dengan salah satu dari kami?”
Sungguh, aku membenci kalimat terkutuk yang baru saja tertangkap telingaku.
“Rio enggak mau pisah sama Ria. Kasihan kalo ada yang jahilin dia di sekolah.”
Pertahananku runtuh. Aku segera mendekap tubuh mungil yang mulai berguncang menyusul pecah tangisnya. Hatiku makin remuk saat membelai pungungnya di mana ruas tulang-tulangnya terasa lebih menonjol. Tuhan, hentikan kesakitan ini! Aku meraung dalam hati. Mengapa kami harus dihadapkan pada luka sedalam ini? Dengan dada yang berdenyut nyeri, aku merenggangkan pelukan, lantas membingkai wajah yang baru kusadari menjadi kian lancip. Tidak tahan mendapati luka di matanya, aku menciumi wajah Rio. Membiarkan tangis kami beradu, lantas kembali mendekapnya seerat mungkin. Jika bisa, ingin kulebur seluruh dukanya ke dalam dadaku.
“Apa Ayah sudah enggak sayang Rio? Atau apa karena Rio sama Ria anak yang nakal dan tidak patuh, makanya Ayah pergi?”
“Tidak, Sayang! Bukan seperti itu! Rio anak saleh, anak baik. Ayah dan Ibu sayang sekali sama kalian. Sampai kapan pun tetap sayang.”
“Atau apa Ibu kecewa karena nilai Rio jelek dan nggak ranking satu lagi?”
“Bukan seperti itu, Sayang. Rio pintar, pintar sekali. Ranking bukan yang utama, yang paling penting Rio paham penjelasan Bu Guru. Kan Ayah sama Ibu udah sering bilang. Bu Guru juga.”
“Lalu kenapa?”
Aku tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Tidak bisa memilih kata-kata yang akan mampu dipahami hati semurni miliknya. Tidak tahu bagaimana bicara tanpa menyakiti perasaannya. Hanya pelukanku kian erat mencoba menyampaikan segenap perasaan yang tak mampu diucapkan. Aku merasa letih.
Perceraian entah karena sebab apa, selalu menyisakan luka. Bukan hanya bagi pasangan yang mengalami, tetapi orang terdekat pun ikut merasakan sayatannya. Pigura indah yang lantak berserak, pecahannya bisa tersebar lantas mengenai siapa saja. Terlebih jiwa-jiwa mungil yang selama ini berada dalam dekap hangat bernama keluarga.
Masih benderang dalam ingatanku saat lelaki muda yang kini menjadi ayah Rio datang ke rumah dan meminta menjadi menantu keluargaku, dua belas tahun yang lalu. Berniat membahagiakan gadis yang parasnya dia tatap secara sembunyi-sembunyi sepanjang pertemuan pertama dengan calon mertua. Binar cinta yang berpendar dari mata mereka seolah ikut menerangi hariku yang amat istimewa. Hingga ijab kabul dilaksanakan, bersama-sama aku dan suamiku mengaminkan janjinya kepada Sang Mahasegala. Janji menyimpulkan ikatan suci sampai ajal memisahkan raga, untuk kembali bersama di surga. Semuanya masih begitu nyata dalam kenangan.
Tiga tahun menanti buah cinta, mereka lekat dalam doa dan pengharapan. Desah doa dan lirih pinta tak pernah usai terluah dari bibir mereka, penuh damba pada Yang Mahakuasa. Hingga Rio kemudian Ria hadir sebagai pengikat sekaligus penyempurna cinta, bahagia.
Lalu ini apa?
Setelah satu setengah windu dilewati, bagaimana bisa mahligai indah itu hancur karena katanya tak lagi seirama, menjadikan terlalu banyak percekcokan sebagai alasan? Telah habiskah kesempatan duduk dan bicara, mencoba menautkan kembali rasa yang pernah ada? Berdua saling memaafkan khilaf kala saling menyakiti, mengingat jalan panjang yang telah sama ditempuh?
Sia-sia aku merayu dan mengiba agar perceraian tak jadi dilangsungkan. Namun keputusan mereka telah bulat, tekad sudah demikian mantap, meninggalkan aku, Rio, dan Ria yang tak berhenti meratap.
“Bolehkah kami tinggal sama Nenek aja?”
Aku tercekat oleh permohonan cucu lelakiku yang menatap dengan begitu sendu. Andai semudah itu, akan kurengkuh mereka dalam pelukanku selamanya. Mengabaikan orangtua mereka yang sama lantang berteriak sebagai sebagai orang yang paling menyayangi mereka.
“Boleh … tentu saja boleh, cucuku sayang. Nenek akan melakukan apa saja agar kita bisa tinggal bersama.”
Aku menatap foto pernikahan kedua orangtua Rio yang masih terpajang di dinding.
“Kalian … pernahkah benar-benar mengingat mereka?” (*)
DZ. 28042021
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata