Puasa Anak Jalanan

Puasa Anak Jalanan

Puasa Anak Jalanan
Oleh: Rachmawati Ash
 
Bangunan Start hotel menjulang tinggi ke angkasa, pertokoan hadap-menghadap di sepanjang Jalan Peterongan hingga Pasar Kambing. Lalu lalang pengunjung Java mal naik turun dari mobil, memenuhi salah satu pusat perbelanjaan terbaik di kota semarang. Sepanjang jalan dipadati oleh kendaraan yang memburu waktu. Tukang ojol yang menunggu penumpang, menjadi pemandangan yang mendominasi di sisi kanan dan kiri jalan. Suasana tampak ramai, namun tidak satu pun pejalan kaki terlihat di daerah ini.
 
Aku turun dari bus nasima, mengusap pelipis yang dibasahi oleh keringat. Bus kecil yang baru saja menurunkan penumpang, kembali melaju meninggalkan pemberhentian sementara. Keluar dari dalam bus yang panasnya seolah kompor sedang menyala, sekarang aku disambut oleh terik sinar matahari yang membakar.
 
Aku membuka tas sekolah, mengeluarkan buku catatan. Mataku mencari-cari keberadaan temanku di tempat yang sudah kami sepakati. Hari ini, aku dan kelompokku mendapat tugas mengadakan wawancara kepada pengamen, pemulung atau pengemis. Dini dan Yunita sudah menungguku di depan sebuah ruko penjual kamera. Kupercepat langkah saat mataku menemukan keduanya melambaikan tangan padaku.
 
“Hai, maaf aku terlambat. Aku harus membantu ibuku memasak untuk berbuka puasa lebih dulu,” ucapku saat sampai di hadapan mereka.
 
“Tidak masalah, Marta. Ayo, kita mulai mencari target. Dari mana kita akan mulai?” tanya Dini kepadaku.
 
“Ke dalam pasar,” jawabku sambil melangkah menyeberangi jalan menuju ke pasar.
 
Kedua temanku mengikuti. Kami berjalan melewati beberapa penjual lesehan yang posisinya tidak teratur. Yunita berhenti berjalan, dia memberi kode kepadaku dan Dini, ada dua anak kecil yang sedang duduk di bawah lapak kosong. Kedua anak itu duduk di bawah lapak kosong. Mereka menghitung uang recehan yang dikeluarkan dari plastic pembungkus permen relaxa. Sebuah kentrung tergeletak di samping mereka.
 
“Kita bisa wawancara anak-anak itu, deh,” ucap Dini sambil melangkah menuju lapak kosong. Kedua anak itu menyadari kedatangan kami, mereka segera berdiri dan berlari. Suasana pasar tidak seramai saat pagi hari.
 
Hanya ada beberapa penjual bunga dan makanan yang tersisa di sana. Ramadan seperti saat ini, sebagian pasar digunakan untuk menjual takjil dan baju-baju untuk persiapan lebaran. Suasana yang tidak terlalu ramai, membuat kami tidak kehilangan jejak kedua anak itu. Mereka berbelok ke gang di tengah pasar, mungkin hendak bersembunyi, tetapi kami sudah lebih cepat ke tempat mereka berdiri. kemudian mereka kembali berlari, menyeberangi jalan peterongan menuju ke Jalan Metro.
 
Suara klakson menjerit-jerit, saat kami berlari dan menyeberang tanpa menunggu lampu merah menyala. Dini memberi isyarat kepadaku dan Yunita untuk mengejar dan menemukan kedua pengamen itu.
 
“Kita, kan bisa mencari sumber yang lainnya. Kenapa harus memaksakan diri mengejar mereka?” tanyaku pada kedua temanku.
 
Pertanyaanku belum sempat dijawab, tetapi tubuh kami sudah berdiri tepat di hadapan kedua anak yang kami kejar. Mereka duduk berjongkok di samping lapak kosong penjual es kelapa muda.
 
“Mau apa kalian?” tanya anak laki-laki berambut keriting dan wajah kumal.
 
“Tenang, Dik, kami ngga akan nakal, kok. Kami hanya ingin berteman,” jawab Yunita mencoba menyakinkan mereka.
Kedua anak itu saling memandang, kemudian terlihat berpikir dan menimbang-nimbang. Yunita mengulurkan tangan, mengajak berjabat agar mereka yakin bahwa apa dikatakannya benar-ingin berteman.
 
“Boleh kami duduk di sini?” Yunita kembali bertanya.
Anak yang lebih kecil mengangguk-angguk seperti orang-orangan sawah, sedangkan yang lebih besar hanya diam seperti patung.
 
“Kita berteman sekarang, jadi boleh, dong kita duduk bersama di sini?” tanya Dini merayu mereka agar mau tenang.
 
Tugas kali ini memang rumit dan berat, mewawancara agama dan kepercayaan orang-orang di jalanan. Sedangkan, pada kenyataannya, mengajak mereka untuk berkomunikasi dengan baik itu susah sekali. Mereka mau diajak berdamai jika ada sogokan berupa makanan, uang atau benda-benda lain yang dibutuhkan.
 
“Ini bahan makanan untuk kalian.” Aku menyodorkan pouch berisi sembako dan susu.
 
Anak yang lebih besar dengan cepat merebut pouch dari tanganku. Aku sedikit takut, dan akhirnya ragu untuk mewawancarai mereka. Kedua anak itu hendak kembali berlari, tetapi Yunita lebih cepat menangkap anak yang lebih kecil.
 
“Kalian jangan takut, kami hanya anak sekolah yang mau mengerjakan tugas. Hanya kalian bisa mebantu kami,” ucap Yunita kepada kedua anak kecil berbaju kumal itu.
 
Sinar matahari semakin terik, seolah membakar kulit dan kepala kami. Kedua anak itu diam, lalu melirik ke dalam pouch yang ada di tangan mereka. Kami merasa lega, saat anak yang lebih besar bertanya, “Apa ini?” Lalu duduk dengan sembarangan di meja lapak yang kosong.
 
“Ini bahan makanan untuk kalian berbuka puasa nanti,” jawab Yunita dan Dini bersamaan.
 
“Buka puasa?” tanya anak yang lebih kecil. Raut wajahnya menunjukkan penasaran dan menunggu jawaban.
 
“Iya bahan makanan untuk berbuka puasa. Kalian puasa, kan?” tanyaku mewakili Dini dan Yunita. Sebenarnya, tanpa mereka sadari, aku sudah melakukan satu tahap wawancara, yaitu bertanya tentang keyakinan mereka.
 
Kedua anak kecil itu saling memandang, lalu diam dengan wajah polos. Aku, Dini dan Yunita jiuag ikut saling pandang, bingung akan memberi pertanyaan lebih lanjut.
 
“Siapa nama kalian?” tanyaku mencoba akrab.
 
“Bili, ini Razka adikku.” Anak yang lebih besar enjawab, tetapi mata dan tangannya sibuk memeriksa isi dalam pouch yang ada di pangkuannya.
 
“Oh, hai, Bili, hai, Razka. Apakah puasa kalian masih lancar dan tidak bolong?” Aku kembali bertanya dengan nada yang mulai dekat.
 
“Puasa? Apa itu?” tanya anak yang lebih besar.
Pertanyaan anak itu tidak membuat kami mendapat jawabannya, malah menjadi bingung karena dijawab dengan pertanyaan lain. Aku diam, mencoba mencari apakah ada pertanyaanku yang salah, sehingga anak yang kutaksir umurnya sepuluh tahun itu malah balik bertanya.
 
“Puasa itu tidak makan dari waktu imsak sampai azan magrib, dik,” ucap Yunita sambil ikut duduk di atas lapak kosong.
 
“Oh, itu, jelas aku puasa, dong,” jawabnya mantap dan menyakinkan.
 
“Wah, hebat, puasa full dan tidak bolong. Nah, kalau salat tarawihnya di mana?”
 
Kedua anak itu semakin sibuk dengan isi pouch. Anak yang lebih kecil malah mengeluarkan semua isinya, memeluk satu persatu; mi instan, susu, gula dan roti tawar.
 
“Kalian, hemmm, siapa nama kalian? salat tarawihnya di mana?” tanya Yunita mencoba menggali informasi. Akan tetapi, kedua anak tersebut malah semakin sibuk, mengeluarkan isi pouch dan membuka bungkusan roti tawar.
 
“Jangan dimakan, Dik, nanti untuk kalian berbuka. Katanya kalian puasa?” tanya Dini dengan nada menasihati.
 
“Lho, dapat makan, ya, dimakan, masa disimpan. Sejak kemarin sore aku belum makan, kak.” Anak yang lebih besar menyobek roti tawar dan memakannya.
 
“Tapi .…”
 
“Aku tidak tahu apa maksud kakak-kakak ini memberi makanan kepadaku. Bertanya puasa dan salat … hemm salat apa tadi?” Anak yang lebih besar bertanya sambil mengunyah makanannya.
Aku, Dini dan Yunita saling pandang. Mencoba menggali pertanyaan lagi dengan bahasa yang mudah dipahami.
 
“Apakah agama kalian Islam?” tanya Yunita pelan.
 
“Agama itu apa? aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan, bingung,” ucapnya seenak dengkul. Akan tetapi mulutnya sibuk mengunyah.
 
“Apa kalian pernah datang ke masjid?” tanya Dini.
 
“Iya, pernah. Kalau ada pembagian makanan atau duit. Kadang juga ke gereja dan ke rumah orang kaya. Kami senang kalau ada yang bagi-bagi makanan. Kami jadi bisa makan tanpa harus mencuri atau meminta,” ucap anak yang lebih besar tanpa berhenti mengunyah.
 
“Kalian harusnya tidak makan sekarang, ini bulan Ramadan, semua umat Islam harus berpuasa.” Yunita terlihat sedang menasihati kedua kakak beradik itu.
 
“Puasa? Apa itu? Sepertinya aku penah dengar?”
 
Aku merasa lama-lama sedang dikerjai oleh anak-anak pengemis ini. Jawaban mereka tidak konsisten dan sesukanya sendiri.
 
“Kan, tadi sudah dibilang, puasa adalah tidak makan dan munum dari waktu imsak subuh sampai tiba waktu magrib.” Akhirnya aku menjawab pertanyaan yang semakin aneh dari pengemis itu.
 
“Oh, tidak makan dari pagi sampai sore? Kalau itu setiap hari kami lakukan, tapi kalau ada yang memberi makanan seperti ini, ya, kami langsung makan,” jawabnya tanpa merasa beban sama sekali.
 
Aku, Yunita dan Dini saling pandang. Ternyata kedua anak ini memang tidak paham agama, puasa, dan salat. Akhirnya, kami berjalan meninggalkan kedua anak yang sedang sibuk makan dari pemberian kami.
 
“Kak, kenapa tidak memfoto kami yang sedang makan?” Pertanyaan anak yang lebih kecil membuat kami berhenti melangkah dan berbalik memandang mereka.
 
“Foto? Buat apa?”
 
“Biasanya kalau habis ngasih makanan atau duit, kami difoto oleh mereka. Ngga apa-apa, Kak, foto, aja, kami sudah biasa, kok, yang penting ada yang memberi makanan cuma-cuma dan kami jadi tidak lapar lagi.” (*)
 
Rachmawati Ash, Seorang Ibu yang ingin selalu terus belajar menulis sastra
 
Editor: Respati
 

Leave a Reply