Kembali pada rutinitas harianku yang selalu ditemani ventilasi tua dan jendela dengan kaca nako yang tak pernah diganti sejak tahun 1998. Kipas angin keluaran tahun lalu yang ternyata sudah tidak berfungsi efektif kendati dibeli dengan harga cukup mahal. Tumpukan kertas yang kulihat makin menggunung karena pengiriman berkas akhir-akhir ini tersendat. Tentu saja karena berkas-berkas yang baru selalu masuk tiap jam. Dan lagi jadwal pemberangkatan kereta yang selalu padat terkadang membuatku tak bisa merehatkan diri. Jujur aku ingin segera keluar dari pekerjaan ini. Setiap hari yang aku lihat hanyalah wajah-wajah muram dan putus asa. Bisakah sekali saja aku bertukar posisi dengan rekan kerjaku yang selalu mendapat wajah-wajah bercahaya dan senyum bahagia tiada tara tepat di samping ruanganku. Dan lagi dia selalu punya waktu senggang karena tak banyak janji temunya. Dengan gaji yang sama tentunya, hanya saja aku lebih banyak mendapat bonus karena banyaknya orang yang kuberangkatkan.
Pintu ruang kerjaku diketuk, seorang gadis muda yang kutaksir berusia dua puluh tahunan masuk. Seperti tipe-tipe perempuan yang tidak baik yang rela dimainkan laki-laki untuk mendapat uang lebih. Ada bekas kemerahan di lehernya. Pakaian hitam putih seperti pekerja pabrik, ia meletakkan amplop besar di meja. Hal paling mencolok yang bisa aku tangkap adalah syal hitam yang melingkari lehernya yang bahkan tidak bisa menutupi bekas kemerahan di sana. Juga matanya yang sembab dan kantong mata yang hitam. Aku bisa menebak dengan pasti bahwa ia menangis semalaman sebelum ke sini. Yang harus aku lakukan hanyalah memberinya tiket perjalanan agar dia bisa tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Aku membuka amplop besar yang ia bawa padaku. Identitas diri dan berkas-berkas lainnya. Kebanyakan ditebalkan dengan stabilo merah.
“Nilam Pramesti, lahir di—”
“Bu, saya tidak mau dikirim ke sana.”
Dia merintih dengan suara yang bergetar, dan aku sudah terlalu sering menghadapi hal ini. Selama bertahun-tahun.
“Saya juga nggak bisa berbuat apa-apa Mbak Nilam.”
“Saya masih punya Ibu dan Adik buat dihidupi, Bu,” lanjutnya.
“Mbak memohon pada saya pun tidak ada gunanya, saya hanya bekerja di sini. Mbak Nilam juga seharusnya bisa menerima dengan keputusan ini. Mbak Nilam juga seharusnya bertanggung jawab dengan semua yang Mbak Nilam perbuat selama ini,” Aku menambah satu poin merah dalam berkasnya. Cuma untuk main-main, dan dia makin gemetaran. Aku tidak punya wewenang apa-apa untuk menambah riwayat buruknya.
“Tapi saya mencuri parfum di minimarket itu karena terpaksa Bu. Teman-teman saya yang lain punya, dan saya nggak punya sendiri. Memang salah kalau saya mencoba memiliki sesuatu?” Ia berurai penuh air mata. Konyol memang menangis karena tidak mau disalahkan karena perbuatan buruknya.
“Apa parfum juga cukup layak untuk jadi objek kekesalan pada ibumu? Kamu memukulnya dengan botol parfum sampai berdarah-darah? Apa manusia melakukan hal semacam itu?!”
“Saya khilaf, Bu, sehabis itu saya tidak pernah menyiksa orang tua lagi.” Sudah jelas itu kebohongan.
“Lalu bagaimana dengan mengusir nenekmu waktu itu?” Aku menurunkan kacamata, kutatap dia penuh selidik.
“Nenek itu muntah di tempat saya duduk!”
“Kenapa tidak kamu lap saja bekas muntahnya, beri dia obat atau ajak dia ke dokter. Kamu itu sudah tidak punya sopan santun masih juga tidak punya moral pada orang tua! Memang salah saya kamu ditempatkan di sana? Itu semua juga karena kamu yang punya perangai buruk! Kalau kamu mengelak lagi nanti saya tempatkan kamu di tempat yang lebih jauh!”
Dia diam tak lagi bersuara, kami pun melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda karena keributan sepele. Aku menyebutkan riwayat-riwayatnya dan dia hanya menanggapi dengan tangis sesenggukan. Pertemuan ini aku akhiri dengan memberikannya amplop tiket dan amplop merah. Dia masih bisa merintih memohon padaku saat keluar dari ruangan. Dan aku pura-pura tidak mendengarkan. Sedangkan kulihat dari balik jendelaku, rekan kerjaku yang beruntung itu selalu tampak semringah saat bertemu dengan orang-orang yang akan ia berangkatkan. Meskipun dalam sehari tak banyak orang yang dia berangkatkan, tapi dia selalu menyapa mereka dengan baik dan selalu menyegerakan mereka agar pergi ke tempat tujuan dengan tepat waktu. Ah, aku iri sekali dengannya.
Ketukan di pintu kembali membawaku ke mode kerja. Seorang pria tua dengan kopiah dan sarung, dia tampak tidak melakukan sesuatu yang buruk. Oh, di amplopnya ternyata belum ditentukan ke mana tujuannya. Namanya Sumarno dan dulu bekerja sebagai marbut masjid.
“Bapak Sumarno kenapa ada di sini? Pak Sumarno belum seharusnya datang ke sini.” Aku meletakkan kacamata saat melihat identitas dan riwayatnya. Pria tua itu malah balik menatapku dengan sendu.
“Saya waktu masih bujang dulu pernah memperkosa gadis. Saya merasa malu karena hal itu,” ucapnya lirih. ”Sudah begitu saya ambil uang di dompetnya sampai tak bersisa, saya merasa sangat bersalah waktu itu.”
Aku hanya terdiam mendengar ceritanya. Jarang sekali aku mendapati orang seperti ini. Bahkan sebelum aku menyebutkan riwayat, dia sudah menyebutkan riwayatnya sendiri. Bahkan aku bisa melihat penyesalan di matanya. Yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Pak tua itu menangis. Aku bisa membayangkan bagaimana dia begitu menyesali perbuatannya meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.
“Saya juga pernah mencuri uang masjid buat berobat anak saya,” lanjutnya lirih.
“Tapi Bapak menggantinya setelah ada uang kan?”
“Tetap saja itu namanya mencuri, dan lagi saya mencuri di rumah ibadah. Padahal saya bekerja di sana pun karena belas kasihan warga. Saya benar-benar tidak punya malu.” Entah kenapa pria tua ini seperti angin segar yang menggantikan kipas angin rusak di ruanganku. Ah, ingatkan aku untuk meminta kipas angin baru pada bos.
Aku tersenyum lalu meraih tangannya, pria tua itu hanya bisa terisak sambil mengenang hal-hal buruk yang pernah ia lalui di masa lalu. ”Bapak jangan bersedih lagi, Bapak hanya perlu menunggu keputusan tidak lama lagi. Kereta menuju tujuan Bapak masih banyak tempat yang kosong,”
Dia semakin memandangku denga ketidakpercayaan. Tak lama sebuah telepon berdering.
“Pak Sumarno itu keretanya di sini, suruh dia ke sini.” Rekan kerjaku menelepon dari ruangannya. Bisa kulihat ia menjunjung amplop lain. ”Sebenarnya…” Aku mendengarkan apa yang ia katakan baik-baik sambil sesekali menatap Pak Tua dengan mata jernih itu. Wajahku semringah untuk pertama kalinya.
“Pak Sumarno.” Aku membuka penjelasanku dengan senyuman. ”Anak Bapak seorang ustaz kan?” tanyaku lembut. Dan dia hanya mengangguk pelan.
“Selamat ya, Pak, anak Anda telah meringankan beban Bapak selama ini. Bapak bisa naik ke tujuan Anda dengan kereta. Apa yang Anda lakukan untuknya di masa lalu sangat berarti untuknya. Kalau saja Bapak tidak membawanya berobat di masa lalu mungkin dia tidak ada di sini sekarang untuk meringankan beban Bapak. Sekarang Bapak sudah bisa berpindah ruangan dan menerima tiket kereta Bapak.”
Di antara sekian banyak orang yang kuberangkatkan mungkin hanya Pak Sumarno yang memelukku dengan hangat sebelum keberangkatannya. Bahkan ia sempat melambai padaku dan mengucapkan terima kasih.
“Aduh Pak Tua Naif itu. Aku kan tidak berbuat apa-apa untuknya. Dia beruntung punya anak yang baik dan taat beragama.” Aku bermonolog sambil merapikan meja. Jam istirahatku baru saja berbunyi. Tapi rekan kerjaku yang lain malah berbisik dari balik pintu.
“Kamu kerja dulu ya antriannya masih banyak tuh. Aku istirahat dulu.” Dia melenggang dengan bahagia. Dan aku hanya bisa pasrah. Serius aku ingin keluar saja!
***
“Hari ini kamu ramai juga ya penumpangnya.” Rekan kerjaku mencoba basa-basi. Kami berjumpa di ruang istirahat setelah aku menyelesaikan satu orang dulu.
“Banyak tapi menyebalkan semua,” responsku malas. Aku sebenarnya tidak menolak kalau ditukar kerja dengannya.
“Soalnya manusia akhir-akhir ini banyak buat dosa sih. Wajar kalau keretamu itu selalu penuh sesak penumpang. Sedangkan keretaku banyak kosongnya.” Duh kenapa dia malah membual. Aku diam saja sambil membaca koran.
“Leher Pelacur Digorok Pelanggannya Karena Minta Mobil” Koran kemarin yang aku dapat dari meja kantin. Dan wajahnya sama dengan perempuan menyebalkan tadi. “NM yang bekerja sebagai buruh pabrik nekat jadi pelacur sebagai usaha sampingan karena gajinya tak bisa memenuhi gaya hidup hedonisnya.”
“Oh, jadi perempuan berisik tadi itu buruh pabrik yang juga kerja sampingan jadi pelacur.” Temanku membaca dengan bisik-bisik di telingaku. Membuatku geli.
“Kamu ngapain sih, geli tahu!” Aku menutup koran dan memilih untuk menyudahi jam istirahatku. Sebelum dia makin membuatku jengkel. Suara yang terdengar dari speaker pun menandai bahwa aku harus kembali bekerja.
“Perhatian kereta menuju Neraka akan segera berangkat dalam sepuluh menit lagi.”(*)
Reza Agustin, lahir dua puluh tahun yang lalu pada 20 Agustus 1997. Bunga yang terlambat mekar. Penikmat drama Korea dan pembaca webtoon. Kunjungi FB saya dengan mengetik Rezha Agusteen dan IG saya dengan mengetik @reza_minnie.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-2 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan