Ramadan di Rumah Mertua
Penulis : Rachmawati Ash
Ramadan pertama yang tidak pernah terlupakan. Aku baru beberapa bulan menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Hidup kami sangat bahagia, meski banyak perbedaan pendapat dan kebiasaan yang membuat kami sama-sama terkejut. Kebiasaan suami minum es teh sebelum tidur, menggosok baju beberapa menit sebelum dipakai, dan akan terbangun jika kipas angin di kamar dimatikan.
Akan tetapi, kami belajar saling mengerti dan memahami. Selayaknya pasangan lain, kami harus belajar banyak hal yang sebelumnya tidak kami ketahui. Kami berteman cukup lama saat berada di kampus tempat menuntut ilmu, tetapi lamanya waktu bersama tidak menjamin kami saling mengerti satu sama lain.
Mas Zaki duduk di sampingku yang sedang melipat mukena. Wajahnya teduh dan senyumnya membuatku semakin jatuh cinta. Dia baru saja menjadi imam salat Isya. Dia mengajakku berbincang sebentar tentang rencana mengunjungi orang tuanya di kampung. Seminggu lagi datang bulan Ramadan dan Ibu sudah menelepon untuk pulang mengikuti acara nyadran di makam leluhurnya. Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka di telepon tempo hari.
“Nyadran itu apa, Mas?” tanyaku.
“Oh, itu tradisi di tempat kami, mengadakan doa bersama di makam, setiap warga yang datang biasanya membawa besek atau ceting. Masing-masing diisi dengan nasi, urap, ikan asin, telur dan lauk-pauk lainnya.”
“Di makam? Untuk apa makanan itu? Sesaji? Serem amat.”
Mas Zaki tertawa, lalu mengelus kepalaku dengan lembut. “Bukan untuk sesaji, Sayang. Tapi untuk berkat yang dibawa pulang. Dasar orang kota, sudah kehilangan budaya leluhurnya. Hemm, payah. Begini, dengarkan, ya.” Mas Zaki berdeham, seperti kakek-kakek yang bersiap mendongeng untuk cucunya.
“Warga datang dan berkumpul di makam untuk berdoa bersama. Mengapa memilih di makam? Karena untuk mengenang bahwa leluhur kami telah berpulang kepada Allah Swt. Kami datang ke makam juga untuk mengingatkan bahwa suatu saat kita akan mati, dikubur seperti mereka.”
Mas Zaki berhenti bercerita, memberiku isyarat untuk diambilkan es teh untuknya.
“Besek yang berisi nasi, kami letakkan di depan makam. Setelah berdoa bersama untuk leluhur, kami akan mendengarkan ceramah dari sesepuh atau ustad. Saat itulah, besek yang kami bawa akan dibagikan untuk makan bersama di sana atau sebagai berkat yang dibawa pulang. Begitu.”
Aku mengangguk-angguk seperti anak kecil yang baru saja mendengar
sebuah cerita inspiratif. “Semua warga datang ke makam?” tanyaku masih belum puas belajar tradisi di kampung suamiku.
“Dulu, tapi sekarang tidak lagi. Remaja dan pemuda lebih memilih di rumah, jadi yang datang hanya orang tua dan anak-anak kecil saja. Padahal, tuh ya, dulu, waktu Mas kecil, warga yang datang banyak sekali, sampai duduk di luar makam, memenuhi jalan dan lapangan. Tetapi sekarang berbeda, sepertinya budaya ini hampir hilang,” ucap Mas Zaki menghela napas.
“Kenapa harus nasi yang dibawa? Kenapa tidak membuat tumpeng atau makanan lain untuk dimakan bersama?” tanyaku sekali lagi.
“Sebenarnya tidak ditentukan makanan apa yang harus dibawa, Sayang. Hanya saja kami orang desa, mayoritas penduduk di tempat kami adalah petani, jadi semua memiliki beras dan hasil bumi sendiri. Nasi itu sebagai lambang bersyukur atas rezeki yang kami terima dari Allah Swt. Selain itu, kami juga mengadakan sedekah untuk anak yatim piatu. Supaya kita lebih khusyuk menghadapi bulan Ramadhan, insha Allah, akan ada keberkahan dari setiap nasi yang kita makan dan kelancaran saat menjalankan ibadah puasa. Ada yang mau ditanyakan lagi, Nona Sayang?”
Aku tersipu, dalam hati tidak sabar ingin segera tiba di kampung suamiku dan mengikuti rangkaian tradisi yang masih dijaga di sana.
“Kalau begitu bulan ramadhan kita menginap di kampung Mas saja, ya? mumpung masih WFH?” ucap Mas Zaki kepadaku.
“Boleh, aku manut Mas saja,” jawabku.
“Ini, kan puasa Ramadhan pertama kita, jadi akan lebih bermakna kalau kita puasa bareng-bareng di sana. Kamu bisa belajar memasak dengan Ibu dan jadi lebih akrab,” ucapnya sambil mengecup keningku.
Aku berdiri, menggantung mukena di lemari. “Oke, aku akan siapkan barang-barang yang akan kita bawa selama di sana.”
“Barang-barang apa, Dik? Kita mau ke rumah Ibu, bukan mau pindah kontrakan. Cukup membawa baju saja, kan?” Mas Zaki tertawa kecil, membuatku tersipu karena malu.
Aku mengemas pakaian ke dalam tas, sambil berandai-andai menikmati perjalanan menuju ke rumah mertua. Perjalanan pertama dengan kereta api. Konon, menurut teman-temanku, pemandangan dari stasiun Poncol hingga ke Tegal sangat indah. Bukit, sungai, dan pantai menjadi suguhan yang tidak pernah membosankan.
***
“Alhamdulilah, sekarang Ibu punya anak perempuan. Kamu bukan menantu di rumah ini, tapi kamu adalah anak bagi kami.” Kalimat ibu mertua kepadaku.
Aku merasa lega dengan ucapannya. Setidaknya aku tidak terlalu caggung saat melakukan aktivitas di rumah ini.
“Iya, Bu, Terima kasih,” jawabku sambil mengangguk dan tersenyum.
“Kamu sedang hamil, istirahatlah dulu. Ibu mau ke pasar dengan Zaki, hari ini kita akan mengadakan acara unggah-unggahan.”
Ibu menepuk pundak suamiku, lalu keduanya pergi ke pasar untuk berbelanja. Aku yang diminta untuk istirahat, justru penasaran dengan kata-kata Ibu barusan. Unggah-unggahan? Belanja? Memangnya mau ada acara apa di rumah ini?
***
Semua belanjaan sudah siap di dapur. Aku menemani Ibu dan Bibi memasak. Rasa penasaran tentang unggah-unggahan masih melompat-lompat di kepalaku, tetapi aku belum berani bertanya karena melihat kedua perempuan ini sangat sibuk.
“Di tempatmu, apakah ada tradisi unggah-unggahan?”
Mendadak aku terkejut karena Ibu seolah dapat membaca pikiranku.
“Baru saja aku mau tanya, Bu? Apa itu unggah-unggahan? Kupikir hanya ada nyadran sebelum Ramadhan datang.”
Aku merasa seperti anak kecil dengan pertanyaan yang begitu polos. Akan tetapi, ah, sudahlah, yang terpenting aku akan segera mendapat jawaban dari rasa penasaranku. Lagi pula, aku sangat senang dengan budaya atau tradisi di tempat baru. Siapa tahu, bisa menjadi pengalaman dan ilmu untukku.
“Nanti kalau masakannya sudah matang, kamu dan Zaki antarkan makanan ke rumah Paman, Uwa, dan Buyut, ya.”
“Makanan yang sedang kita masak, Bu?” tanyaku lagi.
“Iya betul. Di sini masih banyak tradisi yang dilestarikan. Ya, seperti kemarin nyadran di makam, sekarang ada lagi unggah-unggahan. Kita akan saling berbagi makanan dengan tetangga terdekat dan sesepuh yang masih hidup,” ucap Ibu menjelaskan kepadaku.
Aku menurut, saat Ibu memintaku menata rantang di lantai dapur. Sementara nasi, telur rendang, urap, bandeng goreng, mi, dan tempe sudah matang. Kami memasukkan semua dengan rapi ke dalam rantang.
Ibu meminta Mas Zaki berganti baju dan pergi membawaku ke rumah saudaranya untuk mengantar rantang-rantang tersebut. Banyak pengalaman yang kuterima. Aku jadi kenal dan dekat dengan saudara-saudara yang sebelumnya tidak kuketahui. Aku juga pulang membawa oleh-oleh dari setiap rumah yang kami kunjungi.
“Jangan ditolak, ini sebagai bukti kalau kalian pernah berkunjung dan silaturahmi ke rumah kami,” ucap Buyut sambil menyodorkan dodol kepadaku.
***
Azan Magrib berkumandang. Suara petasan saling bersahutan di luar rumah Ibu. Sore tadi, kami sudah mandi dan keramas untuk menyucikan diri menyambut bulan Ramadan.
Kami merasa gembira karena sebentar lagi akan menjalankan salat Tarawih dan besok pagi sudah mulai berpuasa. Sungguh, ini adalah pengalaman puasa yang sangat berkesan dan tidak akan terlupakan.
Aku seperti belajar kembali tentang tradisi, berbagi, menghormati, dan ihklas sebelum menjalankan ibadah puasa. Bulan Ramadan pertama setelah aku menjadi istri dan menantu, begitu luar biasa dan penuh dengan makna.(*)
Rachmawati Ash, wanita yang kecanduan membaca dan menulis romance.
Editor: Respati