Insiden
Oleh : Ketut Eka Kanatam
Baku hantam masih berlangsung di gang belakang sekolah saat aku tiba di sana.
“Hentikan!”
Kepala salah satu dari dua orang itu menoleh ke arahku, tetapi tangannya tetap terangkat tinggi. Sepertinya dia ingin menghantamkan batu yang digenggam kepada lawan tandingnya.
“Lepaskan dia, Anggun!”
Jika yang berkelahi adalah anak laki-laki, aku tidak akan sekaget ini. Aku melihat anak itu dengan pikiran berkecamuk. Sikap melawannya membuatku kembali mengeraskan suara agar dia mau menurut.
“Dia yang duluan menyerangku!”
Muridku itu membuat gerakan sehingga gadis yang sedang didudukinya kembali mengaduh dengan keras.
“Semua bisa diselesaikan tanpa perlu melakukan kekerasan. Cepat lepaskan dia!”
Sekilas kulihat gadis yang diduduki oleh Anggun babak belur. Wajah sang primadona di kelas itu kini terlihat mengerikan. Dan aku ngeri saat baru ingat bahwa si pemilik wajah babak belur itu adalah anak pemilik yayasan sekolah kami.
Situasi pasti semakin kritis jika aku membiarkan dia terus dipukul, kemudian dianggap tidak membelanya. Jika sampai peristiwa ini diketahui oleh guru lain dan sampai ke telinga Bapak Kepala Sekolah, posisiku bisa gawat.
Aku bertindak berdasarkan naluri dengan mencoba merebut batu yang dipegang oleh gadis pemilik potongan rambut pendek itu. Dia berkelit lincah menghindari seranganku, menyebabkan diriku hilang keseimbangan dan jatuh menimpa gadis yang masih berbaring di tanah.
Tatapan mata kami bertemu, dia melotot menatapku. Posisi tubuh kami yang begitu intim bisa membuat salah sangka orang yang melihat. Aku berusaha bangun secepat yang aku mampu. Usaha yang agak susah dan memerlukan waktu karena gadis itu juga melakukan hal yang sama.
Begitu kami sama-sama bisa membebaskan diri, Anggun sudah tidak ada. Cepat sekali dia pergi.
“Kamu tidak apa-apa?”
Kenapa aku lupa nama gadis ini? Aku menggeleng berusaha mengembalikan pikiran agar kembali waras.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku lagi.
Bukan jawaban yang diberikannya, tetapi sebuah tamparan mampir di pipiku. Terasa perih.
“Dasar guru cabul!”
Apa? Aku cabul? Enak saja dia memberi aku gelar seperti itu. Bukan salahku kalau bibir kami bersentuhan. Bukan mauku juga jika kedua tanganku ada di dadanya. Niatku hanya melerai pertengkaran dan menolongnya.
“Tunggu! Jangan sembarangan bicara!”
Aku melangkah dengan cepat mengejarnya yang sudah berlari meninggalkanku.
“Lepaskan aku!”
Jeritannya membuatku melonggarkan pegangan, sibuk menoleh ke sekitar, berharap tidak ada yang mendengar. Situasi semakin gawat, bisa-bisa aku yang dituduh menganiaya dirinya.
“Akan Bapak lepaskan, asal kamu cerita dulu. Ada apa antara kamu dengan Anggun? Bukankah kalian bersahabat?”
Setahuku mereka dekat selama ini, duduk sebangku, dan sering mengobrol saat aku mengajar.
“Bukan urusan Bapak! Cepat lepaskan! Atau saya akan menjerit. Orang-orang akan datang dan mengeroyok Bapak.”
“Kenapa mereka mengeroyok aku? Aku yang telah menolong kamu!”
“Menolong? Perbuatan Bapak itu memalukan!”
Bagaimana bisa dia menjadi salah paham seperti ini? Aku semakin bingung bagaimana memberi pengertian kepadanya.
“Kamu salah paham. Bapak berniat menolong kamu. Yang tadi itu hanya insiden. Tidak sengaja.”
Bukannya mendengarkan penjelasanku, begitu tangannya kulepaskan, dia memilih berlari meninggalkanku.
Aku hanya bisa menghela napas panjang kemudian mengembuskannya dengan kasar. Rasanya hatiku begitu gusar, tetapi tidak berdaya mencegah kepergiannya. Jika aku terus mengejar, bisa saja ancaman itu akan dilakukannya. Siapa yang tahu hati seorang gadis? Jika sudah nekat, apa pun pasti dilakukan. Bisa jadi aku akan dikeroyok massa. Aku memilih jalan aman. Aku ingin tetap menjadi guru honor di sekolah itu. Aku perlu gaji yang diberikan oleh kepala sekolah untuk membiayai hidup di kota metropolitan dan membayar SPP kuliah di Universitas Terbuka.
Aku kembali melangkah menuju indekos yang bisa kucapai dengan satu jam berjalan kaki lewat jalan memotong di belakang sekolah. Biasanya aku menyusuri jalan sepi di belakang sekolah tanpa mengalami kejadian apa pun. Baru kali ini aku mengalami insiden. Aku kembali menghela napas panjang dan mencoba mengembuskannya perlahan-lahan, berharap insiden hari ini tidak berbuntut panjang.
Keesokan harinya, aku merasakan ketegangan di ruang guru. Para guru senior menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.
“Ada apa, Bu Dinda? Kenapa suasananya begitu tegang?”
Aku bertanya kepada ibu paruh baya berkerudung hitam itu dengan rasa penasaran. Di antara para guru, dia yang paling baik kepadaku, selalu menyapa duluan dan memberi nasihat mengenai cara bergaul dengan guru-guru yang lain.
“Kamu dari mana saja, Pak Ali? Ada kejadian gawat yang berhubungan dengan kamu!”
“Saya baru selesai mengajar di kelas sebelas IPA lima, Bu,” jawabku.
Mendengar berita yang disampaikannya, aku segera mengambil kursi hendak bertanya kembali apa maksud ucapannya itu. Belum sempat aku melakukannya, suara Pak Imran terdengar menggelegar memanggilku. Aku hanya bisa menyahut panggilannya diiringi tatapan prihatin dari Bu Dinda.
Bergegas aku menuju ruangan kepala sekolah untuk memenuhi panggilan Pak Imran. Ternyata di sana sudah ada Ketua Yayasan. Dia memandangku dengan tatapan penuh amarah.
“Anak saya tidak mau sekolah sebelum Bapak berhenti bekerja di sini.”
“Bapak dengar sendiri apa permintaan Pak Ketua. Silakan Pak Ali membuat surat pengunduran diri,” timpal Pak Imran. Matanya tidak berkedip saat mengatakannya.
Ultimatum darinya membuatku terhenyak, kembali teringat peristiwa kemarin. Anak itu telah berani memutarbalikkan fakta. Aku tidak bisa tinggal diam diperlakukan seperti ini.
“Kenapa bapak-bapak yang terhormat tidak memberi kesempatan buat saya untuk menerangkan semuanya, dan langsung memutuskan seperti itu?”
Pemilik yayasan semakin marah kepadaku. Tak hanya melotot lagi saat menatapku, bahkan kini tangannya menuding tepat ke arah hidungku.
“Berani sekali Anda! Mau saya bawa kasus ini ke kantor polisi?”
“Saya tidak takut, Pak. Jika saya dilaporkan ke kantor polisi, hal yang sama akan berlaku juga pada anak Bapak. Dia sudah mencemarkan nama baik saya!”
Aku tidak mau kalah gertak dengan dia. Seandainya aku memang sudah tidak ada tempat di sekolah ini, setidaknya aku akan keluar dengan kepala tegak.
“Silakan lakukan, Pak. Saya jamin, anak Bapak yang akan mendapat malu atas tuduhan ini.”
Tatapanku membuat Pak Imran bertindak cepat.
“Pak Ali sudah membuat malu sekolah dengan melakukan pelecehan kepada anak didik. Jadi, saya minta Bapak bersedia mengundurkan diri secara sukarela sehingga anak Pak Ketua mau kembali sekolah di sini.”
Aku tatap Pak Imran dengan serius.
“Saya akan menuruti permintaan Bapak asal saya dipertemukan dengan mereka, Pak. Hadirkan anak Pak Ketua dan Anggun ke sini.”
Mereka yang membuat masalah, kenapa aku yang kena sangsi. Begitu nelangsa nasibku. Kekuasaan dan wewenang mereka yang jauh di atasku membuat pembelaan diri ini sepertinya sia-sia belaka.
“Siapa Anggun? Kenapa kamu menyebut nama anak yang lain?”
Rasa penasaran Ketua Yayasan membuatku merasa masih ada setitik harapan.
“Anak itu tahu apa yang terjadi antara saya dengan anak Bapak. Silakan panggil dia, Pak Imran. Dia sekelas dengan Intan.”
Di detik-detik terakhir aku ingat nama anak ketua yayasan kami. Jika aku sampai lupa nama anaknya, bisa-bisa dia tersinggung dan aku terkena masalah lagi.
Sepertinya kali ini ucapanku didengar, samar Pak Ketua mengangguk kepada Pak Imran.
Tidak perlu lama untuk menghadirkan Anggun. Kini, gadis itu ada di hadapanku.
“Silakan bapak-bapak yang terhormat bertanya kepadanya. Dari mana dia mendapatkan lebam-lebam di wajah dan lengannya itu. Apa hubungannya peristiwa itu dengan saya.”
Bekas perkelahian mereka masih terlihat jelas di diri gadis itu. Anggun tidak bisa mengelak dari tatapan kami. Perlahan meluncur kisah dari mulut mungilnya, apa yang terjadi kemarin di belakang sekolah.
“Intan menuduh ibu saya sebagai kupu-kupu malam. Saya tidak terima, balas mengatakan bapaknya kaya karena korupsi, sehingga terjadi pertengkaran di antara kami. Pak Ali datang melerai, dia tidak sengaja jatuh menimpa tubuh Intan.”
Mendengar penjelasan Anggun, ekspresi Pak Ketua Yayasan berubah-ubah, sebentar pucat, sebentar merah padam. Aku dan Pak Imran hanya bisa terpana mendengar ceritanya. Aku mengira mereka ribut tentang hal-hal yang berkaitan dengan lawan jenis. Ternyata, mereka saling mengatai dengan ucapan serupa tuduhan dan pencemaran nama baik.
“Jaga bicaramu, Nak!”
Pak Imran segera sadar, dia terlihat serbasalah pada Pak Ketua. Sepertinya, Anggun tidak menyadari siapa sosok yang ada si sebelahnya. Pak Ketua kembali memberi tanda agar Anggun segera keluar dari ruangan. Keheningan tercipta di antara kami, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Silakan Pak Ali keluar dari ruangan saya. Nanti saya kabari apa keputusan kami.”
Aku mengangguk, tidak membantah perintahnya. Apa pun keputusannya nanti, aku akan terima. Setidaknya apa yang terjadi antara aku dengan Intan sudah mereka tahu kebenarannya.(*)
Bali, 03 Mei 2021
Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di taman kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.
Editor : Rinanda Tesniana