Butiran Nasi
Oleh : Dyah Diputri
Aku butir-butir nasi. Tanak-ditanak, pada akhirnya menjadi basi. Aku terbuang dan menjadi tak berarti. Sementara sebagian yang lain menjadi nikmat tersendiri.
Suatu cerita, ada seorang ibu yang menyambut bulan puasa dengan sukacita. Ia dan kedua anaknya—satu usia lima tahun, satunya lagi masih menetek—mengakhiri perjalanan berpanas-panasan mereka lebih awal. Bau mereka seperti tempat yang mereka kunjungi seperti biasa, bau sampah. Sebagian orang memanggil mereka gelandangan karena baju bolong-bolong dan berwarna kusam yang mereka kenakan. Sebagian lagi masih menyebut mereka pemulung karena terlihat membawa dua keranjang berisi botol-botol plastik dan kardus-kardus bekas.
Si ibu berkata, “Ibu senang, besok sudah bulan puasa. Orang-orang biasanya memberi makanan sebelum waktu buka puasa di jalan-jalan ini.” Ia tersenyum mengakhiri kalimatnya.
Anak perempuannya yang kecil masih serius menetek. Ibunya yang berjalan agak cepat, membuat sumber air minumnya susah disesap, padahal di tengah terik matahari ia merasa haus sekali. Sementara si sulung laki-laki mulai keberatan membawakan keranjang berisi dua puluhan botol plastik. Ia tak paham juga apa yang dikatakan ibunya tadi. Yang anak itu tahu, tempat pengepul barang rongsokan yang biasa disebut “Rombengan dan Pasar Besi” oleh orang-orang dewasa, sudah tak jauh dari tempatnya berjalan. Ia membayangkan ibunya akan mendapatkan uang lalu ia bisa makan hari ini. Sebab, kata ibunya, kalau tidak ada uang, maka mereka harus berpuasa besoknya.
Hari itu, si ibu sengaja tidak berlama-lama mencari rongsokan. Meski ia sadar, di gubuk reyotnya tersisa setengah liter beras saja untuk ditanak pada sore hari dan esok pagi. Kalau memungkinkan, hasil jual rongsokannya akan digunakan untuk membeli seperempat telur untuk lauk makan anaknya.
Namun sayang, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Rombengan dan Pasar Besi tutup hari itu. Kiranya penyambutan bulan Ramadan menjadi alasan. Ditambah lagi ada tulisan “Tutup selama 3 hari”, seketika membuat si ibu gemetaran.
Ibu dua anak itu kakinya lemas. Ia jatuhkan keranjang besar di tangan kanannya saat membaca tulisan itu. Bagaimana ini? pikirnya.
“Bu, Bu, kok tutup Rombengannya?” Si sulung menarik-narik ujung baju kumal ibunya.
“Yo, tutup, Le. Mau gimana lagi?” katanya sebal.
“Terus nggak jadi makan hari ini, Bu? Alung lapar, Bu. Sudah capek jalan kaki,” keluh si anak lagi.
Ibunya tak menjawab. Pandangannya sudah putus asa. Yang membuatnya tetap sadar adalah sedotan si bungsu di area dadanya. Bayi setahun itu masih asyik menetek dan malah merengek saat tangan si ibu mau mengambil alih sumber minumnya dengan menarik leher kaus. Karena sulit didiamkan, akhirnya si ibu kembali meneteki si kecil. Entah apa akan keluar air susunya atau tidak.
Mereka bertiga berbalik arah, pulang. Kembali dilewatinya jalan yang sama, jalan panjang dengan payung terik yang kian menyengat. Si sulung memaki-maki apa saja yang bisa dimakinya, demi meluapkan rasa kesal dan … laparnya. Meski ia tahu, setelah itu pun, ia jadi semakin lapar. Sementara perut si ibu tak kalah berisik bunyinya dengan suara deru motor di jalanan. Sejak pagi ketiganya memang belum makan apa-apa.
Sampai di rumah, si ibu segera menurunkan si kecil yang susah lepas tetek itu di dipan bambu, tak peduli anak itu menyusul turun dan meraung-raung hingga bergulung-gulung di tanah. Si ibu ke pawon, menyalakan tungku kayu bakar, lalu menanak beras yang tersisa.
Si kakak yang disuruh mengawasi malah pura-pura tidur untuk melupakan rasa laparnya. Sudah biasa, batinnya. Pun begitu, terkadang ia masih merutuki geliat dan sorak-sorai cacing di dalam perutnya.
“Makan ini saja dulu. Nanti, subuh Ibu masak nasi lagi,” kata si ibu menjelang asar.
***
Pada tengah malam, si sulung merasa lapar lagi. Ia terjaga dan meremas-remas perutnya. Nasi beberapa pulut yang ia lahap tadi sore sudah hampir terlupakan.
Akan tetapi, si ibu tak acuh. Ia sudah terbawa mimpi bersama anaknya yang masih menetek itu. Waktu si sulung menggoyang-goyangkan badannya, ibu itu hanya memggeliat dan berkata, “Tunggu saja waktu sahur tiba.”
Si sulung pergi ke pawon, berharap ada nasi yang tersisa. Sayangnya tidak ada sebutir pun yang bisa ditelannya. Kemudian, di tengah rasa lapar yang kian menjadi, ia mendengar bunyi-bunyi tabuhan diiringi teriakan orang-orang. “Sahur, sahur!” kata orang-orang itu.
Si sulung penasaran. Ia pamit kepada ibunya untuk keluar rumah, lalu segera berjalan mengikuti orang-orang itu dari jarak agak jauh. Mereka berjalan mengelilingi kampung yang sunyi, lalu semakin jauh menuju jalan besar. Si sulung mendadak lupa rasa laparnya.
Sampai di jalan besar, orang-orang itu berhenti. Si sulung pun berhenti. Ia perhatikan orang-orang itu dan beberapa kerumunan orang lainnya lagi. Tampak olehnya, orang-orang berbaju kurung membagi-bagikan bungkusan, lalu orang yang menabuh tadi menerima bungkusan itu.
Si sulung mendekat, dan tak menyangka akan mendapatkan rezeki. Sebungkus makanan, entah apa isinya, menguarkan wangi makanan yang asing baginya. Seketika rasa laparnya tergugah kembali.
“Boleh kuminta untuk ibuku. Ibu juga belum makan dari sore,” katanya memberanikan diri.
Orang-orang berbaju kurung itu menanggapi dengan santun. Ada sisa tujuh bungkus makanan lagi di kantong kereseknya. Tak pikir lama, mungkin karena melihat penampilan si sulung, akhirnya diserahkan satu bungkusan lagi.
“Adikku juga belum makan,” kata si sulung lagi. Seterusnya ia berbohong bahwa kakaknya, ayahnya, neneknya juga belum makan.
Wanita berbaju kurung merasa iba. Akhirnya, ia memberi semua sisa bungkusan makanan itu kepada si sulung. Katanya, “Besok, insya Allah kalau ada rezeki, saya bagi makan sahur lagi di sini.”
Si sulung gembira bukan kepalang. Benar kata ibunya, saat bulan puasa, ia akan mendapat banyak makanan meski Rombengan dan Pasar Besi tutup. Ia pun bergegas pulang melewati jalan yang sama seperti tadi.
Sementara itu di gubuk, si ibu yang bangun dari tidurnya kembali menyalakan nyala tungku kayu bakar. Ia menanak setengah dari sisa beras yang dimilikinya kemarin.
Karena hanya sedikit, beberapa belas menit saja sudah matang nasi itu. Wanginya menguar tajam, menggoda si kecil untuk bangun. Sembari menunggu si sulung pulang, ibu itu kembali meneteki si kecil. Bagaimanapun, nasinya harus dimakan bersama, biar kenyangnya sama rata.
Namun, tak lama kemudian si sulung pulang dengan delapan bungkusan di tangannya. Betapa terkejut si ibu, karena biasanya ia mengharap rezeki pada waktu sore menjelang berbuka. Kini, hadiah Tuhan itu didapatkan ketika subuh.
“Katanya, ini buat sahur, Bu. Sahur itu apa?” tanya si sulung.
“Sudah, ndak usah dipikirkan. Jadi orang miskin itu setiap hari sudah puasa. Sekarang biar giliran mereka yang puasa. Ayo, makan. Habiskan!”
Keluarga itu pun makan dengan lahapnya. Namun, dua-tiga bungkus saja sudah membuat mereka kekenyangan. Sisanya si ibu simpan di meja, berharap bisa dimakan saat siang sebangun tidur. Kalau tidak bisa dimakan, ya terpaksa dibuang. Lalu, mereka harus berdiri di tepi jalan raya untuk mengharap uluran tangan pemberi makan buka puasa.
***
Aku butir-butir nasi. Tanak-ditanak, pada akhirnya menjadi basi. Aku terbuang dan menjadi tak berarti. Sementara sebagian yang lain menjadi nikmat tersendiri.
Malang, 21 April 2021
Dyah Diputri. Pencinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Lily