Hari Sebelum Esok
Oleh : Hamzi
Kurnia, Sandi, dan Riza tengah berkumpul di samping rumah Riza membahas perayaan 17 Agustus. Anak-anak kelas 6 SD itu sudah sibuk berandai-andai berebut hadiah lomba yang akan mereka peroleh. Sebagai tiga sekawan karena rumah yang berdekatan, mereka selalu melakukan berbagai hal bersama. Terutama acara besar sekelas peringatan hari proklamasi Indonesia itu.
Seperti yang sudah-sudah, di pertengahan Juli seperti saat itu, semarak menyambut kemerdekaan mulai membahana di lapangan mengisi sore. Lewat hadirnya beberapa pertandingan olahraga antardivisi perusahaan perkebunan sawit. Mulai dari bola kaki, voli, bahkan bola kasti. Tak hanya kaum adam, kaum hawa pun turut turun ikut memeriahkan.
Kurnia, Sandi, dan Riza selalu hadir ke tengah lapangan bersama orang-orang yang ingin melihat pertandingan. Ada yang hendak mendukung timnya atau hanya mencari hiburan di tengah suasana yang agak jauh dari peradaban.
Namun anak-anak seperti Kurnia biasanya lebih suka bermain seluncuran di tebing setinggi tiga meter di tepi lapangan. Kalau haus mendera, mereka akan duduk berlama-lama di bawah tenda penjual jajanan yang hadir musiman.
Seperti sore itu, dua kantong es ternyata belum cukup melepas dahaga di kerongkongan Kurnia. Anak berbadan paling ceking itu pun memulai siasat. Meminjam uang teman-temannya.
“Udah habis, Kur. Cuma dikasih seribu sama mamakku,” pungkas Sandi.
“Aku pun juga. Mana ada lagi. Tengoklah!” titah Riza sambil menunjukkan kantong di baju merahnya.
“Kantong celana?” Kurnia kembali mencecar, tak percaya.
“Mana ada kantong celanaku!” Kedua tangan Riza mengelus sisi paha tempat biasa kantong celana berada.
“Eh, Kur. Orang transport, kan, lagi main bola itu,” ujar Sandi memberitahukan divisi mana yang sedang bertanding. “Kalau nggak ke sana aja kita pas orang tu istirahat. Minta minum orang tu. Kan, bapakmu juga ikut main.”
Kurnia tak menunjukkan tanda-tanda setuju. Namun, Sandi dan Riza sudah beranjak dari penjual jajanan di bawah sawit sisi lapangan. Mereka menuju lapangan bola yang letaknya di seberang lapangan voli. Anak-anak itu sudah biasa menyambangi tim mana saja yang bapak atau ibunya ada di sana, kecuali Kurnia. Dia pasti selalu menolak dan berlari pulang ke rumah yang berhadapan dengan lapangan bola kaki bila Sandi dan Riza memaksa. Kali ini, entah mengapa ia mengikut saja bagai kerbau dicucuk hidungnya.
Di tepi lapangan bola kaki, beberapa pemain beristirahat sebelum memasuki babak selanjutnya. Dari jarak beberapa langkah, Kurnia bisa melihat bapaknya tengah berbincang dengan seseorang. Raut wajah lelaki tiga puluhan itu tegang. Setegang waktu tiap kali dia mengusir Kurnia yang ingin mencicipi minuman para pemain.
Kurnia mematung sesaat, sebelum akhirnya membelokkan langkah menyusuri lapangan. Pulang. Sandi dan Riza tak menyadari hal itu sampai langkah mereka berhenti di belakang para pemain yang tengah duduk di atas rumput. Kedua anak itu langsung balik arah begitu mendapati temannya sudah menghilang.
Memasuki Agustus, lapangan kian ramai dipadati orang-orang. Pertandingan semakin sengit karena babak penyisihan hampir usai dan sebentar lagi memasuki final. Euforia itu juga dirasakan oleh Kurnia, Sandi, dan Riza. Mereka kian gencar memperdebatkan siapa yang akan menjadi juara di tiap perlombaan untuk anak-anak pada hari perayaan nanti. Padahal tanggal 17 masih sepuluh hari lagi.
Tak cukup sampai di mulut, semangat memenangkan perlombaan itu juga bocah-bocah itu tunjukkan dengan berlatih. Layaknya atlet nasional tengah mempersiapkan kejuaraan dunia. Biasanya sepulang sekolah di samping rumah Kurnia yang lapang. Mereka berlomba membawa guli dengan sendok. Atau balap karung juga memasukkan paku dalam botol. Siapa yang kalah, pasti akan menjahili yang lain.
Tak terasa waktu berlalu secepat aroma limbah sampai ke hidung orang-orang yang sedang di rumah. Besok akan menjadi puncak perhelatan acara. Kawasan perkebunan yang senantiasa senyap itu, akan dipenuhi hiruk pikuk penduduk lima afdeling dan tiga emplasmen. Semuanya akan tumpah ruah di satu titik, depan rumah kepala perkebunan.
Sorak kegembiraan telah memenuhi hati Kurnia sejak pagi. Terbayang olehnya, dia dan teman-teman beserta para tetangga naik di bak truk bapaknya. Kemudian pagi-pagi saat panas belum menyengat mereka melaju membelah sawit yang berbaris rapi di kanan-kiri jalan berbatu. Di tempat acara, mereka juga bertemu truk serupa yang isinya juga sama dengan yang dia naiki. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Khayalan itu terus memenuhi kepalanya membuatnya semakin tak sabar menyongsong hari esok.
“Kelen besok pake baju apa?” tanya Sandi pada Riza dan Kurnia mengingat besok adalah hari istimewa.
“Aku pakai baju Lebaran semalam. Kemeja biru sama celana pensil,” tukas Sandi.
“Sama, aku juga pake baju Lebaran,” timpal Sandi kemudian.
“Aku pake baju yang baru dibelikan mamakku di Pasar Senin,” sambung Kurnia tak mau kalah.
Sekejap kemudian, topik itu digeser kembali oleh perdebatan sang juara. Sampai akhirnya mereka berpisah pulang ke rumah masing-masing.
Menjelang magrib, Kurnia yang baru tiba di rumah mendapati bapaknya tengah menonton. Sementara ibunya sedang mengepak baju ke dalam tas yang biasa dibawa ketika pulang kampung.
“Mak ….” Kurnia memasang wajah penuh tanya. Perempuan yang dipanggilnya “Mak” itu menoleh dengan mata yang sudah memerah. Anak lelaki itu semakin bingung saat melihat tatapan kosong bapaknya.
“Sudah siap, Bang,” ucap ibu Kurnia keluar kamar sambil menenteng sebuah tas yang sudah terisi penuh. Suaranya terdengar sedikit bergetar.
Laki-laki itu lalu bangkit. Sebelum menghilang di balik dinding dapur, ibu Kurnia sempat berkata, “Kenapa Abang sampai mengambil besi di pabrik? Nggak Abang pikirkan ke depannya?”
Perkataan ibunya membuat Kurnia semakin bingung. Namun, hati kecilnya merasakan firasat buruk.
Setelah kembali, bapak Kurnia langsung memerintahkan istri dan anaknya untuk keluar. Kurnia yang sejak tadi ingin protes tak berani berkata-kata melihat mamaknya mendelik. Anak itu segera naik ke tangki sepeda motor yang telah dinyalakan bapaknya. Tak lama, ibunya menyusul setelah mengunci pintu. Kemudian, deru mesin 150 cc itu terdengar membelah keheningan.
Kurnia masih tak paham ke mana bapaknya hendak membawa mereka. Yang dia tahu, jalan itu menuju ke tempat acara besok. Entah mengapa, hatinya bergetar melihat tenda yang diyakininya sebagai tempat bazar makanan sudah berjajar rapi. Atapnya melambai-lambai tertiup angin seperti hendak menyampaikan salam perpisahan. Setitik air mulai memenuhi kelopak matanya. Ia semakin erat memeluk tas yang ada di atas tangki sembari berkata dalam hati. “Sampai ketemu lagi.”(*)
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata