Lelaki yang Tidak Datang Malam Itu

Lelaki yang Tidak Datang Malam Itu

Lelaki yang Tidak Datang Malam Itu
Oleh: Siti Nuraliah

Malam Minggu, Agus tidak menemui Ratna. Padahal ia sudah berjanji sejak tiga hari yang lalu, ketika kekasihnya itu merengek-rengek meminta kepastian tentang hubungan mereka. Sebetulnya Agus juga tidak sungguh-sungguh mengucapkan janji itu, ia hanya mengiakan saja agar kekasihnya berhenti bicara. 

Sementara Ratna, selepas magrib telah berdandan rapi. Sebelumnya, Ratna sudah susah payah meyakinkan kedua orangtuanya—yang kurang setuju dengan hubungan Ratna dan Agus. Mereka juga sudah punya pilihan lain yang menurut mereka lebih layak untuk mendampingi dirinya, ketimbang Agus yang masih tidak jelas pekerjaannya. Sebagai orangtua, dan karena tidak ingin putrinya itu murung berhari-hari, Pak Surya dan Bu Sri akhirnya menurunkan ego mereka serta memberi kesempatan kepada Agus untuk datang malam itu. 

“Jam berapa pacarmu itu mau datang, Ratna?” tanya Pak Surya yang mulai kesal karena sudah satu jam menunggu. 

Ratna menjawab dengan alasan yang dibuat-buat. Sebab dari Asar, nomor Agus tidak bisa dihubungi. Terakhir kali Ratna mendapat kabar, waktu siang. Agus sedang sibuk mengantar banyak pesanan makanan. Agus memang tidak punya pekerjaan tetap. Kadang-kadang ia jadi kurir makanan, kurir paket, kadang jadi ojek online, kadang jaga bengkel, dan apa saja asal dibayar dan halal.

 

Bila dilihat dari strata sosialnya, keluarga Agus dan Ratna memang sangat kontras. Ratna dari keluarga yang berpendidikan. Ayahnya seorang pensiunan PNS guru, dan ibunya seorang perawat gigi di salah satu klinik swasta. Ratna sendiri, ia sebenarnya telah menyelesaikan pendidikan sarjananya di jurusan ekonomi. Namun ia malah memilih membuka usaha online.  Itulah yang menjadi jembatan pertemuan antara Ratna dan Agus. Sementara Agus, hanya dari keluarga yang biasa-biasa saja dan hanya tamatan SLTA. 

Pukul 20:30, Pak Surya sudah hilang sabar. Istrinya tahu betul tabiat Pak Surya yang tidak suka menunggu dan telat. Lalu Bu Sri mendekati Ratna agar sekali lagi menghubungi Agus. 

“Kamu sudah tahu, kan, Bapakmu itu dari dulu tidak suka menunggu dan tidak suka telat. Dia seorang guru yang disiplin. Sekarang kamu coba tanyakan lagi apakah kekasihmu itu jadi datang atau tidak? Ini sudah malam.” 

Pak Surya sudah berlalu masuk kamar, begitu pun Bu Sri. Di ruang tamu hanya tinggal Ratna dengan perasaan yang sulit dijelaskan dan harapan yang mulai mengepul ke udara. Ratna kecewa, untuk pertama kalinya Agus membuatnya kehilangan kepercayaan. Ratna mulai memikirkan ucapan-ucapan orang tuanya, seandainya begini, seandainya begitu. Lalu sudut matanya mulai basah.

Ratna mengingat-ingat apa yang membuatnya telah begitu jatuh cinta pada sosok Agus. Lelaki yang tidak pandai merangkai kata, tidak romantis, tapi Agus lelaki yang realistis. Ratna ingat pada pertama kali pertemuan mereka di depan gang kompleks. Ratna mendapat banyak pesanan dari pelanggannya, dan ia menghubungi salah satu jasa ekspedisi agar mengirimkan salah satu kurirnya untuk menjemput barang-barang yang tidak bisa ia bawa langsung ke kantor ekspedisi itu. Agus laki-laki yang sedikit bicara banyak bekerja, telah membuat Ratna sulit melupakannya. Kadang-kadang jatuh cinta memang suka tiba-tiba. 

Hubungan Ratna dan Agus bukan seperti hubungan sejoli lainnya. Keduanya terikat begitu saja, lalu menjadi dekat sampai tidak terasa telah dua tahun menjalin hubungan tanpa bertanya siapa yang lebih dulu menyatakan perasaan. Yang jelas, keduanya telah sama-sama merasa nyaman. 

Ratna mengurung diri di dalam kamar. Beberapa kali nomor Agus dihubungi hanya ada jawaban operator memberi tahu jika nomornya dialihkan. 

***

Sementara pada malam yang telah dijanjikan itu, Agus membujuk ibunya. Ia membicarakan hal ihwal hubungan antara dirinya dengan Ratna anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang. Ibunya diam, hanya sorot matanya saja yang berbicara. Dari sana Agus bisa membaca pesan yang ingin disampaikan ibunya. Perempuan yang membesarkannya seorang diri itu, bukan tidak ingin menyetujui hubungan Agus dengan kekasihnya yang telah diceritakan tadi. Ibunya hanya takut, pernikahan beda strata sosial hanya akan mengulang lagi luka lama yang telah ia kubur dalam-dalam. 

Dalam kediaman yang cukup lama, ibunya Agus akhirnya bicara, suaranya berat dan parau. “Kita ini dari keluarga biasa, sementara kekasihmu dari keluarga kaya dan berpendidikan. Kamu tahu, Agus, emas dan besi selamanya tidak akan pernah bisa bersatu. Seperti pernikahan ibu dengan bapakmu dulu.” 

Terlihat sekali oleh Agus raut wajah ibunya yang seperti sedang membayangkan kejadian yang telah dialaminya beberapa tahun lalu. Di saat seperti itu, Agus mesti menurunkan egonya untuk membantah semua perkataan ibunya. Ia sedikit banyak tahu yang telah dialami ibunya di masa lalu, sampai-sampai ia tidak tega untuk membuatkan luka baru di hati perempuan yang pernah dihinakan oleh keluarga suaminya. 

“Perasaan cinta itu, bisa dikendalikan. Jika Ibu boleh meminta, jangan jatuhkan hatimu pada gadis dari keluarga kaya itu.” Ibunya berujar disertai air mata yang jatuh dari sudut matanya yang mulai keriput. 

Tidak ingin melihat ibunya sedih terlalu lama, akhirnya Agus memutuskan untuk keluar. Ia tidak pergi ke rumah Ratna, melainkan ke rumah Toni, temannya, sekaligus pemilik bengkel yang sewaktu-waktu ia jaga. Ia ingin bercerita banyak kepada temannya itu. Tentang perasaannya kepada Ratna, tentang ibunya, dan keadaan yang membuatnya harus memilih untuk tidak menemui keluarga Ratna pada malam itu. (*)

Banjarsari, 15 Maret 2021.

 

Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca. 

 

Editor: Imas Hanifah N

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply