Restu Nenek
Oleh : Yana
Hening tanpa suara sedikit pun dalam ruangan yang sejuk dengan tiupan kipas angin menjadikan Tia semakin fokus membaca buku.
Kring, kring, kring ….
Suara dering panggilan masuk begitu mengagetkan, Tia langsung mengambil handphone dan mengangkat panggilan itu.
“Assalamualaikum. Iya, bagaimana, Tante? Apa kabar?” kata Tia.
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, ini Tante mau ngabarin Nenek sakit, habis jatuh dan sekarang tidak bisa apa-apa, hanya bisa berbaring saja, dan selalu memanggil nama kamu, apa kamu bisa pulang sekarang?” kata Tante dengan intonasi panik dan menahan tangis.
“Iya, besok saya pulang ke rumah Nenek,” jawab Tia dengan kebingungan, tapi mencoba untuk tetep tenang.
Meski dalam hati dan pikiran Tia tidak menentu, Tia selalu mencoba untuk tenang. Sambil berpikir bagaimana cara menyampaikan ke Ibu agar tidak ikut-ikutan panik karena Tia tidak ingin ibunya sedih.
Terdengar suara pintu terbuka. Tia pun menengok dan menghampiri. “Eeeh, Ibu sudah bangun. Ayok, Bu, minum teh di depan TV,” kata Tia sambil menggandeng Ibu duduk. Ibu pun bergegas duduk sambil memandangi wajah Tia dengan tatapan heran.
“Ibu tunggu di sini dulu, ya, saya mau ambil teh celup dan snack di dapur,” kata Tia dengan ekspresi ceria dan gerakan lincah seolah tidak ada apa-apa.
Sambil menyeduh teh, Tia bilang ke ibunya, “Bu, tadi Tante telepon–”
Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong dengan raut wajah penasaran. “Iya, telepon ngabarin apa? Ada apa?”
“Hem, Ibu, begini, lho, Bu, tadi Tante telepon bilang kalo Nenek sakit dan kita diminta segera pulang ke rumah Nenek.” Tia menyampaikan dengan begitu pelan tapi jelas. Berharap Ibu tetap tenang dan tidak panik.
“Lho, ada apa? Jatuh kok tumben sampai kita disuruh pulang? Apa tidak dibawa ke dokter dulu? Apa sakitnya parah? Coba telepon tante kamu lagi, Ibu pengin tahu kondisi lebih jelasnya,” kata Ibu dengan wajah panik dan mata berkaca-kaca, menggosok-gosok kening berkali-kali.
Diambilah handphone lalu dicari kontak WhatsApp tantenya sambil mengusap-usap pundak ibunya agar tidak terlalu panik. “Sudah, Bu, Nenek tidak apa-apa kok,” kata Tia.
Dering pertanda panggilan WhatsApp sudah masuk terdengar.
“Halo, assalamualaikum. Iya, Tia, bagaimana? Kamu mau pulang kapan?” tanya Tante dengan intonasi cemas.
“Waalaikumsalam. Insya Allah besok, Tante. Ini Ibu mau tanya kejadian yang sebenarnya bagaimana. Sudah dibawa ke dokter belum?”
“Iya, sudah, Tia, Nenek sudah empat hari ini tidak bisa apa-apa, hanya berbaring di tempat tidur, habis jatuh saat mau duduk dan kepala bagian belakang terbentur almari, dan saat ini hanya memanggil-manggil nama kamu,” jelas Tante dengan suara pelan.
Seketika air mata Ibu pun tumpah, tak dapat terbendung lagi. Tia hanya bisa diam mendengar kabar yang sesungguhnya dan melihat Ibu sedih karena serasa disambar petir mendengar kondisi neneknya yang tidak berdaya.
Malam hari, sekitar pukul 19.30, dengan suasana yang menegangkan, Ibu merintih kesakitan kepalanya karena terlalu terforsir memikirkan Nenek. Melihat Ibu yang seperti itu, Tia pun menawarkan ke Ibu. “Bu, mau ke rumah neneknya sekarang apa nanti saja?” tanya Tia dengan intosai lembut.
“Sekarang saja, pokoknya sekarang, agar segera sampai ke rumah nenek kamu,” kata Ibu memaksa.
Tia bergegas mencari kontak nomor trevel yang biasa dipesan. Namun, kabar yang didapat membuat Tia mengusap-usap wajah. Trevel yang biasa dipesan Tia untuk pulang ke rumah neneknya sudah tidak ada kursi kosong, kalaupun ada harus menunggu tiga hari kemudian. Tia pun berpikir dengan tenang untuk mencari solusi, setidaknya agar segera bisa sampai ke rumah Nenek agar hati Ibu segera tenang. Tia bergegas menelepon temannya untuk mengantarnya. Rumah nenek Tia dengan rumah Tia tidaklah dekat, jika ditempuh menggunakan mobil perjalanan sekitar sembilan jam.
Pukul 20.00, mobil teman Tia pun menjemput, di sepanjang perjalanan Tia selalu membuat ibunya agar tetap tenang.
Pukul 04.00, mereka sampai di wilayah rumah Nenek. Angin pagi begitu menusuk ke tulang. Tampaklah di hadapan mata rumah joglo dekorasi klasik dengan pintu depan berjumlah delapan yang tertutup rapat. Begitu turun dari mobil, Tia langsung menuju pintu kedua dari sebelah kiri.
“Assalamualaikum.” Tia mengetok pintu, tetapi tidak ada jawaban, begitu terus berulang kali.
Akhirnya dengan sengaja Tia mendorong pintu itu. “Assalamualaikum, Nek. Ini saya, Tia,” kata Tia sambil mendorong pintu, diikuti Ibu. Dengan ekspresi kaget dan tak bisa berkata-kata, Tia dan Ibu hanya bisa menangis tanpa bersuara melihat Nenek yang sudah tak berdaya tertidur di ruang depan. Dihampirilah Nenek dengan pelan-pelan.
“Nenek, ini saya, Tia,” kata Tia sambil memegang tangan Nenek dan menahan air mata, bersikap kuat di depan Nenek. Nenek langsung menenggok dan menangis bahagia.
“Alhamdulillah, kamu akhirnya datang juga, terima kasih, Ya Allah, telah mendatangkan cucuku,” kata Nenek.
“Iya, Nek, sekarang cucumu sudah di sini.” Tia memeluk erat tubuh Nenek yang sudah tidak berdaya.
“ Iya, terima kasih.”
*””
Tak terasa jam dinding sudah menunjukan pukul 07.30, sinar matahari pagi pun mulai menghangat masuk ke ruangan mengenai pundak Tia, kicauan burung yang merdu bagaikan melodi rindu di pagi hari, Tia yang semula lemas pun bersemngat lagi, membuka jendela dan pintu-pintu, merapikan rumah agar udara segar pagi masuk ke rumah. Melupakan sejenak kisah sedih yang sudah terlewati. Tia hanya ingin neneknya sembuh seperti sediakala dan ibunya pun tidak sedih lagi. Saat semua ruangan sudah rapi, Tia bergegas masuk ke dapur. Tungku tua berwarna hitam berisi arang bambu dan debu putih bekas bakaran kayu masih tersisa dengan utuh. Dengan gigihnya Tia memotong-motong kayu untuk memasak air dan memasak nasi beserta lauk pauk, Tia mengumpulkan potongan-potongan kayu untuk dijadikan kayu bakar.
Berjam-jam Tia di dapur, jadilah masakan kesukaan Nenek dan Ibu. “ Nenek, Ibu, ayo kita sarapan dulu mumpung masih hangat,” kata Tia dengan lincahnya.
“Duh, cucuku pinter memasak juga.” Nenek berucap dengan gembira. Diambillah dua mangkuk bubur untuk Nenek dan Ibu,
“ Ibu ini sarapnnya?” kata Tia.
“Terima kasih, ya”, kata Ibu. Ibu pun makan dengan lahapnya.
“Nenek, ini aku suapin, ya.” Tia menyuapi Nenek sesendok bubur. “Tia, nanti kalo Nenek sudah tidak ada, kamu jagan sedih, kamu sudah Nenek restui, mudah-mudahan kamu mendapatkan jodoh yang baik, berkah rezeki, tidak usah khawatirkan Nenek,” kata Nenek sambil memegang telapak tangan Tia erat-erat dan mata berkaca-kaca. “Iya, Nenek, terima kasih, tapi Nenek harus sehat, ya, semangat untuk sembuh lagi,” kata Tia dengan penuh meyakinkan. Nenek pun hanya tersenyum.(*)
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata