“Aak … cepetan sini!!!” Istriku berteriak dari dalam kamar. Hampir saja terlempar buku yang sedang kubaca. Tak biasanya ia bersikap begitu kala memanggil suaminya. Terdengar setengah menjerit. Ada apa?
Bergegas aku mendatanginya. “Astaga, Neng … kenapa?” Kulihat dia berdiri sambil menopang tubuh, bersandar di pintu lemari pakaian. Wajahnya pias menyembunyikan gurat kesakitan. Ya Tuhan, istriku kenapa lagi?
“Itu, diambil tasnya Ak, anterin Neng ke rumah sakit.” Ia menunjuk pada sebuah tas yang terlihat cukup padat. Dalam kondisi begitu, dia masih bisa mempersiapkan kebutuhan dirinya sendiri. Tanpa meminta bantuanku.
Kalian tahu? Ia adalah perempuan paling mandiri yang aku kenal. Mana mau meminta pertolongan jika masih mampu melakukan sendiri. Namun kali ini, ia menyerah.
Terkadang aku sangat ingin ia memintaku melakukan sesuatu untuknya. Tapi istriku belum pernah meminta itu.
“Ngapain sih, Ak kalo saya bisa sendiri minta ke orang buat mengerjakan. Aak juga kan kerjaannya nggak ringan. Neng mah … nggak dikasar sama Aak juga udah enteng hatinya. Kerjaan apa pun jadi gampang,” begitu katanya.
Bagaimana? Menyenangkan bukan. Sungguh memiliki dirinya adalah anugerah terbaik dari Tuhan. Ia sabar, sederhana dan apa adanya.
Aku meraih tas yang telah disiapkan olehnya.
“Apa sebentar lagi Aak jadi bapak, Neng?” pertanyaanku membuatnya tersenyum geli di antara rasa sakit yang tergambar pada wajahnya.
“Semoga prosesnya dimudahkan ya Ak, ini udah makin deket jarak mulesnya.”
“Akhirnyaaa … harapan selama ini dikabulkan. Bakal dipanggil Bapak sama anak sendiri.” Kegembiraan begitu membuncah di dadaku. Seketika aku bergoyang kegirangan. Tangan dan kakiku bergerak menarikan kebahagiaan.
“Idiiih Akang ah … jangan kayak gitu, saya jadi tambah mules nih,” bahunya berguncang menahan tawa. Dia terduduk di atas dipan.
Sementara aku membayangkan celoteh lucu bayiku kelak, menuntun batita belajar berjalan, dan panggilan khususnya untukku “Bapak”. Tujuh tahun menunggu, di kehamilan keempat ini, istriku baru berkesempatan mengandung hingga trisemester akhir.
Cepat-cepat aku mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Meletakkan segala keperluan yang sudah disiapkan untuk dibawa pada sisi depan motor. Lalu kembali ke dalam sambil bersiul riang. Perlahan aku memapah istri keluar. Rasanya bercampur aduk, ada rasa khawatir tapi juga senang.
“Gimana sudah siap, Neng. Pegang yang erat ya, Aak rada ngebut apa pelan aja nih?”
“Ishhh … pake nanya segala. Yang penting selamet, Ak.”
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku berkendara dengan kecepatan sedang. Rasanya gusar sekali mendengar desis kesakitan dari istri di boncengan.
Andai saja bisa memberikan kenyamanan lebih untukmu, Neng. Kamu pastinya tidak akan sesulit ini menempuh perjalanan ke rumah sakit dengan motor. Air mataku mengalir begitu saja.
Neng, kesederhanaanmu yang membuat aku jatuh cinta selalu. Selama ini tak pernah kudapati keluhanmu tentang penghasilanku. Cemoohmu akan kekurangan diriku menafkahimu. Kamu bilang akan ada masanya kejayaan seseorang dalam hidup. Asal kita mau menjalaninya dan ikhlas menerima pergantian gilirannya. Ah … Neng, beruntungnya aku yang dimuliakan perempuan seperti kamu.
Tiba-tiba dadaku terasa nyeri, dan perih, seakan ada yang basah. Namun tak kuhiraukan. Pikirkanku hanyalah membawa istriku segera sampai di rumah sakit.
“Aak … sakit bangettt, Neng ga kuat.”
Kuparkir motor sembarangan di depan pintu UGD. Memapah perlahan Calon Ibu dari anakku. Seorang suster membawa brankar mendekati pintu masuk.
“Langsung dibaringkan di sini saja, Pak. Ibunya sudah kelihatan payah.”
Maka dengan bantuan seorang satpam dan perawat laki-laki, aku membaringkan istriku di atas brankar.
“Ya Tuhan … Neng, rokmu sudah banyak darah.” Aku panik.
“Sakiiit, Ak,” hanya itu yang dikatakannya.
Sesaat setelah mendorong masuk brankar, terdengar suara ambulan mendekat. Tak lama pintu masuk UGD dibuka lebar untuk brankar prioritas. Seseorang bersimbah darah dengan selang oksigen terbaring tak berdaya. Lalu satu orang menyusul dengan brankar yang berbeda. Mereka ditempatkan berjajar.
“Korban pembegalan … satu orang tewas, lainnya sekarat.” Aku mendengar suara bariton mengatakan tentang siapa mereka.
Rasanya lemas sekali. Kupegangi dadaku dan tersentak. Ingatanku menarik mundur pada sebuah kejadian.
Saat melewati jalan sepi sekitar bundaran kampus, seketika aku melayang dan sayup terdengar istriku mengerang kesakitan.
“Bawa motornya aja dongo!”
“Itu yang perempuan kaga mati.”
“Biarin aja ntar juga mati sendiri, orang bunting begitu kuat berapa lama si kalo udah pendarahan?”
“Udeh tinggal, cepetan goblok!!!”
Hanya itu yang bisa kuingat.
“Aak … mikirin apa lagi sih?” Kulihat mata istriku yang memerah dengan penuh cinta.
“Nggak ada kok, Neng. Aak seneng Neng selamet”
“Iya, Ak. Neng juga seneng sama-sama terus begini. Udah nggak ada lagi yang perlu dipikirin.” Istriku menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Neng.”
“Hmm….”
“Inget nggak waktu malem-malem kamu mules?”
“Inget dooong, mana bisa lupa. Takdir di mana kita berdua menjalani perputaran kehidupan sekarang ini.”
Ruangan ini semakin terasa lembab. Dinding putihnya telah berubah, menguning dan berkerak. Catnya terkelupas waktu, menapakkan ceruk kasar rapuhnya. Sulur-sulur akar tumbuhan liar mulai menutupi jendela kaca, menghalangi cahaya matahari menembus ke dalam.
Cermin tua yang kusam di sudut lorong, membiaskan sisa kepanikan dari banyak kisah pilu di ruang gawat darurat. Memantulkan segala resahku menatap dia yang semakin lemah ketika itu.
“Di sinilah dunia kita, Neng.” Aku menghela napas. “Ruangan inilah tempat kita menanti bayi yang tak pernah terlahir dari rahimmu.”
Brankar berkarat menguarkan bau apak busa tua. Pada besinya yang utuh masih menyisakan darah mengering kami dulu.
Muntilan, Februari 2018
Pipit Nashwa, lebih akrab dipanggil Pipit. Pekerjaan utamanya beberes rumah, yang pastinya tidak lepas dari dunia domestik perempuan. Hobinya menuliskan ide yang terlintas, ternyata berkembang menjadi tema cerita pendek. Baru menekuni secara serius untuk mempelajari teknik dan gaya kepenulisan beberapa bulan belakangan.
FB: Pipit Nashwa
Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan