Tante Nikol, Abram, dan Masalah yang Menyertai
Oleh : Nuke Soeprijono
Dua mata saya. Hidung saya satu.
Dua kaki saya, pakai sepatu baru.
Dua telinga saya yang kiri dan kanan.
Satu mulut saya, tidak berhenti makan.
Waktu itu, dari dalam kamar aku mendengar suara Tante Nikol sedang mengajari Abram bernyanyi. Anak itu lucu dan sehat. Dengan lantang dia menirukan suara mamanya. Bahkan di usianya yang belum genap dua tahun Abram sudah lancar berbicara. Mendengar Tante Nikol menyanyi saat itu aku menyimpulkan bahwa suasana hatinya sedang baik. Maklum, tinggal seatap dengan mertua dan saudara kerap menimbulkan perasaan macam-macam. Mulai dari rasa tak enak hati jika jajan sendirian atau kadang ada perasaan sungkan jika bangun tidur di atas pukul tujuh pagi. Belum lagi soal tingkah laku Abram yang terlalu aktif dan berani—hingga sering menimbulkan kerusakan kecil di rumah.
Tante Nikol memang sering curhat kepadaku. Mungkin dirasanya aku adalah satu-satunya manusia paling netral di rumah ini. Sebagai adik bungsu dari ibuku, sebenarnya Tante Nikol adalah ibu yang mandiri dan baik, selalu merawat Abram dengan penuh perhatian dan bersikap lembut kepada Om Dwi—ayah Abram. Hanya saja … yah, sikap Nenek yang sangat disiplin terhadap kami membuat suasana di rumah menjadi tegang. Wajar saja jika Nenek bersikap demikian. Di rumah ada tiga kepala rumah tangga, kalian bayangkan saja sendiri bagaimana dan seperti apa keadaannya. Dan, aku cukup memaklumi jika kelakuan Tante Nikol sering eror.
Siang itu langit Semarang sedang berawan. Udara di sekitar kamarku terasa seperti dalam kukusan dandang di atas kompor. Aku melirik jam berbentuk hati di atas meja pemberian pacarku. Jam satu siang. Pantas saja jika cuaca terasa gerah.
“Tante, kita jalan, yuk! Bosen banget nih di rumah, mana gerah lagi,” ajakku kepada Tante Nikol. Saat itu aku melihat tanteku sedang melongo melihat tayangan di tivi. Sedangkan Abram, anak lelaki itu sedang bermain lego di atas kasur tipis di sebelahnya.
“Tante! Ayo kita ngemal aja, yuk!” ajakku sekali lagi.
Tante Nikol kemudian menatapku sesaat sebelum dia berkata, “Ayo aja!”
Sudah kuduga, dia pasti mau. Tante Nikol memang tanteku yang asyik jika diajak bersenang-senang. Itu salah satu yang membuatku dekat dengannya. Tentu saja selain dia baik dan ada Abram yang lucu, cerdas, lagi pemberani.
***
“Nad, kamu mau beli apa sebenarnya?” tanya Tante Nikol sesaat setelah kami memasuki pintu utama mal.
“Nadine mau lihat-lihat aja, Tan. Window shopping,” sahutku sambil menaik-turunkan alis kepadanya.
“Huh, kamu tuh kebiasaan, ya, padahal tadi yang ngajak. Untung Tante ada tujuan. Tante mau nyari sepatu, tuh, udah mau jebol,” jawab Tante Nikol sambil menunjukkan ujung sepatunya. Aku hanya nyengir menanggapi ocehannya. Kami lalu berjalan santai menyisir lantai satu. Di area itu berjajar toko sepatu yang mungkin pada salah satunya ada sepatu pilihan Tante Nikol. Abram saat itu masih anteng dalam gendonganku. Bocah periang berambut jarang itu menunjuk kereta-keretaan yang berada di tengah-tengah atrium mal. Dia sepertinya ingin turun dan berjalan sendiri.
“Baiklah, Abram … Kakak turunin kamu, ya. Main-mainlah kamu di sini. Biar nggak bosan kayak di rumah.”
Setelah janjian bahwa nanti di depan kereta-keretaan kami akan berkumpul lagi, aku sekilas melihat Tante Nikol sudah masuk ke dalam salah satu toko sepatu. Sepertinya dia menikmati sekali. Aku membiarkan tanteku itu belanja sendiri. Tak mengapa, dia perlu suasana seperti ini. Sementara di depanku, Abram masih terlihat berjalan pelan di luar pagar plastik seputaran area kereta-keretaan. Aku hanya mengawasinya tak jauh dari tempatnya berjalan.
Aku menikmati keramaian ini. Hawa sejuk dari pendingin mal, bau harum jajanan di kedai sebelah sana, dan orang-orang berlalu-lalang di depanku sambil menggendong anak masing-masing. Anganku sesaat melayang. Aku membayangkan jika itu keluargaku kelak. Punya rumah masing-masing, hidup sederhana, ah … sepertinya bahagia sekali. Aku masih melihat-lihat pemandangan manis di hadapan. Dan, tak terasa Abram sudah lepas dari pandanganku. Sial! Aku kehilangan jejaknya. Ke mana perginya adik sepupuku itu?
Aduh, Abram … kamu ke mana sih? Gawat nih kalo sampai Tante Nikol tahu anaknya lepas.
Aku lalu menyusuri area kereta-keretaan. Sebenarnya tempat itu tidak terlalu luas, tetapi Abram tidak ada lagi di sana! Ya Tuhan, aku sangat panik saat itu. Beberapa saat aku berputar-putar di sepanjang atrium mal. Abram tak juga terlihat batang hidungnya. Di tengah-tengah rasa panik, Tante Nikol sudah berada di sampingku.
“Yuk, Nad, kita jalan lagi. Lho, Abram mana?”
Jantungku rasanya mau berhenti berdetak. “Ee … Abram hilang, Tante …,” jawabku lirih.
“Hah, hilang gimana? Kan, tadi sama kamu? Aduh, gimana sih, Nad?!”
“Maaf, Tante, iya ini Nadine mau cari Abram,” sahutku ketakutan.
“Ah, ya, kita sama-sama nyarinya. Lapor ke satpam di ujung sana tuh!” sahut Tante Nikol cepat. Baru saja kami hendak berlari menuju meja satpam di ujung lorong, terdengar pemberitahuan melalui pengeras suara dari bagian informasi mal.
“Panggilan kepada Ibu Nikol, ditunggu putranya yang bernama Abram di bagian informasi. Sekali lagi, panggilan kepada Ibu Nikol, ditunggu putranya yang memakai kaus merah bergambar ikan paus di bagian informasi. Terima kasih.”
Seketika kami berdua terdiam, saling memandang. Aku masih belum percaya hingga pihak informasi mal memberitahukan untuk ketiga kalinya.
“Ayo cepetan, Nad, kita ke bagian informasi di lantai tiga!” teriak Tante Nikol, setengah berlari sambil menggamit lenganku.
Ya Tuhan, Abraaam! Semoga anak itu nggak kenapa-kenapa. Aku terus menerus berdoa dalam hati.
Aku dan Tante Nikol hampir sampai di bagian informasi. Sudah terlihat bayangan Abram tengah digendong seorang satpam wanita.
“Itu Abram! Abraaam!” teriak Tante Nikol. Beberapa orang di sekitar sontak melihat ke arah kami. Ya Tuhan, wajahku rasanya panas. Mungkin jika memandang cermin sudah mirip udang rebus warnanya.
“Halo, Mamaaa … aku diculik!” teriak Abram tak kalah heboh dari jauh. Terlihat tangan Abram melambai-lambai sambil terus-menerus mengatakan bahwa dia diculik. Astaga!
“Tante … Abram kok bilang gitu?” kataku sambil menahan tawa demi mendengar ocehan Abram.
“Dasar Abram! Anak siapa sih itu?! Hahaha,” ujar Tante Nikol tak mampu menahan tawa.
Menurut satpam wanita yang menggendong Abram, rupanya dia berjalan menjauh dari area kereta-keretaan dan mendekat pada patung beruang di dekat lorong. Untung saja ada satpam yang sigap membawa bocah dua tahun itu ke bagian informasi. Aku tidak bisa membayangkan jika tidak.
***
“Sayang, nanti kalo kita sudah menikah, jangan serumah dengan orangtua, ya. Ngontrak dulu nggak pa-pa deh. Asal nggak serumah. Aku takut nggak fokus sama keluarga kalo tinggal bareng-bareng.”
“Kok gitu? Emang bakal nggak fokus gitu, ya, kalo tinggal serumah mertua?” tanya pacarku.
“Iya, nanti kayak Tante Nikol yang pernah kehilangan anak di mal.”
“Oh, ya? Gimana ceritanya?”
Aku kemudian menceritakan bagaimana kejadian Abram seminggu yang lalu. Pacarku lalu tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Ah, itu sih kamunya yang eror! Jadi Abram hilang gegara kamu tinggal melamun. Hahaha.”
“Ya, kan, gara-gara nggak fokus, Sayang!” teriakku kesal.
Huft!(*)
Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata