Gadis Kesayangan Emak

Gadis Kesayangan Emak

Gadis Kesayangan Emak
Oleh : Fitri Hana

Aku menghitung sudah lima kali ia datang ke sini menyatakan maksudnya. Tiap kali ia datang, aku selalu menangkap rona yang sama. Dalam raut bersahaja itu aku merekam harapan, semangat, dan kepastian. Bagaimana bisa seorang yang tiap kali ia datang selalu pulang dengan ketidakpastian bisa datang kembali dengan harapan yang sama? Namun, begitulah ia.

Ketika kali keenam ia duduk di kursi yang sama, dengan cara yang sama, dengan sisiran yang sama, dan laku yang sama, aku masih juga menangkap harapan yang sama.

“Jadi, gimana, Dek?”

Pertanyaan yang sama masih saja ia ulang di hadirnya yang kesekian ini.

Andaikan ia mengerti kegelisahanku, sudahlah pasti aku akan mengiakan tanpa menunggu hal lain lagi.

“Aku akan kembali,” pamitnya dengan senyum yang sama seperti hadirnya kelima, keempat, bahkan dengan hadirnya pertama kali ke rumah ini.

Apa mungkin ia menangkap harapanku hingga ia tak lelah datang ke sini?

Lelaki itu masih memiliki ibu. Sama denganku yang masih punya Emak. Masing-masing kami tak bisa meninggalkan salah satu dari mereka. Pun andai bersama, bagaimana pula mengajak dua ratu tinggal dalam satu atap?

“Kita akan merawat Emak bersama, Dek. Tiap pagi tengoklah Emak. Sore hari selepas bekerja aku juga akan menengok Emak,” ucapnya menawarkan solusi.

“Apa yang akan dirasakan Ibu saat menantunya selalu kembali ke rumah emaknya setiap pagi, Mas?” tanyaku yang membuatnya diam.

Belum ia utarakan jawabannya, bahkan di kedatangannya yang keenam.

Lelaki yang masa sekolah memboncengkan ibunya dengan sepeda setiap pagi. Mengayuhnya melewati jalanan sekolah, mengantarkannya ke pasar untuk berjualan. Setelah sampai di pasar, ia akan memutar, kembali mengayuh sepedanya ke sekolah. Lelaki itulah yang menjadi harapan seluruh kekhawatiranku di masa depan.

Aku begitu mencintai Emak. Perempuan renta yang kini tak lagi sempurna daya ingatnya itu telah dilupakan kedua kakakku. Bagaimana pula aku akan tega membiarkannya seorang diri, sedang untuk buang hajat saja ia sudah tak lagi tahu tempat?

“Di mana si Sum itu? Dia sudah tega membuang emaknya!” Emak berbaring sambil berteriak dari atas dipan beralas kasur tipis dengan seprai kumal. “Apa dia mau melihat emaknya dimakan rayap?” Emak meracau.

Potongan mimpi itu selalu singgah malam hari usai Mas Eko datang menyampaikan niatnya lagi. Mimpi yang sama selama enam kali.

Aku bangkit dari dipan, mengabaikan keringat yang menetes membasahi pelipis, menyibak gorden pintu pemisah kamarku dengan kamar Emak. Kulihat Emak berbaring dengan dengkuran halus. Kuusap punggung tangan Emak yang sudah keriput.

“Sum ndak ke mana-mana, Mak. Sum di sini, bersama Emak.”

Kilasan kejadian masa kecil hadir kembali di pelupuk mata. Tak bisa kulupakan bagaimana Emak dipukuli Bapak.

Aku masih SD saat itu. Masih terlalu penakut untuk berdiri di depan Emak. Aku dan kedua kakakku sembunyi di kamar, mengintip dari balik gorden pintu, bagaimana dinginnya tangan Bapak menyiksa perempuan kesayanganku.

Emak tidak berteriak, tidak meronta, apalagi melawan. Pukulan juga tendangan itu membuat Emak meringis, menahan sakit. Wajah Emak sudah penuh peluh dan air mata. Rambutnya acak-acakan sisa dijambak Bapak. Entah kenapa Bapak tidak pernah melukai wajah Emak. Selalu rambut yang paling dulu ia jambak, lalu punggung, juga kaki dan tangan.

Kaki besar Bapak berulang kali menendang punggung Emak yang sudah meringkuk di pojok kamar. Tangan Emak memegang perut. Tangan satunya menumpu, berpegang pada dinding.

Saat itu aku merapal doa agar Bapak segera pergi jauh, kalau bisa tak usah pulang lagi ke rumah. Aku sudah tak sanggup melihat Emak menangis menahan sakit disiksa Bapak sedemikian rupa. Mulai saat itu pula aku mengikrarkan janji takkan meninggalkan Emak apa pun yang terjadi.

Kalau sudah mengamuk seperti itu, Bapak baru berhenti saat sudah menemukan uang. Entah itu di antara tumpukan jarik Emak atau di bawah kasur. Setelah itu, Bapak akan pergi.

Kepergian Bapak memberikanku ruang gerak. Kakak-kakakku akan menuntun Emak berbaring di dipan lalu aku bertugas mengambil air hangat dari termos untuk mengompres luka-luka yang memenuhi lengan, perut, dada, punggung, juga kaki Emak. Tidak lupa meneteskan obat merah ke luka-luka terbuka.

Saat itulah kakak-kakakku akan keluar kamar. Mereka akan menangis sambil berpelukan di kamar.

“Apa ini ndak sakit, Mak?”

Emak meringis saat kainku menekan lukanya terlalu keras.

“Bagaimanapun Bapak itu bapakmu, Emak mencintainya. Ini ujian buat Emak. Emak yakin, suatu saat bapakmu pasti balik kayak dulu lagi, sayang ke kita semua. Bapak hanya sedang marah saja.”

Aku masih terlalu kecil untuk memahami ucapan Emak saat itu. Yang kutahu sederhana saja, memukul berarti marah. Bapak sedang marah.

Dewasa ini baru keluarlah pertanyaan kenapa Emak tidak pergi saja meninggalkan Bapak yang sering melukainya?

Kurasa kini Tuhan sedang menguji janjiku. Akankah aku tetap bersama Emak atau memilih menerima Mas Eko dan melupakan Emak?

Ibu Mas Eko sama sepuhnya dengan Emak. Bedanya, ibu Mas Eko masih sehat dan tidak pikun.

***

“Tidak bisa ditunda lagi ini, Dek. Ibu sudah mendesakku untuk melamarmu. Rabu ini, tiga hari lagi, hari yang dipilih Ibu. Tolong bersiaplah.” Mas Eko langsung mengutarakan tujuannya begitu gerakan tanganku yang menyapu halaman terhenti. Ia terlihat tidak tenang. Sebentar-sebentar ia melihat ke arah jalan, seolah takut-takut kalau ada orang datang.

“Dek, kalau kamu belum siap, Ibu menyuruhku mencari wanita lain.” Mas Eko melanjutkan. Pandangannya ke tanah, nada suaranya pun direndahkan.

Sapu yang awalnya kupegang jatuh ke tanah. Aku terkejut dengan keputusan Ibu. Kupegang dadaku sambil menarik napas perlahan. Aku tahu keinginan Ibu begitu besar untuk segera punya menantu, tapi dengan ancaman Ibu tadi, kurasa ini titik kesabaran Ibu untuk menungguku.

“Baiklah, Mas. Datanglah,” jawabku pasrah, saat Mas Eko meminta jawaban karena harus buru-buru pulang. Bahkan, ia menolak kuajak masuk untuk sekadar bersalaman dengan Emak, tidak seperti biasanya.

***

Aku baru selesai memandikan Emak saat Ibu dan Mas Eko datang. Mas Eko membawa setangkep pisang raja yang diletakkan di atas nampan bundar juga kotak tertutup mika bening yang kelihatannya berisi lipatan jarik sidomukti juga kain berwarna putih, sepertinya kebaya.

Diletakkannya di atas meja. Lalu mereka duduk di kursi bambu. Ada dua deret kursi bambu di rumahku, ditata menyerupai huruf L. Mereka duduk di kursi yang lebih panjang, menimbulkan deritan bambu yang saling bergesekan karena ditimpa beban. Aku pun duduk di deret kursi yang lain.

“Aku melamarmu untuk anakku, Eko, Sum.” Ibu mengeluarkan kotak kecil beludru berwarna merah dari buntalan ujung selendang jariknya.

Ia membuka tutup kacanya, memperlihatkan cincin polos tanpa motif dan tanpa mata. Diserahkannya kepadaku.

“Pakailah jika kamu sudah siap, Sum,” sambungnya.

Ada getar hangat menelusup dalam dada. Getar hangat itu mengalir ke tanganku. Tanganku ikut bergetar pula saat hendak meraih kotak beludru merah.

“Ambillah! Pikirkanlah matang-matang. Ibu harap kamu segera memakainya,” ucap Ibu dengan senyum dari wajah teduhnya.

Aku meraihnya. Kutatap lekat cincin yang tertanam di dalam kotak. Setetes air mata mengenai jariku.

“Bulan depan kita gelar akad nikahnya. Tentu saja kalau kamu sudah setuju, Sum. Tidak perlu ramai-ramai, asal kalian segera sah saja Ibu rasa itu sudah cukup buat Ibu,” sambung Ibu.

Jantungku berdetak kencang. Apa harus secepat ini?

“Jangan bilang kamu sedih, Sum.” Suara Mas Eko mengagetkanku.

Kuarahkan pandanganku kepadanya. Melihat dua ujung bibirnya yang tertarik ke atas, membuatku melakukan hal yang sama.

Aku sungguh bahagia, Mas! Aku memekik dalam hati.

“Tamu dari mana ini, Sum?” Emak tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar, yang memang tersekat kain gorden saja pintunya dengan ruang tamu. Emak menatap kami bertiga dengan tatapan menyelidik.

“Walah, Bu. Ini aku, Sisri, ingat nggak?” Ibu yang menjawab.

Emak mengamati Ibu, pandangannya menyisir dari kepala hingga kaki.

Mas Eko bergegas menghampiri Emak, lalu menuntunnya duduk ke sebelahku.
Ada getar dalam dadaku yang kembali menghangat. Bunga-bunganya lalu merekah bersamaan saat melihat Mas Eko begitu peduli dengan Emak.

Melihat tatapan Emak ke oleh-oleh yang ada di atas meja, Ibu menjelaskan, “Ini, Bu. Aku berniat melamar putrimu, si Sum, untuk anakku ini. Eko.”

Mendengar penjelasan Ibu, Emak memelotot kepadaku, lalu kepada Ibu, lalu Mas Eko.

“Sum ini masih sekolah kok sudah diajak menikah? Gak boleh, gak boleh!” ucap Emak sedikit berteriak, sambil mendekap tanganku.

Digenggamnya tanganku erat-erat. Genggaman Emak semakin erat. Lenganku kini sudah dipeluknya. Badanku ikut tertarik. Emak memepet tubuhku. Membuat badanku terdesak separuh ke belakang. Aku bagai barang berharga yang akan dirampas. Emak berubah menjadi tameng di depan tubuhku.

“Memang bukan perkara mudah mengurus ibu yang kembali bayi lagi, Sum.” Ibu menjeda ucapannya lalu mengalihkan pandangan ke Mas Eko yang duduk di sampingnya. “Eko ini hanya punya Ibu saja. Ibu juga tidak mau setelah menikah nanti dia pergi meninggalkan Ibu. Ibu maunya kamu sama Eko tinggal bareng Ibu. Tapi melihat emakmu seperti ini … kok sepertinya tidak mungkin kamu pergi darinya.”

Aku menghela napas panjang setelah melepas kepulangan Mas Eko dan Ibu sampai ke halaman depan.

Kupandangi pisang di atas meja, kebaya dalam kotak, juga cincin yang masih kugenggam.

Kalimat terakhir sebelum Ibu pulang terus terngiang dalam kepalaku.

“Emakmu dimakan rayap nanti, Sri. Tergeletak di dipan sendirian.” Emak meracau lagi, menyebut nama adiknya yang sudah tiada.

“Emakmu dimakan rayap, Sri!” teriak Emak.

Kalimat Ibu bergema di kepalaku, “Ibu cuma punya Eko saja … Eko saja ….”

“Emakmu dimakan rayap, Sri!” Emak berteriak lagi.

Kukembalikan cincin pada tempatnya.

Suara Ibu dan racauan Emak terus bergema semakin keras.

“Eko harusnya memikirkan ini jauh-jauh hari.”

“Rayap, Sri!”

Kupegang kepalaku. Kupukul-pukul pelan berharap gema itu menghilang.

“… punya Ibu saja ….”

“… rayap, Sri … rayap ….”

“… punya Ibu saja ….”

“… dimakan rayap, Sri!”

Kulempar cincin beserta kotaknya hingga membentur tembok. Penutupnya pecah, menyisakan puing-puing kaca yang berserakan di lantai tanah. Cincinnya menggelinding sebentar, lalu berhenti di depan kakiku. Gema itu akhirnya menghilang.(*)

 

Fitri Hana.
Akun media sosial:
Instagram : @handwoven_bookstore
Facebook : Fitri Hana

Editor :  Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply