Udara masih terasa dingin. Waktu masih menunjukan pukul 04.25. Wiwin yang sejak semalam insomnianya kambuh, belum juga bisa memejamkan mata. Segera saja membuka warung kecilnya. Baru saja ia langkahkan kaki, ada seorang nenek yang jalannya agak susah, karena asam urat yang dideritanya.
“Nak, tolong. Belilah dua kilo gula ini. Saya lagi butuh duit untuk membayar sekolah cucu saya.” Suara memelas nenek sontak membuat hati Wiwin tersentuh.
“Sebentar, ya, Nek.” Dia mempersilakan nenek tersebut duduk di kursi dekat warungnya. “Ini, Nek, duitnya.” Wiwin pun menyerahkan sejumlah duit yang diminta nenek tersebut.
“Terima kasih, ya, Nak,” ucap nenek tersebut berlalu pergi.
Wiwin segera menyembunyikan dua bungkus gula tersebut, karena takut ketahuan ibu mertuanya. Bukan masalah apa, karena Wiwin tahu gula tersebut tidak genap timbangannya. Dari luar bungkusannya sudah tampak, bungkusan gula tersebut sudah kelong.¹
Dua hari sebelumnya, nenek tersebut juga menjual dua bungkus gula padanya, dengan kondisi gula yang serupa. Apalah daya, dia tidak tega, meski sebenarnya keberadaan nenek tersebut secara ekonomi maupun sosial jauh di atas keluarga Wiwin. Jangankan gaji tetap setiap bulan, bisa makan setiap hari saja sudah syukur bagi keluarga Wiwin.
***
Seminggu berlalu. Pagi yang cerah. Nenek penjual dua bungkus gula itu datang lagi ke rumah Wiwin.
“Nak, bantulah saya. Cucu saya mau berkemah, dia tidak mau pergi karena rukuhnya jelek,” ucap nenek tersebut pada Wiwin. Jujur, hati Wiwin binggung harus bagaimana? Dia baru sembilan bulan ikut suami yang masih serumah dengan ibu mertuanya. Dia hanya punya dua rukuh saja. Itu pun untuk gantian.
“Nak, rukuh kamu, kan indah-indah. Tolonglah kasih cucu saya satu saja.” Wiwin semakin bingung. Rukuh yang ia pakai selama ini adalah rukuh pemberian suaminya. Rukuh yang satunya adalah rukuh penuh kenangan. Andai saja, nenek ini bilang pinjam, pasti saya berikan, batin Wiwin.
Sebenarnya yang sangat membuat Wiwin bingung, bukan masalah rukuhnya. Tapi karena ibu mertuanya, yang sebenarnya juga sangat menginginkan rukuh Wiwin yang berbodir kembang-kembang kuning. Wiwin belum memberikan pada ibu mertuanya, dikarenakan rukuh ibu mertuanya ada 3, dan yang 1 masih baru, yang Wiwin belikan di lebaran beberapa bulan lalu. Jika rukuh ini saya berikan pada cucu nenek ini, bagaimana perasaan ibu mertuaku?
“Maaf, Nek. Rukuh saya cuma dua, kalau cuma dipinjam selama berkemah Wulan saja, boleh, gimana?” Nenek itu hanya terdiam. “Maaf, ya, Nek. Bukannya bermaksud menyinggung. Hm gaji Mas Anu ditambah pensiunan Jenengan² jika untuk beli rukuh seharga 50.000 rupiah saja, insyaAllah masih bersisa banyak,” terang Wiwin yang sebenarnya sungguh tidak enak, tapi terpaksa harus ia utarakan.
Nenek tersebut masih terdiam. Wiwin menyuguhkan segelas teh hangat padanya. Dilihat Wiwin Ibu Mertua yang sedari tadi memperhatikannya, sambil duduk manja di depan TV.
“Maaf, Nek. Kalau dipinjam boleh, tapi jangan diminta,” ucap Wiwin.
“Tidak, Nak,” jawab nenek tersebut.
“Kalau jilbab, saya ada beberapa, Nek. Boleh diminta, kalau yang itu,” jelas Wiwin lagi.
Setelah berbincang lama, Nenek tersebut tetap saja tidak mau. Akhirnya, Nenek tersebut diantarkan Wiwin ke rumah seorang kaya yang baik hati. Wiwin tahu benar, beliau memiliki banyak rukuh, dan beliau orang yang sangat dermawan.
***
Setahun berlalu. Wiwin pun ingin pergi jauh untuk mencari rezeki halal. Sebelum itu, rukuh berbodir kembang kuning Wiwin berikan pada ibu mertuanya. Beliau sangat bahagia menerimanya. Sedikit membayangkan, apa jadinya perasaan beliau jika rukuh berbordir kembang-kembang kuning jadi diberikannya pada orang lain waktu itu.
Dengan penuh kegalauan, keraguan, dia langkahkan kaki demi memenuhi kewajibannya. Sungguh berat rasanya, meninggalkan mereka yang selama ini begitu setia menemani hidupnya, baik dalam suka maupun duka.
***
Taoyuan City, Taiwan.
Musim ke musim datang silih berganti. Hari demi hari telah dilalui, meski harapan yang belum pasti. Tidak ada kendala dalam masalah pekerjaan, atau beradaptasi di lingkungan yang Wiwin tempati, karena ini bukan untuk kali pertama atau kali keduanya bagi Wiwin melakoni pekerjaan yang sama, di Negeri Formosa. Bukan itu saja. Wiwin sudah mengenal baik dengan majikannya, jauh sebelum ia datang.
Tiada terasa waktu terus bergulir. Satu tahun delapan bulan sudah Wiwin menjalaninya. Apa yang selalu dikhawatirkannya sebelum dirinya terbang ke Taiwan, terjadi juga pada awal kedatangannya di tempat itu. Jatuh dan bangun. Bersesak napas ria, bermimisan ria, berpusing kepala ria, sudah Wiwin lakoni. Tanpa dugaan Wiwin, gejala-gejala dan sensasi-sensasi yang terjadi dalam tubuhnya selama sembilan tahun terakhir ini akhirnya telah mencapai puncaknya. Dan itu pun terjadi bukan pada saat ada orang yang dicintainya berada di sampingnya.
Berpuluh, mungkin beratus-ratus sudah, pil atau kapsul yang telah masuk ke dalam tubuhnya. Dia merasa capek dan bosan dengan semuanya. Hanya bermodal tekad, dan kemauan yang kuat untuk terlepas dari butiran-butiran pahit itu. Beruntung sekali Wiwin mendapatkan majikan yang baik. Di saat kondisinya yang sudah sedemikian rupa, mereka masih saja mempertahankan keberadaan dirinya.
Entah, apa yang terjadi pada diri Wiwin. Dalam keadaannya bukan malah terbebani akan keadaan dirinya sendiri, dia justru mengkhawatirkan kesehatan anaknya, kesehatan suaminya, dan kesehatan keluarga yang lain yang berada di Indonesia. Naluri, ya, mungkin itu sebuah naluri yang susah dijelaskan dengan kata-kata.
Jika penat melanda, hanya tumpukan buku diary-nya yang biasa ia gunakan sebagai tempat sekadar meluahkan perasaan. Tidak jarang juga, berkumpul bersama teman-teman seprofesinya, yang tempatnya tidak jauh dari rumah yang ia tempati. Setidaknya bisa menghilangkan kejemuan. Ayamo, Dinda, Arumi, Wulan, Desti, dan Mas’ah, adalah beberapa nama teman Wiwin.
Belum lama ini, Wiwin mendapatkan teman baru lagi. Tempatnya hanya berjarak seratus meter dari tempatnya bekerja. Dia bernama Delayla. Cantik, berkulit putih, berhidung mancung, dan berpostur tinggi. Melihatnya sekilas, siapa sangka ia adalah seorang ibu beranak tiga. Sudah tiga mingguan Wiwin berteman dengannya.
Hampir setiap hari Delayla mendatangi tempat Wiwin. Delayla orang yang sangat terbuka kepada Wiwin. Hampir semua masalah yang dihadapinya diceritakan padanya. Termasuk tentang suaminya yang menikah lagi dengan perempuan lain. Dan sekarang ia sedang dilanda masalah besar, karena harus banting tulang demi putra pertamanya yang sedang menempuh cita-citanya. Dan semua itu, butuh biaya yang sangat besar. Dia merasa sendirian.
Apa yang dialami Delayla saat ini, sama persis yang dialami keluarganya, yang waktu itu bahu membahu membantu saudara lelaki satu-satunya dalam meraih cita dan impian mulianya. Dukungan secara lahir dan batin sangat dibutuhkan. Jatuh bangun yang dialami Delayla sudah dilalui Wiwin, kakaknya, dan kedua orangtuanya beberapa tahun lampau. Sungguh tidak mudah. Karena alasan inilah Delayla merasa nyaman jika bercerita pada Wiwin.
“Win, please. Rukuh merah kamu itu kasih ke saya saja,” rengek Delayla. Wiwin tersenyum. Ini sudah ketiga kalinya, Delayla merengek manja pada Wiwin karena rukuh merahnya. Beberapa hari ini Wiwin sudah berpikir ulang, diserahkan atau tidak rukuh merahnya. Sementara ia sudah menyarankan Delayla agar membeli online saja, tapi tetap saja tidak mau.
“Apa sih, yang menarik dari rukuh merah saya, Mbak?” tanya Wiwin.
“Entahlah, yang saya tahu, saya sangat suka sekali,” jawab Delayla seperti anak kecil.
Akhirnya Wiwin mengikhlaskan rukuh merahnya untuk Delayla. Rukuh itu adalah rukuh yang dijahit oleh teman Wiwin. Sementara kainnya adalah kain pemberian pacarnya saat masih bekerja di Malaysia dulu. Dan orang tersebut yang menjadi suami Wiwin sekarang. Itu sebabnya rukuh itu menjadi spesial di hati Wiwin. Alasan mengapa ia memberikan rukuh tersebut adalah, karena Wiwin tidak mau kejadian dulu terulang lagi, di mana ia tidak bisa memberikan rukuh kesukaannya pada nenek penjual gula. Sejak kejadian itu, terasa ada yang kurang dalam hidup Wiwin. Menyesal lebih tepatnya. Bahwasannya mengikhlaskan sesuatu yang sangat dicintai dalam hidup adalah sesuatu yang sangat sulit. Tapi itulah tantangan, sekaligus ujian dalam hidup, jika bisa melaluinya terasa ada kepuasan tersendiri. Dan Wiwin yakin, suaminya akan memahaminya.
“Hehe … sebagai gantinya, aku pesan rukuh lewat online buat menggantikan rukuh merah kamu, ya! Alamatnya ditujukan di rumah ini saja.” Wiwin hanya bisa tersenyum melihat tingkah Delayla. Sementara, saat Wiwin menyuruhnya membeli rukuh secara online buat dirinya sendiri, dia justru tidak mau.
“Terus kipiye³ doa salatnya, Win?” tanya Delayla.
“Sabar dulu, ya. Tunggu pesanan buku tuntunan salat lengkapnya datang, biar lebih mudah belajarnya. Sementara ini, Mbak baca yang Mbak mampu saja,” terang Wiwin.
“Oh, ya sudah kalau gitu…,” jawab Delayla.
Delayla pulang sambil membawa rukuh merah. Wiwin hanya dapat membatin, karena akhir-akhir ini melihat Delayla yang sering melamun. Terkadang berbincang sendiri tidak jelas, dan terkadang jika diajak bicara sering tidak nyambung.
***
Hampir satu setengah bulan lebih Delayla tidak kelihatan. Wiwin sangat rindu sekali padanya. Sementara semua aplikasi yang berhubungan dengannya susah sekali untuk menghubungkan Wiwin dengan Delayla. Tiba-tiba saja tanpa disengaja, di sebuah taman kecil dekat telaga, Wiwin melihat sosok perempuan lain, yang sekarang merawat nenek yang dulu dirawat oleh Delayla. Dia bernama Lussy.
Ternyata Delayla telah pulang ke kampung halamannya tercinta sejak satu setengah bulan yang lalu. Wiwin mendengar kabar tentang alasan mengapa Delayla pulang, karena ingin cuti, tidak bisa menahan rindu pada anak-anaknya. Wiwin hanya menghela napas panjang. Sejujurnya terlepas dari benar atau tidaknya alasan Delayla pulang, di tengah kabar yang tengah terdengar, Wiwin memiliki dugaan alasan yang lain. Dan apa pun itu, semua itu adalah keputusan yang tepat dan terbaik untuk Delayla.
Ada rasa sedih, ada juga rasa bahagia di hati Wiwin. Rasa sedih itu, karena ia belum sempat memberikan salam perpisahan untuknya, dan belum sempat bertanya di mana alamat rumahnya. Setidaknya nomor telepon. Rasa bahagianya, dia memiliki teman baru lagi, yaitu Lussy.
Bunga-bunga sakura sangat indah bermekaran di sepanjang pinggir telaga. Udara begitu terasa bersahabat. Sedikit diiringi sepoi angin yang sesekali hadir menyapa Wiwin bersama teman-temannya yang sedang menikmati enaknya cen cu nai cha.⁴
Mbak Del. Tahu tidak? Hari ini saya sangat merindukanmu. Ada sesuatu yang lucu yang ingin kusampaikan padamu. Rukuh yang kamu pesan untuk saya itu unik sekali. Jika saya pakai saat berdiri, kelihatanlah ujung jari-jari kaki saya. Jika saya buat ruku, ujung bawahnya bisa naik sampai ke betis bawah. Dan yang lebih lucu, Mbak. Raut wajah saya tidak dapat lolos masuk di lubang kepala rukuh itu. He he… saya sangat menyukainya. Hingga pada saat rukuh itu diminta Mas’ah pun tidak saya berikan, tulis Wiwin di buku diary birunya.(*)
- Berkurang.
- Panggilan untuk orang tua atau orang yang dihormati.
- Bagaimana.
- Teh susu yang dicampur bola-bola kecil yang terbuat dari tepung ubi/buble milk tea.
Yoan Chandra, nama pena dari Mei Johantari. Hobi menulis, membaca, dan filateli. Saat masih bekerja di Negeri Formasa sangat aktif menulis cerpen dan telah banyak karyanya dimuat di majalah berbahasa Indonesia yang terbit di negara tersebut. Di antaranya, Indosuara, TIM Internasional, Holiday.
Facebook: Yoan Chandra
e-mail: manstrong7030@gmail.com
Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan