Sepasang Sweter Rajut

Sepasang Sweter Rajut

Sepasang Sweter Rajut

Oleh : Widi Lestari

 

Aku tidak menyangka akan merajut sepasang sweter dengan air mata berjatuhan. Berkali-kali cairan merah keluar dari jari akibat tertusuk jarum rajut. Alih-alih berhenti merajut sweter hangat dari benang wol, aku justru merelakan begadang agar sepasang sweter tersebut cepat selesai, tentu dengan hati seakan-akan ditikam pisau tajam.

 

***

 

Saat itu kami duduk di teras rumah, menatap bunga aster yang baru mekar di pot. Aku ingat bunga itu pemberian temanku, laki-laki beralis tebal dan mengenakan kemeja berkerah dilapisi sweter hitam. Rambut lurusnya dipotong cepak. Dia sering tersenyum lebar saat berbicara sambil memamerkan gigi-gigi putihnya.

 

Pertama kali aku mengenalnya sebagai pelanggan tetap toko kue Ibu yang mulai sepi. Orang-orang beralih membeli kue di toko besar seberang jalan yang terkenal lebih enak dan modern. Dia satu-satunya pelanggan yang setia membeli kue di toko kecil Ibu. Pernah beberapa kali dia membawa teman-teman kuliahnya datang memborong habis dagangan Ibu. Sejak itu kami sering mengobrol, mulai dari hal-hal sepele sampai bercerita kehidupan masing-masing.

 

Memang benar, tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan yang murni. Kali ini terjadi pada hatiku yang berbelok terlampau jauh di bulan kesepuluh berteman dekat. Mungkin kasus ini tidak hanya terjadi kepadaku. Banyak orang berkedok teman, lalu salah satu atau keduanya memendam perasaan.

 

“Kita tebak, siapa yang akan menikah dulu?” tanyanya kala itu, masih disertai tawa. Seakan-akan menyiratkan ia hanya bercanda.

 

“Aku, kamu laki-laki harus mengalah.”

 

Dia mengacak-acak poniku. “Tidak bisa begitu, gimana kalau aku menemukan calon istri lebih dulu.”

 

Aku mengedikkan bahu.

 

“Kado apa yang akan kamu berikan?”

 

Angin berembus pelan, membuat dedaunan di halaman rumah bergerak-gerak. Ada pohon mangga, jambu air, dan tiga pohon pisang, aku menghirup napas dalam-dalam. Tidak mengerti, kenapa topik tidak penting harus dibicarakan sore hari. Bukannya lebih baik jalan-jalan ke pantai sekitar tiga kilometer dari rumahku untuk menanti senja?

 

“Apa kau akan memberi banyak kue untuk pestaku? Tak apa, dengan senang hati aku menerimanya.”

Lagi-lagi dia tersenyum.

 

Aku terdiam sebentar. Mungkin tidak ada salahnya memikirkan kado apa yang pantas untuk teman sebaik dia. Saat itu aku masih meraba-raba perasaan sebenarnya, berusaha meyakinkan diri bahwa tidak ada perasaan lebih dari teman.

 

“Tidak, mungkin aku akan memberikan hadiah istimewa supaya kamu ingat setiap saat.”

 

Dahinya sedikit mengernyit, lalu menatapku lebih intens. “Jangan membuat penasaran.”

 

Aku tertawa. “Bisa saja aku lebih dulu menikah. Apa kado yang akan kau berikan?”

 

Sinar keemasan terlihat menyentuh wajahnya. Entah sejak kapan aku mengagumi lekukan sempurna itu, mulai dari hidung mancung yang tidak pernah tahan mengendus aroma kue-kue buatan Ibu, mata lebar yang sering kali pura-pura memelolot tiap aku menjahilinya, dan juga bibir penuhnya.

 

“Kalau liontin bagaimana? Ya, supaya kamu pakai ke mana-mana.”

 

Aku mengangguk-angguk.

 

“Giliran kamu,” desaknya.

 

“Aku akan membuat sweter rajut untuk kamu dan istri.”

 

Saat itu aku tidak serius. Belum tentu dia akan menikah dalam waktu dekat. Lagi pula ia masih harus memikirkan skripsi, lalu mencari pekerjaan layak. Ada prioritas penting daripada memutuskan akan melamar anak orang tanpa bekal apa-apa.

 

Hari-hari selanjutnya kami makin dekat. Sering kali menghabiskan hari Minggu di toko kue bersama-sama. Dia akan membawa teman-temannya melariskan dagangan ibu. Sebagian temannya mendesak agar kami berpacaran, sebagian lagi memperingatkan agar aku tidak percaya mulut manis yang biasa mengobral rayuan kepada banyak perempuan.

 

“Kami murni berteman.”

 

“Halah, nanti juga salah satu suka,” ujar perempuan berambut ikal. 

 

“Serius,” balasnya lagi.

 

Tepat di bulan Desember, cuaca sudah tidak bersahabat. Gerimis sering muncul sehingga orang wajib membawa payung sebelum bepergian, kecuali dia mau basah kuyup terjebak gerimis atau hujan besar tanpa persiapan apa-apa.

 

Sore itu merupakan Minggu terakhir di bulan Desember. Sebentar lagi pergantian tahun dan aku berharap temanku akan berkunjung sekadar mengobrol sambil menunggu pelanggan lain datang membeli kue. Berkat teman-temannya datang, Ibu sering mendapat pesanan kue-kue untuk arisan atau acara keluarga.

 

Aku menunggu di samping etalase, bergerak ke sisi kanan dan kiri dengan gelisah. Berkali-kali keluar mengintip ke ujung jalan. Aroma basah masih terasa sisa hujan barusan. Genangan air di beberapa jalan berlubang terlihat jelas. Namun, sepeda motor yang sudah kuhafal suaranya tidak kunjung datang.

 

“Mungkin dia tidak datang.”

 

“Dia pasti datang, Ibu. Ini hari Minggu.”

 

“Minggu kemarin dia tidak datang.”

 

Aku menatap ke arah Ibu yang sedang menata kue-kue. Aroma manis memenuhi ruangan. Biasanya hidungnya tidak kuat mengendus aroma kue buatan Ibu, lalu secepat mungkin mengambil kue-kue seraya menaruhnya ke atas nampan, dia bisa menghabiskan tiga kue sekaligus. Apalagi sekarang Ibu menemukan resep-resep baru yang lebih bervariasi.

 

“Minggu ini dia pasti datang.”

 

Aku masih percaya dia akan menjadi pelanggan toko kue Ibu. Tidak mungkin berpindah ke toko lain tanpa alasan jelas, lagi pula dia tidak pernah sakit perut atau mengalami hal fatal usai makan kue-kue Ibu.

 

Hujan mengguyur deras sehingga Ibu cepat-cepat menutup toko kue sebelum jalanan menggelap. Memasukkan kue-kue yang belum terjual ke keranjang untuk dibagikan ke tetangga.

 

“Nanti dia datang, ini hari Minggu.”

 

Ibu menggeleng, tangannya konsisten mengeluarkan kue dari etalase. “Biar dia datang ke rumah.”

 

Sebelum toko ditutup, dia benar-benar datang menerobos hujan. Laki-laki itu mengenakan jaket tebal hitam dengan menutup kepala, juga menggendong tas ransel besar warna hitam.

 

Hujan belum mereda sampai Ibu mengajaknya masuk ke toko dan membuatkan secangkir teh hangat untuk pelanggan setianya. Saat ini hatiku bergemuruh, ada luapan bahagia muncul melihat temanku datang. Sisa-sisa air hujan terlihat begitu menakjubkan di pipinya, menambah kesan tampan yang makin kukagumi.

 

“Melati, aku hanya ingin memberi ini.” Dia cepat-cepat menyodorkan undangan merah marun setelah merogoh tas ransel.

 

Seketika suasana hatiku segelap awan hitam. Tanganku sudah gemetar meraihnya. Lalu pura-pura tersenyum dan mengucapkan selamat. Kali ini, air mataku ingin meluncur sederas air hujan atau berlari di tengah-tengah hujan lebat sendirian. Aku akan kehilangan teman baikku.

 

Keesokan harinya, aku langsung belanja banyak sekali benang wol diameter 3 mm dan jarum rajut. Lalu berhari-hari sibuk merajut sampai tidak membantu Ibu di toko kue, padahal pesanan sedang membludak. Matahari berkali-kali bergeser, tetapi aku masih duduk di kursi rotan demi menyelesaikan sweter secepatnya. Berkali-kali jarum tumpul itu menusuk jari, terutama saat mata mengantuk, tak apa-apa. Itu sama sekali tidak sakit dibandingkan dengan tusukan di ulu hati.

 

Air mataku mengalir pelan melewati pipi, jatuh ke baju rajut yang akan menjadi hadiah spesial untuk temanku. Tidak peduli di luar hujan deras mengguyur, pun kilat menyambar-nyambar. Tanganku konsisten bergerak memegang jarum rajut demi memberi kehangatan untuk temanku. Berhari-hari sepasang sweter rajut baru selesai dan aku cepat-cepat membungkus dengan kertas kado warna merah marun.

 

“Kamu yakin akan datang?” Ibu menatap iba.

 

Aku mengangguk tanpa menoleh ke arah Ibu, mulai sibuk menggeledah lemari demi mencari baju terbaik untuk menghadiri acara pernikahan teman. Jelas aku tidak ingin tampil buruk di hari penting temanku.

 

“Lebih baik di rumah saja.”

 

“Tidak apa-apa, dia temanku, Bu.”

 

Satu per satu baju kuteliti, mencoba membayangkan saat membalut tubuh kurusku. Berkali-kali aku melempar dan mencari baju lain. Akhirnya jatuh pada gaun kuning gading sepanjang mata kaki.

 

Sebelum berangkat aku memoles bibir dengan gincu merah terang, menyapukan blush-on di pipi, mengulas eyeshadow cokelat di kelopak mata, tak lupa memakai eyeliner, juga membingkai mata dengan maskara. Terakhir menggambar alis agar melengkung sempurna.

 

Tanganku memeluk sekotak kado yang kubuat susah payah. Sekuat mungkin menahan air mata yang mendesak keluar. Aku harus bahagia melihat pernikahan temanku.

 

Setibanya di sana, aku berdiri jauh dari pelaminan, mengamati betapa cantik dan anggunnya mempelai perempuan dibalut gaun putih berpayet. Ada senyum kebahagiaan terpancar dari raut sepasang pengantin itu. Dia perempuan berambut ikal yang pernah dikenalkan sebagai teman saat berkunjung ke toko kue Ibu.

 

 

Kebumen, 03 April 2021

 

Widi Lestari, gadis kelahiran Kebumen yang sedang belajar menulis.

 

Editor: Erlyna

Sumber gambar: Pinterest.com

Leave a Reply