Teh Manis Panas dan Obrolan yang Juga Panas

Teh Manis Panas dan Obrolan yang Juga Panas

Teh Manis Panas dan Obrolan yang Juga Panas

Oleh : Dhilaziya

 

Aku menyamakan pesanan dengan perempuan yang duduk di sebelahku, yakni lontong sayur dengan dua sendok sambal ditambah teh manis panas, bukan sekadar hangat. Hari masih pagi, sisa hujan kemarin sore tidak hanya menyisakan genangan, tapi juga hawa dingin yang ramah mengendus pori-pori. Aku rasa teh manis panas yang diseruput sedikit demi sedikit akan sangat nikmat. Lagi pula bersama Isna, obrolan tidak akan pernah berlangsung sebentar, dan aku tak terlalu suka jika perbincangan kami berteman teh manis dingin-amis. 

“Jam segini malah nasabahku pada japri kalo libur cicilan. Asem emang! Belum jam tujuh, belum juga sarapan! Pait-pait-pait!”

Aku tergelak mendengar gerutuannya. Beberapa orang yang duduk di dekat kami menoleh, kemudian menoleh lagi setelah melihat siapa yang berbicara. Postur Isna yang tinggi ditambah wajah manis dengan hidung mancung, alis tebal, dan binar mata seperti kilau kelereng, ditambah nada ceria dalam suaranya, jelas bukan sesuatu yang mudah diabaikan.

“Lah, masih mending ngomong, daripada cuma tiba-tiba ngilang.”

Isna berdecap perlahan setelah menyendokkan teh manis ke mulutnya. Kami berdua sepakat, teh seduhan di sini enak. Aroma teh dan melatinya khas, harum tapi tidak terlampau tajam. Warung tempat kami sesekali bertemu untuk sarapan ini terbilang ramai, meski tidak berada di tepi jalan besar. Tempat bersih dan penjual yang ramah tapi tidak genit, membuat nyaman pelanggan. 

Isna bekerja di sebuah bank plecit berlabel Koperasi Simpan Pinjam, dengan sistem angsuran seminggu sekali. Dia melewati rute tempatku bekerja dua kali dalam sepekan, Senin dan Kamis. Awalnya kami bertemu saat sama-sama mencari sarapan. Basa-basi sesama pembeli berujung pertemanan yang lumayan rekat hingga sekarang. Isna sering sengaja mampir ke tempat ini untuk bisa mengobrol denganku, menemani sebelum jam kerjaku dimulai. 

“Sebenernya aku juga ngerti kondisi nasabah. Musim pandemi kayak gini, bisa makan saja sudah syukur. Cuma aku ini kan kuli, punya bos. Dan bosku cruewetnya minta ampun. Kupingku brebeg! Iya sih, ndak bakal aku dipecat, paling mentok dikasih SP. Mana berani mecat, kan nasabahku paling banyak.”

“Yooohh! Siapa ndak kenal Isna? Bakul duit pualing ayu!”

Lha ncen kowe tok, Mbak, kancaku yang ndak punya utang. Lainnya berasa ndak afdol kalo kenal aku tapi ndak minjem duit!”

“Aku tuh bukan karena ndak butuh duit, Mbak. Aku seneng-seneng aja kalau kamu kasih pinjeman, tapi aku ndak seneng waktu mbayar. Utang kudu dikembalikan, kan? Atau mau kamu yang mbayar utangku?”

“Itu namanya minta! Bukan ngutang!”

Tawa kami teredam suara decit rem motor yang berhenti mendadak. Ketika aku menoleh, seorang pria setengah baya dengan dua krombong di jok belakang yang berisi beberapa ekor ayam dan itik, melambaikan tangan, kepada Isna tentu saja. Dengan gaya kenes Isna balas melambai, sambil menyebut “warung soto”. Mereka akan bertemu di sana saat jam makan siang. 

“Barusan itu Pak Tulus, kan?”

Isna menjawab pertanyaanku dengan anggukan, mulutnya baru saja dipenuhi sesendok lontong berikut kuahnya, dan sekarang dia sedang menggigit kerupuk. 

“Lumayan, dia punya dua pinjeman di aku. Tau ndak, duitnya aku yang make!” 

Lha batinku juga heran. Setahuku dia kaya, ngapain punya pinjaman di tempatmu.”

Halah, yo modus, tho. Nyedhaki aku, tak modusi balik.”

Aku mengenal Pak Tulus sebagai juragan ayam kampung, bebek, dan itik. Dia juga melayani jasa potong ayam. Bahkan jika ada pelanggan yang meminta masakan matang juga akan dipenuhi, semisal rica-rica, opor, ayam kecap, dan bermacam menu lain. Istrinya mengelola toko kelontong yang cukup megah. Tokonya laris. Kedua anaknya sudah besar, satu masih SMU, yang besar kuliah di Akademi Kebidanan. 

Istri juragan ayam itu memiliki kekasih. Sebuah kabar yang sudah menjadi rahasia umum, dengan klimaks cerita Pak Tulus yang pernah memergoki tetangganya tengkurap di atas tubuh telanjang istrinya. Tetangganya yang merupakan seorang pria muda yang haus uang juga dekapan pengusir meriang itu paham benar jadwal wanitanya tanpa suami di rumah. Pak Tulus tahu, tapi berpura-pura tak tahu. 

Yo Pak Tulus ra wani muni-muni, wong deknen yo senengan ngunu kui.”

Karo awakmu pisan?

Mendadak pahaku panas seperti tersengat api, rupanya Isna mencubit sambil memelintir. 

“Aku cuma moroti duitnya, Mbak. Serius ndak sampai macem-macem. Ish! Dah tua, lho, dia, tuh!”

“Kok bisa? Apa cuma belum berhasil dia dapetin kamu?”

Aku hanya ingin memastikan harapanku. Sejujurnya aku tak rela jika dia melangkah sejauh itu. Perempuan di sebelahku ini sudah menceritakan padaku bagaimana perjalanan hidupnya. Menikah dengan pria tanpa pendapatan, tapi kasar. Tiga bulan lalu, mata kirinya lebam kena bogem. Isna menarik gugatan cerai setelah suaminya berlutut dan mertuanya meratap. Ingat anak, begitu kata mereka. 

“Aku jahat, Mbak.”

Ah, aku tak sepakat dengan penghakimannya atas dirinya sendiri. Umurnya sepantar denganku, baru saja melewati hitungan dua puluh lima. Isna menikah lima tahun lalu, dengan seseorang yang dia kira bisa menjadi pengganti sosok ayah. Perempuan yang tampak amat menikmati seruputan tehnya itu selalu berkata, tak ingin anaknya merasakan bagaimana hidup telah menderanya. Isna yang sebatang kara, dilempar pengasuhannya dari satu saudara ke kerabat lain, dicaci karena kesalahan yang tak pernah dia mengerti. Dia selalu merindukan orangtuanya yang pergi tanpa kabar hingga sekarang, setelah meninggalkannya di pintu rumah nenek satu-satunya. Di kedalaman matanya, aku selalu merasa tenggelam dalam telaga nelangsa. 

“Daripada anakku ndak makan, biarlah aku jalani, Mbak. Kaupikir, aku ndak jijik dengan kelakuanku sendiri? Aku tahu aku salah, aku berdosa. Tapi sementara, bisaku ya cuma ini. Bayaran kerjoku ndak cukup, lha kalau modal bibir manis bisa dapet tambahan, kenapa enggak? Bagiku yang terpenting adalah, kebutuhan tercukupi.” (*)

 

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply