Hmph, manusia? Makhluk yang menarik bukan?
Jenis-jenis manusia itu ada dua. Baik dan jahat. Menurut kalian, kalian berada di pihak mana? Apa alasan kalian memilih menjadi manusia yang baik? Apa alasan kalian memilih menjadi manusia yang jahat? Apa penilaian kalian benar? Yakin?
Tidak. Penilaian kalian tidak benar. Terlalu subjektif. Manusia selalu mengira bahwa merekalah yang paling benar. Hmph, menarik bukan? Apa? Ngaca? Hmph, aku? Aku bukan manusia. Diam saja kau. Aku sudah hidup lebih dari lima abad, kau tahu? Fisikku memang gadis kecil berumur 13 tahun. Tapi, jangan remehkan aku. Namaku? Hmph, kau tidak perlu tahu.
Aku berjalan menyusuri hutan yang terlihat mengerikan saat malam hari seperti sekarang. Sepi. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan langkah kakiku. Terkadang, aku mengetuk-ngetuk tongkatku—yang biasa kubawa setiap hari—ke tanah iseng.
Malam ini bintang bertebaran. Langit hitam gelap yang dihiasi bintik-bintik putih. Tampak kecil. Namun, sebenarnya tidak. Kitalah yang hanya seperti debu di galaksi ini. Aku berhenti berjalan. Sudah sampai. Ya, ini puncak bukit yang berada di dalam hutan. Aku kembali berjalan. Mendekati tepi bukit. Rumput lembut menyapu kakiku di setiap langkah. Udara sejuk menerpa tubuh kecilku.
Aku duduk di tepi bukit, menaruh tongkatku di sampingku. Aku menikmati pemandangan di bawah sana. Kota yang ramai. Tiba-tiba terdengar suara kembang api. Cahaya-cahaya cantik pun tampak di langit. Menghiasinya meskipun hanya beberapa detik saja. Kembang api yang lain menyusul. Suasana pun berubah ramai.
Ah, kembang api ya? Benar juga. Besok sudah hari raya lagi. Aku lupa nama hari rayanya. Jangan protes. Aku hanya mengingat-ingat hal yang penting bagiku. Lagi pula, semua hari-hariku terasa cepat. Itu wajar bagi kami yang sudah hidup selama beratus-ratus tahun.
Haih, buat apa sih sebenarnya menembakkan kembang api seperti itu? Buang-buang uang dasar. Hewan-hewan hutan kan bisa kaget mendengarnya tahu.
Yah … Meskipun begitu…
Meskipun aku mencibir manusia … aku akui aku iri dengan mereka. Mereka bisa berbuat sesuka hati terhadap non-manusia. Di saat makhluk seperti kami mengalah, mereka akan menindas. Di saat kami membalas, mereka akan menghukum kami. Tidak adil bukan? Bahkan aku mengalaminya.
Aku menggenggam rumput kesal. Beberapa ada yang tercabut dari tanah. Ugh, aku membenci manusia. Dulu. Masa laluku dipenuhi oleh manusia yang tidak punya hati. Dicaci maki, ditindas, dihajar, dan lain-lain. Hidupku diwarnai dengan hal-hal itu dulu.
Ah, rasanya berbeda sekali dengan diriku yang sekarang. Setiap hari pergi ke kota hanya untuk menolong manusia yang membutuhkan. Itulah diriku sekarang. Aku sudah melalui banyak hal. Banyak juga yang mampu membuatku menghapus semua dendamku terhadap manusia. Kembang api masih mewarnai langit. Waktu berlalu. Hari semakin malam. Semakin mendekati hari raya paling besar di kota.
Ah, persetan dengan itu. Kehidupanku akan tetap sama saja. Tidak akan ada yang berubah. Aku berdiri, ikut membawa tongkatku. Aku masih menatap keramaian kota di bawah. Jika aku bilang menatap, itu artinya tatapan tajam sehari-hariku. Ya, sejak dulu tatapanku sudah seperti ini. Jangan protes. Wajah dingin, tatapan tajam, dan kata-kata yang menyakiti hati. Kombinasi yang pas bukan?
Aku menghela napas lalu membalikkan badan. Kembali berjalan memasuki hutan gelap. Kini, suara kembang api yang menjadi latar belakang. Berisik. Aku berjalan, berjalan, dan berjalan. Terus hingga memasuki hutan dalam. Jika kau terus masuk ke hutan dalam dan gelap, kau akan menemukan rumah tua dengan lampu lentera tua yang terpasang di depan pintu. Ya, itu rumahku. Lebih tepatnya rumah seseorang yang sangat kusayangi dulu. Iya, manusia.
Bagaimanapun juga, manusia akan mati. Dan aku tidak.
Aku membuka pintu, memasuki rumahku. Setelah itu, aku menaruh tongkatku di samping pintu. Rumah itu tidak besar. Hanya terdiri dari satu kamar tidur, dapur dan ruang makan yang dijadikan satu ruangan, ruang duduk-duduk, dan gudang kecil. Sangat pas untuk orang yang hanya hidup sendiri sepertiku.
Rasanya … aku ingin menghabiskan hari raya besar kali ini dengan orang lain. Masalahnya, aku tidak punya orang lain. Bukankah orang baik akan mendapatkan hidup yang baik juga? Apakah menolong manusia setiap hari di kota tidak membuatku sebagai orang baik? Tidak, aku tidak menangis. Wajahku masih dingin seperti biasanya.
Yah, aku kenal beberapa orang di kota karena aku menolong mereka. Tapi, aku hanya setitik debu di lingkaran pertemanan mereka. Hanya menolong. Setelah itu dilupakan. Pekerjaan yang bagus bukan? Apalagi tatapan tajam dan wajah dingin selalu melekat di wajahku. Siapa yang ingin berteman dengan orang yang mempunyai aura gelap?
Jangan salahkan aku atas itu. Aku juga muak bergaul dengan orang lain. Masa laluku mengajariku hal itu. Jangan protes. Bagaimanapun juga, aku hanya akan dilupakan pada akhirnya.
Aku melepas sepatuku. Setelah itu, barulah aku berjalan memasuki kamarku. Tidak mewah tentu saja. Kasur tipis, meja kecil, dan barang-barangku. Kamar ini diterangi oleh dua lentera yang terpasang di pojok ruangan. Awalnya aku ingin mendudukkan diriku di atas kasur. Tapi pikiranku segera berubah.
Aku keluar lagi dari kamar lalu berjalan menuju ke dapur. Aku membuka kulkas kecilku. Mengambil makanan kesukaanku saat malam-malam begini. Paprika. Aku mengambil satu paprika utuh lalu menggigitnya begitu saja seperti sedang memakan apel. Jangan protes. Paprika itu enak.
Aku berjalan ke luar rumah—tentu saja setelah memakai sepatu dan tongkatku. Paprika di tangan kananku, tongkat di tangan kiriku. Aku berjalan lagi. Kini tujuanku berbeda. Pergi ke kota. Entah apa yang merasukiku untuk pergi ke sana malam-malam begini. Tak apalah. Aku tidak peduli. Lagi pula, kota pasti masih ramai dengan manusia-manusia yang menanti hari berganti. Dasar kurang kerjaan.
Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit berjalan aku sudah sampai di kota. Benar saja perkataanku. Kota masih ramai sekali. Banyak manusia berlalu lalang. Aku meraba rambut di samping kepalaku. Memastikan rambutku menutupi telingaku. Setelah yakin, aku menggigit paprikaku lagi. Mengunyahnya perlahan-lahan. Tatapanku yang tajam sempat membuat beberapa orang menyingkir.
Beberapa toko masih buka selarut ini. Mungkin untuk melayani manusia yang begadang hari ini. Aku kembali mengigit paprika di tanganku. Beberapa kali aku memutar tongkat di tanganku iseng. Aku terhenti. Menatap salah satu toko yang masih buka. Toko itu menjual kembang api, petasan, dan yang semacam itu. Yang membuatku berhenti bukanlah kembang api dan petasan yang dijual di sana. Melainkan aura yang cerah. Pertanda orang yang memiliki aura ini sangatlah senang.
“Ma! Lihat! Ada petasan air mancur! Beli ya!” seru seorang anak kecil sambil menarik-narik baju ibunya. Sepertinya dia lah yang mempunyai aura cerah ini.
Ibunya tersenyum. “Iya, beli saja, Nak. Nanti bagi-bagi sama adikmu ya.”
Anak kecil itu semakin senang. Auranya yang semakin cerah membuatku silau. Aku segera mengalihkan pandangan. Berjalan agak cepat sebentar sebelum akhirnya aku memelankan kecepatanku. Aku kembali menggigit paprika di tanganku. Oh, ada tempat duduk rupanya. Aku pun segera duduk di sana menikmati pemandangan orang-orang yang lewat.
Aku … Huft.
***
Hey…
Apakah wajar bagi makhluk nonmanusia sepertiku merasa kesepian?
Ah, lupakan.
Aku mengalihkan pandangan ke langit. Kembang api masih menghiasinya. Manusia-manusia itu semakin ramai. Mungkin sebentar lagi hari raya besar akan tiba. Apa pergantian hari menjadi hari raya paling besar di kota ini bisa mengabulkan permohonan?
Aku kembali mengigit paprikaku yang tinggal setengah. Tongkatku diletakkan di pangkuanku. Semakin ramai saja. Berarti hari raya akan segera tiba. Aku mengalihkan pandanganku ke tanah. Tersenyum dingin.
Aku … kesepian.
Aku kembali menatap kumpulan manusia-manusia yang semakin ramai. Mereka mulai menghitung mundur.
“Sepuluh! Sembilan!”
Ah, apa aku harus mengucapkan permohonanku untuk tahun depan?
“Delapan!”
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak. Tidak. Hidupku tidak akan berubah.
“Tujuh! Enam!”
Aku segera melahap semua prapikaku dalam satu suap.
“Lima!”
Aku menatap kumpulan manusia itu lagi. Sebentar lagi, aku akan pergi lalu merasa kesepian lagi.
“Empat!”
Aku tetap akan menolong orang, hanya untuk dilupakan pada akhirnya.
“Tiga!”
Aku tetap makhluk nonmanusia. Spesies kami tidak menguasai bumi ini.
“Dua!”
Manusia akan bertambah buruk. Mereka akan segera meraup ilmu dan informasi. Menjadikan mereka bertambah sombong.
“Satu!”
Aku mengambil tongkatku lalu berjalan pergi. Ya. Aku akan menjalani hari-hariku lagi. Seperti biasa. Tanpa perubahan. Hanya manusia yang bertambah buruk semakin hari. Membuat bumi hancur suatu hari nanti.(*)
Weilina Cahyadi, lahir di Jakarta, 25 Agustus 2004. Gadis berkacamata ini gemar membaca sejak kecil. Sejak kelas 5 SD, ia yang akrab dipanggil Wei Wei ini mulai menulis cerita karangannya sendiri di buku catatannya. Bahkan ada satu ide ceritanya yang dibuatkan komiknya sendiri. Hobi membaca buku, menulis cerita, makan, tidur, dan semua hal yang berhubungan dengan menetap di rumah.
FB: Weilina Cahyadi
Email: weilinacahyadi2004@gmail.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan