Demi Kami

Demi Kami

Demi Kami
Oleh : Cokelat

Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya Ibu kehabisan kata-kata untuk menjawab semua ucapanku barusan. Kupandangi sekali lagi mata sendu itu, lalu berdiri dari kursi yang kududuki. Kulewati Ibu dan berlalu menuju kamarku, membuka pintu dengan kasar lalu membantingnya dari dalam. Ibu harus tahu, kali ini aku benar-benar kesal.

Sudah dua hari sejak kejadian di dapur dan aku masih tak menegur Ibu. Semua panggilan ataupun sapaan perempuan yang sudah melahirkanku itu, aku abaikan. Tetap saja, Ibu tak berhenti mendekatiku. Menyuruhku makan, mengerjakan tugas sekolah, atau membantu adik menyelesaikan tugas sekolahnya. Aku menurut, walau dengan mulut yang tetap terkunci. Aku harus menunjukkan pada Ibu bahwa aku masih marah, agar dia menuruti permintaanku.

Hari ini, aku tak melihat Ibu seharian. Adik pun tak tahu Ibu ke mana. Apakah Ibu keluar bersama Bapak? Tapi tadi pagi aku sempat keluar ke teras saat Bapak berangkat untuk mencari penumpang dengan becaknya, dan Bapak berangkat sendiri.

“Ibu keluar kota selama seminggu. Ada yang ngajak kerja katanya. Biar bisa beliin permintaan Dita.” Itu jawaban Bapak saat baru tiba di rumah. Wajah tua itu tampak kelelahan. Pasti Bapak capek setelah seharian mencari penumpang.

Bapak lalu memberi aku selembar uang dua puluh ribu. “Beli lauk jadi di warung Bu Indah. Hari ini penumpang sepi. Mudah-mudahan besok bisa dapat lebih. Nasi masih ada, kan?”

Aku mengangguk dan beranjak meraih uang dari tangan Bapak. Ke mana Ibu? Pekerjaan apa yang lamanya hanya seminggu? Ah, semoga Ibu cocok dengan pekerjaannya, dan bisa mendapat banyak uang. Aku bersorak dalam hati.

Tepat seminggu kemudian, Ibu pulang ke rumah. Aku dan adik menyambutnya dengan gembira. Kuakui, aku merasa malu pada Ibu. Aku sengaja tak menegurnya selama berhari-hari sebelum Ibu pergi. Saat kuraih punggung tangan Ibu untuk menciumnya, perempuan yang kusayangi itu segera meraihku dalam pelukannya. Tangisku pun pecah. Betapa aku merindukanmu, Bu. Aku minta maaf atas sikapku.

Ibu melepaskan pelukannya, lalu menarik tanganku sehingga kami duduk berdampingan. “Pak, tolong bukain tas ibu. Ada sesuatu untuk Dita di bagian paling atas,” ujar Ibu kepada Bapak yang sedang duduk di hadapan kami.

Bapak meraih tas Ibu yang tergeletak di atas meja, membuka ritsletingnya dan menarik sesuatu dari dalam. Itu … itu dus ponsel tipe terbaru dari sebuah merek ternama. Persis seperti keinginanku selama ini. Aku memekik kegirangan.

“Ini, Nak. Ponsel baru seperti keinginanmu. Sekarang, Dita harus ingat janji Dita ke Ibu. Bakal lebih rajin belajar biar jadi juara kelas, biar cita-cita Dita tercapai. Ya, Nak, ya?” Ibu tersenyum saat menyerahkan dus ponsel ke tanganku.

Bapak dan Ibu mengabulkan permintaanku. Ponsel ini sudah lama aku impikan. Aku bisa mengganti ponsel keluaran lama milikku dan tak perlu malu lagi pada teman-teman di sekolah. Sekarang, aku pun punya ponsel mahal seperti mereka. Aku sangat bahagia.

“Ibu dapat pinjaman dari mana? Dita nggak nyangka secepat ini Ibu dapat duit.” Tiba-tiba aku ingin tahu, dari mana sumber uang untuk membeli ponsel ini. Sewaktu bertengkar dengan Ibu tempo hari, Ibu memang mengatakan bahwa mustahil untuk Bapak dan Ibu membelikan aku ponsel baru. Uang dari mana, katanya saat itu. Kecuali mencari pinjaman seperti biasanya.

Ibu mengelus rambutku dengan lembut. “Gaji Ibu bekerja di luar kota lumayan, Nak. Bisa untuk mengabulkan keinginanmu. Masih ada sisa buat beliin becak motor untuk Bapak. Becak kayuh sudah ketinggalan zaman. Ibu juga mau beli kompor dan oven baru, biar tidak kewalahan kalau pesanan kue lagi ramai.”

Mataku membelalak. Gaji seminggu bisa untuk membeli semua itu? “Wah, kerjaan Ibu keren, ya. Nanti kalau tamat SMA, aku juga mau kerja di tempat itu. Gajinya banyak.”

Tangan Ibu yang sedang mengelus kepalaku terhenti. Kepalanya berpaling ke arah Bapak. Aku ikut menoleh, dan mendapati mata Bapak yang merah. Ada air mata yang menggenang di sudut-sudut matanya. Aku mengernyit. Bapak kenapa? Tanpa bersuara, Bapak tiba-tiba berdiri dan meninggalkan kami.

“Kamu nggak usah mikir macam-macam dulu. Belajar yang benar. Katanya mau lanjut kuliah kalau tamat SMA nanti. Iya, kan?” Ibu kembali membelai kepalaku.

Aku kembali memeluk Ibu. Meletakkan kepalaku di dada perempuan yang sangat kusayangi itu. Menghirup aroma khas dari tubuhnya. Ah, Ibu. Aku sayang Ibu.

Kehidupan kami perlahan membaik. Becak tua Bapak berganti dengan sebuah becak motor baru. Pesanan kue Ibu juga lumayan ramai. Berkat kompor dan oven baru, Ibu tidak kewalahan lagi.

Sore itu, aku sedang belajar kelompok di rumah Lastri ketika adikku menelepon. “Kak, cepat pulang! Bapak nyuruh aku telpon Kakak. Ibu mau dibawa ke Rumah Sakit.” Suara adikku yang sekarang duduk di bangku kelas tiga SMP terdengar sangat khawatir. Aku segera merapikan barang-barangku dan bergegas ke pangkalan ojek di depan kompleks perumahan Lastri.

Sepanjang jalan pikiranku tak tenang. Ibu kenapa? Akhir-akhir ini Ibu memang sering mengeluh capek. Ibu makin mudah sakit, tapi kupikir itu karena kurang istirahat saja. Pesanan kue kering Ibu sedang laris manis belakangan ini, itu sebabnya Ibu sering begadang untuk membuat kue.

Di depan rumah, aku buru-buru turun dari boncengan Kang Ojek. Rumah tampak sepi. Belum sempat membayar, seorang tetangga mendekat. “Langsung nyusul aja, Dit. Ibumu udah di bawa ke RSUD dengan ambulans.”

Tak berpikir dua kali, aku kembali naik ke boncengan motor yang kutumpangi dari rumah Lastri. Kang Ojek sepertinya paham. Tanpa bertanya, lelaki itu langsung memacu motornya dan mengantarku ke RSUD.

Setelah mencari beberapa saat, aku akhirnya melihat Bapak yang sedang berdiri di depan loket di ruang IGD. Di hadapannya, ada seorang lelaki berpakaian putih. Sepertinya lelaki itu seorang dokter. Di mana Ibu? Mengapa Bapak tak menemani Ibu? Aku bergegas menghampiri Bapak dan dokter itu.

“Jadi, Bapak tahu kalau istri bapak menjual ginjalnya?” Suara dokter itu menghentikan langkahku yang tinggal beberapa meter dari tempat meraka berdiri.

Bapak mengangguk lemah. Raut sedih terpancar jelas dari wajahnya. Aku masih berusaha mencerna kata-kata dokter itu. Ibu menjual ginjalnya? Maksudnya?

“Sayang sekali, Pak. Ginjal istri bapak yang sisa satu, sepertinya bermasalah. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Saya permisi.”

Bapak terduduk lemas saat lelaki itu meninggalkannya. Aku masih terpaku di tempatku. Jadi … dari sanalah asal uang itu. Uang untuk membeli ponsel seperti permintaanku. Uang untuk membeli becak motor Bapak. Uang untuk membeli kompor dan oven baru. Ibu menjual ginjalnya demi itu semua. Demi kami. Ibu … bagaimana bisa? Tidak!!! Ibuuu ….(*)

Kamar Cokelat, 4 April 2021

Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.

Editor: Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply