Papa sudah Mati
Penulis; Rachmawati Ash
Beberapa saat sebelum meninggal, Papa mengelus-elus kepalaku, kemudian berkata: ”Jadilah anak yang baik dan jangan menyerah.” Terlihat wajah Papa yang pucat dan tangannya gemetar. Aku tahu, sebentar lagi Papa akan meninggal, tetapi aku tidak pernah membayangkan bahwa itu adalah perpisahan kami untuk selamanya. Dulu, aku pernah melihat Kakek dalam keadaan yang sama, berhari-hari wajahnya pucat, matanya selalu tertutup dan tidak mau makan. Keluarga kami membaca doa dan ayat-ayat suci Alquran di rumahnya. Setelahnya, semua menjadi ramai oleh tangisan dan banyak orang berdatangan. Aku dibawa pergi oleh Paman ke rumahnya bersama dengan sepupuku yang lain.
“Kakek telah meninggal, kalian di sini dulu ya, nanti akan dijemput kalau keadaan sudah tenang. Kalian bermain dulu di sini, jangan berantem. Oke?” ucap pamanmu saat itu sambil membagikan permen lollipop secara Cuma-Cuma. Sejak saat itu, aku dan para sepupu tidak pernah bertemu lagi dengan Kakek. Kami hanya diberi tahu kalau Kakek telah meninggal, tetapi kami tidak tahu apa itu meninggal. Aku berpikir, bahwa meninggal berarti tidur untuk sementara dan akan bangun saat sudah sembuh dari sakit.
Pagi ini, Aku ikut-ikutan menangis saat Mama, Kakak dan seluruh orang yang datang ke rumahku menangis. Mereka menengok sebentar tubuh Papa yang ditutupi kain serba putih. Mama menangis sangat lama, tidak mau diajak pergi dari samping tubuh papa yang kaku. Akhirnya Aku lelah pura-pura menangis, juga bosan melihat orang-orang yang datang selalu memelukku dan meneteskan air mata. Aku tidak tahu mengapa semua orang terlihat bersedih. Mama tidak mau kuajak bicara, tidak mendengar permintaanku untuk membeli jajan di toko seberang rumah. Dia terus menangis, sesekali pingsan dan menangis lagi saat terbangun.
Setiap orang berusaha membujuknya, “Fatma, kuatkan dirimu. Ihklaskan suamimu untuk pergi dan beristirahat dengan tenang.”
Begitu perempuan itu selesai mengucapkan kata-katanya, Mama malah meraung-raung, mengguncang-guncang tubuh Papa yang tidur dan tidak bergerak. Mama terisak dengan pelan, menjerit, lalu pingsan. Kejadian itu terus terulang sampai akhirnya aku lupa apa yang terjadi berikutnya.
***
Entahlah, mungkin semua urusan orang dewasa memang rumit, sampai Mama tak pernah berhenti bersedih sejak Papa meninggal. Bahkan saat aku mengingatkan rencana liburan ke rumah Paman, Mama hanya memelukku tanpa berkata apa-apa. Dia menatapku sesaat, lalu tersenyum dan mendekapku dengan erat.
“Ah, indah sekali mimpimu, Nak. Maafkan Mama belum bisa mewujudkannya,” ucap Mama padaku.
“Kita jadi ke rumah paman, kan? Jadi naik kereta api dan delman ke Jogja,kan?” kataku penuh semangat.
Mama tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih bersih. Aku semakin bingung, mengapa akhir-akhir ini Mama senang sekali menangis, bahkan saat mulutnya tersenyum air mata tetap menetes di pipinya.
“Kenapa Mama menangis? Papa belum pulang kerja, ya? biar Dinda cari Papa, ya? Dinda akan cari Papa dan ajak pulang. Mama jangan menangis lagi.”
Tangis Mama berhenti, tetapi dadanya seperti terasa sakit, kedua tangannya menekan keras di sana. Aku tidak melihat air mata, tetapi dadanya naik turun karena sesenggukan. Apa aku membuat kesalahan? Apa aku membuat Mama bersedih?
Mama memelukku dengan erat, tangannya meremas kepalaku sampai menurunkan jilbab yang kupakai.
“Jadilah anak yang baik, anak yang kuat dan tidak putus asa. Mama akan berusaha sebisa mungkin untuk kebahagiaanmu, Nak.”
Aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh Mama, aku hanya membalas pelukannya sambil mengangguk-angguk.
“Papa pergi ke mana?” tanyaku pada Mama.
Mama melepas pelukkan, “Papamu sudah pergi ke surga, bertemu dengan Kakek dan Nenek di sana.”
“Kapan akan pulang?
“Papa tidak akan pulang lagi kepada kita, Dinda jangan mencarinya lagi, ya?” ucap Mama sambil menggigit bibirnya yang gemetar.
“Tidak pulang lagi? bagaimana aku bisa menemui Papa? Bukannya Papa janji mau menemaniku liburan ke rumah Paman di Jogja?”
Aku menangis, merasa kecewa dengan kabar yang disampaikan oleh Mama. Tangisku menjadi-jadi, karena Mama tidak memberiku jawaban, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala yang tidak kupahami apa maksudnya. Rasa-rasanya aku ingin protes, ingin memarahi Mama yang senang sekali menangis. Akan tetapi, aku malah jadi sedih saat melihatnya menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah.
***
Jam besar di atas teras stasiun Tawang menunjukkan pukul delapan malam. Kereta api sudah tidak terlihat lagi di tempat ini, aku bisa melihat rel berjejer rapi, memanjang dari barat ke arah timur, atau sebaliknya? Aku tidak tahu dari mana awal rel kereta itu berasal dan di mana akan berakhir. Akan tetapi, aku senang melihat bentuknya yang unik, terbuat dari besi yang lurus dan rapi. Aku jadi berpikir bagaimana caranya kereta api bisa berjalan di atasnya tanpa terpeleset atau terjatuh. Khayalanku pecah, saat suara peluit melengking di gendang telinga. Lalu, suara kereta api datang menderu ke arah stasiun.
Aku masih duduk di kursi besi berwarna abu-abu, menunggu Mama membeli kue di toko yang tak jauh dari tempatku. Tiba-tiba, seorang anak berlari tergesa-gesa dan menabrakku, membuat minuman dalam gelas plastik tumpah dan membasahi permukaan jaketku. Anak perempuan itu terlihat kumal, terus berlari dan meninggalkanku tanpa meminta maaf karena membuatku basah dan berantakan. Ah, bukan hanya itu, dia berlari sambil membawa sesuatu yang diambilnya dari pangkuanku. Dia mengambil HP ku.
“Berhenti!”
Aku mengejarnya, melanggar perintah Mama agar tidak pergi dari tempatku menunggu. Akan tetapi, aku merasa marah dan harus mengambil kembali HP hadiah dari Papa. Aku terus berlari, mataku fokus agar tidak kehilangan jejaknya.
“Berhenti!” suaraku hampir hilang karena terengah-engah sambil berlari.
Kakak perempuan itu berhasil bersembunyi, kakinya lebih kuat dari pada kakiku, mungkin karena umurnya jauh lebih tua dariku. Setelah kupikir-pikir dan kuingat tinggi tubuhnya, mungkin dia telah duduk di kelas lima atau enam SD. Mataku melihat ke kiri-kanan, mencari di mana Kakak itu bersembunyi membawa HP ku. Akan tetapi, suasana menjadi sepi, Aku takut, lalu berjalan pelan dan mengawasi keadaan sekitar. Kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke ruang tunggu dan menemui Mama.
“Kembalikan Hp itu padanya.”
Suara seorang perempuan dewasa membuat langkahku berhenti, aku menoleh dan melihat Kakak yang mengambil HP ku tertunduk di belakang tiang besar. Matanya melirik ke arahku, membuatku ingin marah. Akan tetapi, setelah kulihat wajahnya yang kotor dan pakaiannya yang kumal, aku tidak jadi memarahinya. Lagi pula, apa bisa aku melawan anak yang lebih besar dari diriku? aku semakin takut dan berlari meninggalkan tempat kumuh itu.
“Dinda! apa yang kamu lakukan di sini, Nak?”
Suara Mama membuatku lega, lalu berlari dan memeluknya seerat mungkin. Aku ketakutan.
“Kamu tidak apa-apa, dik?” Tanya seorang petugas keamanan stasiun yang berjalan bersama Mama.
“HP ku diambil oleh Kakak itu, Ma. Di sana, dia bersembunyi di sana,” ucapku sambil menunjukkan tempat kumuh yang dikelilingi semak-semak.
Mama berjalan menggandeng tanganku, memberi isyarat kepada petugas untuk menemaninya menuju ke tempat yang kutunjukkan. Aku berjalan pelan, memegang erat bagian belakan jaket Mama. Langkahku berhenti, saat Mama dan petugas stasiun juga berhenti berjalan. Kami menemukan seorang Ibu dan beberapa anak kecil di sebuah gubuk dari bahan seng bercampur kardus. Mereka tidur beralaskan Koran. Kertas bekas bungkus nasi, plastik minuman berserakan di antara bau pesing dan busuk.
Seorang Ibu yang tadi menemui Kakak yang mengambil HP ku berdiri, merapikan bajunya yang compang-camping. Wajahnya ketakutan, tetapi tetap menemui Mama dan petugas stasiun yang datang bersamaku, “Maafkan anak saya, Pak, Bu. Sungguh, dia hanya anak-anak yang belum tahu apa-apa. Dia bodoh dan tidak sekolah.”
Mama mengernyit, wajahnya masih setenang sebelumnya, “Saya hanya mau mengambil HP anak saya, Bu.”
“Jangan hukum anak saya. Dia yang bekerja untuk menghidupi adik-adikya. Kalau Ibu dan Pak petugas membawanya ke kantor polisi, saya lebih baik mati,” ucap perempuan itu dengan tangan memohon-mohon.
“Jangan membiasakan membela anak yang salah. Nanti jadi kebiasan, Bu,” ucap Mama pada perempuan itu.
Aku hanya berdiri di samping petugas stasiun yang menemani Mama. Kami menunggu Mama dan Ibu itu saling berbincang, mereka tampak berdebat, saling mempertahankan pendapatnya tentang anak perempuan yang mencuri HP ku di stasiun. Petugas keamanan berjalan ke arah mereka, mungkin bermaksud akan melerai dan memberikan jalan keluar tanpa rebut-ribut.
“Kembalikan HP itu atau kami akan melakukan jalur hokum,” ucap petugas keamanan stasiun.
Ibu itu menangis, tangannya mengusap-usap wajahnya yang kumal dan basah oleh air mata. Kakak yang mengambil HP ku berdiri. Dia yang sejak tadi hanya duduk di atas Koran, akhirnya menemui kami, mengulurkan HP kepada Mama.
“Jangan bawa saya ke kantor polisi, saya harus bekerja menghidupi adik-adik saya. Kalau saya dipenjara, siapa yang akan memulung sampah dan menukarnya dengan nasi bungkus untuk mereka?” jawabnya dengan wajah memelas.
“Tapi kamu mencuri!” ucap petugas keamanan stasiun.
“Saya hanya iri, banyak anak-anak yang lebih kecil dari saya di stasiun yang hidupnya bahagia. Mereka masih kecil, tetapi memiliki fasilitas hidup yang mewah dan lengkap,” ucapnya sambil menundukkkan pandangan.
“Kamu masih kecil, kenapa sudah bekerja untuk adik-adikmu? Ke mana ayahmu?” Tanya Mama kepada Kakak pemulung.
“Ayahku sudah mati.”
Seketika, Mama memeluknya dengan erat. Kemudian ganti memelukku dan berbisik kepadaku, “Mama tidak akan membiarkanmu terlantar. Mama janji.”
**
Bulan berjalan di atas kepala kami, cahayanya berwarna keperakan. Mama menggandeng tanganku menuju kembali ke stasiun mengambil barang-barang yang masih tertinggal di sana. Petugas keamanan membimbing kami, menunjukkan jalan yang tepat untuk sampai di ruang tunggu. Aku merasakan genggaman Mama begitu lembut dan penuh kasih sayang. Aku baru saja melihat kekhawatiran di matanya, Mama takut aku akan menderita karena tidak memiliki Papa di sampingku.
Rachmawati Ash. Perempuan Scorpio berdarah AB.