Malu

Malu

Malu

Oleh : Ketut Eka Kanatam

 

Keriuhan gadis-gadis itu membuatku terbangun dari tidur. Kulihat Arka sedang dirubung oleh teman-teman sekelas. Semua berebut menanyakan sesuatu padanya. Dia terlihat kewalahan menghadapi mereka.

“Kamu kalah saing dengan dia, Dim,” ujar Aris yang duduk di sampingku.

“Maksud kamu, apa, Ris?”

Rasa kantuk masih menyerang, membuatku tidak mengerti dengan ucapannya.

“Mereka mulai mengidolakan Arka,” jawab Aris kembali sambil menatap kerumunan tersebut.

“Bagus begitu, Ris. Aku juga capek melayani mereka,” jawabku sambil kembali merebahkan kepala.

Kali ini kututup telinga dengan headset. Lebih baik mendengarkan musik daripada mendengar kebisingan mereka.

Bunyi meja dipukul keras menyadarkan kembali dari tidurku.

“Kalian datang ke sini untuk kuliah, bukan untuk bermimpi. Apa yang akan terjadi jika para penerus bangsa ini tidak ada semangat juang seperti yang kalian lakukan sekarang?”

Meskipun bukan ditujukan khusus kepadaku, dosen killer itu tidak akan tahu aku terlelap dalam perkuliahannya, posisiku tertutup badan kekar milik Arka. Namun, tetap saja aku merasa tersindir oleh ucapannya. Apalagi saat melihat Aris mentertawai tingkahku yang bangun karena kaget.

“Awas kamu, Ris! Tidak akan kuizinkan kamu masuk gratis lagi,” ancamku seketika.

“Jangan begitu, dong, Dimas. Aku kan, tidak bilang apa-apa sama Pak Rudi.”

Aris terlihat takut juga dengan ancamanku. Selama ini, dia bisa masuk ke sebuah diskotek terkenal secara gratis semata-mata karena aku. Dia selalu memakai namaku sebagai DJ untuk bisa masuk tanpa membayar sepeser pun.

“Buat catatan isi kuliah Pak Rudi kalau kamu masih mau gratisan.”

“Beres, Bos.”

Aris menuruti permintaanku tanpa perlawanan sama sekali. Hubungan kami memang seperti itu, saling membutuhkan.

Pak Rudi masih terus berbicara panjang lebar, aku tidak menyimak sama sekali. Kepala rasanya sangat berat, begadang tiga malam berturut-turut membuat badanku lemas. Untunglah, dosen itu segera keluar dari kelas begitu jam mengajarnya habis. Aku kembali melanjutkan istirahat yang tadi tertunda. Ajakan Aris pergi mencari makan, kutolak seketika.

“Kamu sakit, Dim?”

Arka menoleh ke arahku. Tatapannya begitu cemas.

“Jangan bilang sama papaku!”

Kutatap dia dengan serius, berharap dia mau mendengarkan perintahku.

“Aku bisa menjaga rahasiamu, Dim.”

Aku mengangguk, puas mendengar jawabannya.

“Selama ini, kamu juga sudah menjaga rahasiaku. Aku orang yang mengerti apa itu membalas budi.”

Kukibaskan tangan di depan mukanya agar dia berhenti bicara. Aku sedang tidak ingin mendengar ucapannya. Apalagi badanku mulai terasa semakin tidak enak. Ada rasa mual dan kepala mulai pusing.

“Sepertinya aku sudah tidak kuat lagi, Ka. Bisa antar aku pulang, Ka?”

Arka menatapku lama sekali. Masih ada dua mata kuliah lagi setelah Pak Rudi. Setahuku dari cerita Aris, dia tidak pernah bolos kuliah, beda dengan aku.

“Baiklah. Aku antar kamu pulang.”

Arka segera mengambil kunci mobil yang kuberikan. Dia mencoba memapahku.

“Tidak usah! Aku masih bisa jalan sendiri!”

Untung ruang yang dipakai kuliah oleh Pak Rudi berada di lantai satu. Aku tidak perlu jalan jauh menuju ke tempat parkiran.

Saat akhirnya Arka menjalankan mobil dengan hati-hati, kutepuk bahunya dari belakang.

“Jangan antar aku ke rumah. Aku istirahat di rumahmu saja, Ka.”

Jika aku pulang sekarang, maka Mama akan kaget melihat kondisiku. Bisa-bisa aku disuruh opname. Bau rumah sakit membuatku tidak nyaman. Aku istirahat sejenak pasti segera sembuh. Tanpa menunggu persetujuannya, aku segera merebahkan diri di kursi.

Demamku semakin tinggi sehingga kali ini, kubiarkan Arka memapahku masuk ke rumahnya.

“Siapa dia, Ka?”

Seseorang menyambut kami.

“Anak bosku, Mbak. Dia sakit, tapi tidak mau diantar ke rumahnya.”

“Begitu, ya? Cepat bawa ke kamarmu, Ka!”

Aku sudah tidak ada tenaga untuk mengikuti percakapan mereka lagi. Begitu dibaringkan di sebuah kasur, aku segera memejamkan mata.

Entah siapa yang kemudian meletakkan sesuatu di keningku yang terasa sangat sejuk. Entah berapa lama terpejam seperti itu, aku tidak tahu. Sampai sebuah sentuhan lembut di kening membuatku perlahan membuka mata. Dia bukan Arka.

“Kamu siapa?”

Wajah itu tidak terlihat terkejut sama sekali, dia malahan sibuk mengaduk-aduk bubur di mangkuk yang dipegangnya.

“Ayo, makan dulu. Nanti kita bicara lagi.”

Dia menyodorkan sendok berisi bubur itu ke arahku. Ucapannya terdengar begitu lembut, tapi mengandung ketegasan, sehingga aku menuruti permintaannya. Dia telaten menyuapiku. Aku yang tidak pernah diurus seperti anak kecil merasa sangat nyaman diperlakukan seperti itu.

“Mana Arka?”

“Dia harus balik lagi ke kampus.”

“Untuk apa dia balik ke kampus lagi?”

Aku merasa heran dengan tingkahnya. Bolos sehari apa salahnya? Kenapa dia meninggalkan aku dengan orang asing?

“Arka pergi untuk melanjutkan kuliahnya. Katanya masih bisa mengejar ikut kuliah yang ketiga, sekalian mengambil sepedanya,” jelas wanita itu panjang lebar.

“Kenapa rajin sekali dia?”

Aku menggerutu sendiri. Biarpun wanita di depanku mengurusku tanpa sungkan, tetap saja ada perasaan tidak nyaman berduaan di kamar seperti ini.

“Bukan soal rajin atau tidak dia balik ke kampus lagi. Dia tidak ingin mengecewakan papamu yang telah memberi kepercayaan untuk melanjutkan sekolahnya.”

Kembali dia menerangkan semuanya tanpa kuminta. Ucapannya membuatku teringat sewaktu pertama kali  melihat Arka di rumah.

“Kenapa Papa mencari sopir yang sebaya dengan aku?”

Aku langsung tahu kalau dia seumuran denganku saat melihat baju seragam yang dia pakai.

“Dia anaknya Mang Sardi, Nak. Mulai bulan depan, dia akan menggantikan tugas ayahnya.”

Papaku memang begitu. Sekali dia percaya dengan seseorang, sampai kapan pun tidak akan berpindah hati. Mang Sardi sudah menjadi sopirnya selama puluhan tahun.

Ketika dia meninggal dunia, anaknya yang direkrut menggantikan tugasnya.

“Kamu istirahat saja dulu. Sebentar lagi Arka pulang. Dia bisa mengantar kamu pulang.”

Suaranya menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku  sedang berada di rumahnya Mang Sardi. Tempat yang sangat asing. Meskipun aku juga lumayan akrab dengan Mang Sardi yang sering mengantar dan menjemput sejak mengenal bangku sekolah, tidak sekali pun aku mendatangi rumahnya.

Tidak ada kepentingan untuk melakukan hal itu. Mang Sardi selalu sudah ada di rumahku sebelum aku berangkat ke sekolah.

“Ya, terima kasih. Buburnya lezat.”

“Sama-sama. Kembali kasih.”

Setelah menyuruhku untuk berbaring lagi, dia segera menutup pintu kamar,  meninggalkanku sendirian.

Seperti yang dikatakannya, Arka segera datang. Aku setuju ketika dia mengajakku untuk pulang ke rumah. Aku merasa sudah tidak terlalu pusing.

Kesigapan Arka membuatku teringat kembali dengan wanita itu.

“Siapa dia, Ka? Yang memberi aku bubur tadi.”

Entah kenapa, aku malu mengatakan kalau saat makan tadi disuapi olehnya.

“Maksudmu Mbak Dina, ya, Dim? Dia kakakku, Dim. Kami tinggal berdua saja sekarang.”

Setahuku istrinya Mang Sardi memang sudah lama meninggal dunia, jauh sebelum dia menyusulnya. Mang Sardi sering bilang rindu dengan mantan istrinya itu. Berarti Mang Sardi mengurus sendiri kedua anaknya.

“Kakakmu kuliah juga ya, Ka?”

Tawa Arka membuatku kaget.

“Mana ada biaya untuk kuliah, Dim. Jika bukan karena kebaikan papamu, aku juga tidak akan kuliah.”

Jawabannya membuatku terdiam lama.

“Mbakku itu lulusan SMK, Dim. Dia sekarang bekerja menjadi penjahit. Banyak yang mesan baju sama dia. Mbakku itu sangat terampil, Dim. Jahitannya halus.”

Arka mengatakannya dengan nada bangga, membuatku teringat dengan bubur tadi.

“Buburnya lezat. Buatannya terasa beda, Ka.”

Biasanya jika sakit makanan apa pun sulit sekali kutelan. Apalagi makanan di rumah sakit, tapi tadi, aku menghabiskan satu mangkuk bubur itu tanpa susah payah.

“Mbakku memang jago masak, Dim. Dia menggantikan pekerjaan almarhum Ibu sejak SMP.”

Aku hanya bisa mengangguk mendengar penjelasannya. Entah kenapa, hari ini, aku merasa sangat malu dengan kakak beradik itu.

Aku masih memiliki Mama dan Papa. Fasilitas apa pun untuk menunjang kehidupanku tersedia tanpa perlu merengek pada mereka. Aku merasa hal itu wajar saja. Kujalani hidup dengan sesuka hati. Selama kuliah belum sekali pun aku benar-benar mengerjakan tugas, semua dibereskan oleh Aris.

Kini, aku merasa malu mengangkat kepala di depan Arka.

Bali, 04 April 2021   

Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di Taman Kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.

Editor : Tri Wahyu Utami

Sumber gambar : pixabay

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply