Darah yang Mengalir dari Dada Ibu
Oleh: Vianda Alshafaq
Tiba-tiba aku mengingat pertanyaan Leila, sahabatku, setahun lalu, tepat sebelum kami melaksanakan Tarawih di musala yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumahku. Apa yang tidak kau sukai, begitu pertanyaannya. Waktu itu kami masih berusia sembilan belas tahun. Baru melepaskan seragam putih abu-abu dari hidup kami. Saat itu, ketika ia menanyakannya, aku hanya bungkam dan berpikir, apa yang tidak kusukai? Nyaris sampai tengah malam, saat kami selesai mengaji di musala itu, aku masih memikirkan pertanyaan itu, tetapi aku tidak menemukan apa pun di kepalaku. Kurasa, semakin dewasa aku semakin sulit menentukan apa yang kusuka dan tidak aku suka.
Malam ini, aku mencoba mengingat dan menjawab pertanyaan itu lagi. Apa yang tidak kusukai?
“Perempuan. Aku tidak suka menjadi perempuan!” ucapku pelan. Tetapi, betapa pun aku benci, aku tidak bisa lari dari kenyataan ini. Aku adalah seorang perempuan dan selamanya akan seperti itu.
Kadang-kadang aku berpikir, kenapa takdir begitu buruk untuk seorang perempuan. Dunia ini tidak adil. Atau, Tuhan tidak adil. Ah, tidak mungkin Tuhan Yang Mahaadil membuat ketidakadilan di bumi ini. Tetapi, sungguh, aku merasa Tuhan tidak adil padaku.
Bulan lalu, di hari pertama masa haidku, aku membuat Ibu mengalirkan darah dari dadanya. Cairan kental dan amis itu berduyun-duyun turun. Warnanya sedikit gelap dan pelan-pelan mewarnai pakaian ibu yang dominan berwarna putih dengan merek pupuk di bagian tengah—Ibu mendapatkan baju itu setelah membeli pupuk. Ibu menunduk, melihat darah segar yang mengalir begitu saja dari dadanya. Kulitnya yang tiba-tiba terkoyak membuatnya sedikit meringis kesakitan.
“Istirahatlah. Ibu akan menjahit kulit Ibu kembali,” ucap Ibu sebelum meninggalkan kamarku.
Itu bukan kali pertama aku membuat darah itu keluar dari dada Ibu. Nyaris sekali sebulan, ketika masa haidku datang, aku selalu membuat kulit dada Ibu terkoyak. Kadang lidahku yang melakukannya. Kadang kakiku, kadang juga mataku. Setelah membuat Ibu begitu, aku hanya bisa menangis. Aku merasa bersalah. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Bodoh!
Malam ini, hal yang sama terjadi. Aku di rumah sendirian, sementara Ibu sedang di musala mengikuti acara doa bersama sebagai bentuk penyambutan Ramadan. Aku hanya berbaring di tempat tidur sembari berselancar di internet. Aku membuka situs-situs yang menyediakan cerpen untuk kubaca. Tetapi, itu tidak lama. Paling hanya sepuluh sampai lima belas menit. Bahkan aku tak menyelesaikan dua buah cerpen. Setelahnya, aku hanya menelusuri film. Barangkali aku akan mendapatkan film yang seru untuk ditonton.
Tepat pukul 23.05, Ibu mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Dengan segera, aku keluar kamar dan membukakan pintu. Persis seperti ketika berangkat ke musala tadi, Ibu masih menjinjing rantang dan mangkuk nasi yang digunakannya untuk membawa makanan. Hanya, kurasa wadah-wadah itu sudah tidak berisi atau hanya berisi sedikit. Sebab, Ibu tidak lagi terlihat menjinjing beban yang berat.
Aku melihat sebentar keluar. Malam yang kelam, pikirku. Tak ada bulan. Awan hitam bergerak-gerak di atas sana dan di bawah sini angin juga berembus sedikit kencang. Ya, akhir-akhir ini cuaca cukup buruk. Bahkan aku masih dapat mengingat bagaimana angin kencang itu merobohkan dapur tetangga sebelah rumahku.
Setelah Ibu masuk, aku segera menyusulnya. Hanya, aku tidak mengikuti Ibu ke dapur untuk menaruh wadah-wadah tadi. Aku langsung menuju kamarku dan kembali mencari film yang bisa kunikmati. Mungkin hanya sekitar lima menit setelah aku berbaring lagi, Ibu memasuki kamarku. Tanpa salam, tanpa mengetuk pintu. Ibu memang sering begitu. Kadang-kadang aku merasa kesal. Bagaimanapun, kamar ini adalah tempat privasiku. Aku tak ingin ada yang masuk tanpa izin. Tetapi, sekalipun aku ingin begitu, aku tak bisa melarang Ibu.
“Abangmu sudah pulang?” tanya Ibu.
“Belum,” ucapku sedikit kesal karena Ibu mengganggu kegiatanku.
“Kok, belum pulang? Ini sudah jam berapa?”
“Ya, mana aku tahu. Abang tidak bilang apa-apa. Kan Ibu sudah lihat motornya belum ada, jelas dia belum pulang. Kenapa Ibu selalu menanyakan Abang. Dia itu laki-laki yang sudah dewasa. Dia pasti tahu kapan harus pulang,” jawabku dengan nada sedikit tinggi.
Ibu diam dan kurasa Ibu sedang mencoba mengendalikan dirinya. Aku melihatnya beberapa kali menarik napas dalam-dalam. “Kamu besok tidak kuliah? Ini sudah malam. Jangan bermain handphone lagi. Tidurlah,” ujar Ibu pelan.
“Ibu kenapa, sih? Aku cuma mau cari hiburan sebentar. Kepalaku sudah pusing menghadapi tugas yang tidak pernah selesai. Bisa tidak Ibu berhenti dan membiarkanku di kamar ini sendiri?”
Kulihat Ibu menarik napasnya berat. Aku merasa sesak. Apa yang sudah kulakukan? Lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Ini hari pertama aku mengalami haid bulan ini. Dan, seperti biasa, aku menjadi lebih mudah marah. Aku tahu, itu hal yang biasa untuk seorang perempuan. Tetapi, ini tidak baik. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu kepada Ibu. Bagaimana bisa aku mengucapkan hal seperti itu pada Ibu?
Samar-samar aku melihat noda merah muncul di baju Ibu. Semakin lama semakin jelas dan semakin banyak. Ibu meringis sedikit. Mungkin ia merasa sakit karena kulitnya kembali terkoyak. Tanpa mengucapkan apa pun, Ibu pergi dari kamarku dengan darah yang masih mengalir dari dadanya. Darah itu berceceran di mana-mana. Lantai kamarku yang sebelumnya berwarna abu-abu—warna semen—kini dipenuhi bercak merah di mana-mana.
“Dasar bodoh!” umpatku pada diriku sendiri.
Sekali lagi aku menyakiti Ibu. Dadanya terkoyak lagi karena lidahku. Aku membuang ponselku secara asal. Kemudian bersembunyi di balik selimut. Dadaku lebih sesak ketimbang tadi. Penglihatanku mengabur. Air mata tiba-tiba bertumpuk di sana. Tak lama, embun itu mengair membasahi pipiku.
Maafkan aku, Ibu.
Kalimat itu tidak berarti apa pun. Ia tak mampu mengembalikan darah yang sudah berceceran itu ke dalam dada Ibu. Ia tak dapat menghilangkan bekas koyakan di dada Ibu.
Sesekali aku mendengar suara ibu yang merintih dari kamarnya. Kamar kami bersebelahan dan tidak berplafon. Sebab itu aku bisa mendengar suara Ibu dengan jelas. Ibu pasti sedang menjahit dadanya. Setiap aku mendengar rintihan itu, setiap itu pula aku kembali menangis dan merasa bersalah.
Malam ini, aku kembali pada pertanyaan Leila. Apa yang tidak kusukai? Aku tidak suka perempuan. Aku tidak suka menjadi perempuan. [*]
Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.
Editor: Inu Yana