Tersebutlah sebuah kisah dari Desa Sarinah. Konon, jika seseorang meninggal, maka kamarnya tidak boleh ditempati selama empat puluh hari. Jika pantangan tersebut dilanggar barang semalam saja, masyarakat percaya ada harga yang harus dibayar.
Dan hanya kematian yang bisa menebusnya.
Diana terkesiap mendengar bisik-bisik ilusi itu. Ia tebangun tatkala malam semakin tergelincir menuju fajar. Di sebuah kamar sempit nan usang peninggalan neneknya. Terbasuh gerimis tatkala kilat menyambar. Menerangi sekaligus menggelapkan kembali dalam sekejap.
Baru malam pertama saja aku sudah merinding. Sembari bangkit, teringatlah gadis itu akan rencananya menghabiskan libur akhir semester di rumah Kakek. Dia berniat merawat beliau yang tinggal seorang diri pasca-Nenek meninggal tempo hari. Di kamar mendianglah ia menghabiskan malam, meski hawa aneh masih menggantung rendah sepeninggalannya.
Tertatih-tatih Diana berjalan menuju pintu, hendak ke dapur. Gelap sekali. Hanya ada beberapa pancar petromaks kekuningan di seluruh penjuru rumah, terkecuali kamarnya. Di tengah keremangan itu, terdengar sebuah suara lirih.
“Jangan keluar, Nduk. Jangan keluar.”
Diana yang sudah di ambang pintu menoleh. Tidak ada siapa-siapa.
“Siapa di sana?” gumamnya sembari terus berjalan ke luar.
Mendadak pintu di hadapannya tertutup. Angin bertiup kencang menarikan gorden jendela. Saat berhenti, terbentuklah sebuah siluet perempuan tua tengah bersiap melempar sebilah pisau.
“Nenek?!” pekiknya mengalahkan desing pisau yang nyata terlempar dari arah jendela, tepat mengenai paha kiri Diana.
Siluet itu menghilang. Pandangan Diana lantas mengabur sebelum akhirnya ia jatuh pingsan. Darah mengucur dan menggenangi kaki dan tubuhnya yang tertekuk.
“Selamat malam, Nduk. Jangan pergi dulu, karena Nenek membutuhkanmu.”
***
Malam selanjutnya, Diana bangun sempoyongan. Kakinya masih terasa perih, namun tak ada bekas luka ataupun darah sama sekali. Kamar neneknya masih gelap, dan di luar pun masih hujan.
Yang tadi … hanya mimpi?
Pandangannya kini tertuju pada benda-benda aneh di sekelilingnya. Rajangan bunga kantil, kemenyan, golok, dan yang paling aneh, sebuah kepala kambing. Entah dari mana asalnya.
Apakah mungkin tempat ini memang berhantu seperti kata mimpinya? Apakah Kakek menjadikan bekas kamar istrinya sebagai tempat persembahan yang terkenal di budaya Jawa? Ataukah ada hal lain yang dirahasiakan darinya?
Tidak ada yang tahu.
‘Tapi kematian selalu tahu segalanya,” ujar sebuah suara tanpa wujud di tengah kebingungan remaja belasan tahun itu.
Bergegaslah ia menemui Kakek. Mungkin memang bukan ide bagus untuk tidur di kamar ini sekali lagi.
“Kek….”
Kakeknya yang juga baru bangun terkaget-kaget dengan kehadiran Diana, lalu kemudian tersenyum bahagia. Kontras dengan wajah linglung cucunya.
“Kenapa, Sur? Kamu mimpi buruk?” ia memanggil Diana dengan nama belakangnya, Suriati, sama seperti nama neneknya.
“Bukan, Kek. Memang kamar Nenek yang berhantu. Bukannya kita dilarang menempati kamar orang yang sudah meninggal?”
Sang Kakek tersenyum semakin lebar, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Benarkah? Coba ceritakan ada apa saja. Kakek akan periksa.”
Diana lantas menjelaskan apa yang dialaminya kemarin malam. Mulai dari suara-suara ghaib, luka dalam di kakinya, hingga benda-benda aneh yang dilihat saat ia membuka mata, semua diceritakan apa adanya. Sementara Kakek mendengar sembari tetap menyungging senyum. Mereka lantas beranjak menuju kamar yang dimaksud.
Kamar seukuran empat kali dua meter itu berisi sebuah kasur usang dan lemari kayu yang sama tuanya. Terdapat sepasang jendela kecil di samping kasur. Langit-langitnya sangat berdebu seperti usia penghuninya. Kakek sama sekali tidak terkejut, bahkan setelah melihat benda-benda ganjil macam sesajen dan kepala kambing berserakan di dalamnya.
Setelah masuk, pria berambut putih itu mengunci pintu dan meredupkan petromaks yang dibawanya.
“Harusnya kamu tahu sejak awal, Nduk. Dilarang tidur di kamar orang mati sebelum masa empat puluh hari.” Ia membuka jendela kamar, lantas melanjutkan…
“Dan karena ini semua adalah permintaanmu, Suriati.”
Diana segera sadar. Suriati yang dimaksud bukanlah dia, melainkan neneknya. Remaja itu segera berlari menuju pintu tatkala kakeknya menjerit meneriakkan nama mendiang istrinya ke luar jendela.
Percuma saja. Terkunci.
“Kamu di sini sebagai wadah atas jiwa nenekmu, Nduk. Dia akan hidup kembali. Selamanya.”
Hah?!
“Pertama, rajangan bunga dan sesajen sebagai syarat. Kedua, kepala kambing yang menghisap auramu sebelum diganti oleh aura nenekmu. Mungkin kamu tidak sadar, tetapi ketika kamu bercermin, akan tampaklah wajah rupawan seorang Suriati.
“Ketiga, golok untuk mendapatkan darahmu. Namun, nenekmu sangat tidak sabaran. Kemarin malam dia melemparmu dengan pisau, bukan? Kurasa tak perlulah terjadi pertumpahan darah lagi malam ini.
“Kau mengerti?”
Luka kemarin malam tiba-tiba terbuka kembali lengkap dengan pisau yang masih menancap dalam. Diana jatuh terduduk. Dinginnya malam dan ketakutan bersatu merangkul tubuhnya. Bergetar. Mengigil risau. Apa yang sebenarnya terjadi kini masuk akal, tetapi benar-benar di luar nalarnya. Bagaimana dia bisa menjadi tumbal untuk keabadian neneknya? Bagaimana mungkin ia bisa diperdaya dengan begitu bodohnya.
“Kita akan mulai upacaranya.”
Hujan di kamar itu semakin hebat, kali ini disertai jerit-jerit penuh sengsara. Jeritan yang teramat menderita dari alam kematian sana.
Di tengah gaduhnya semesta, terdengar sebuah bisikan keji dalam kepala Diana.
Kematian akan menyelamatkan.
Kematian akan membahagiakan.
Kematian mungkin memilukan, tetapi sarat akan kesenangan.
Kewarasannya mulai rapuh. Suara itu semakin merontokkan keyakinannya akan hidup. Menjatuhkan segala prinsip dan alasan atas keberadaannya. Dia putus asa.
Sekali lagi, kematian akan menyelamatkan.
Jangan pedulikan Nenek. Tetap saja aku menjadi mayat hidup jikalau ia menempati tubuhku.
Dicabutnyalah pisau yang setia menancap dalam di paha kirinya. Perihnya menusuk tulang. Sakitnya meledakkan ubun-ubun. Terucap sebait kalimat tasbih yang terburu-buru dibacanya. Inilah keputusan paling sulit dalam hidupnya.
Yang tersulit dan yang terakhir pula.
Selamat tinggal.
Dan ia pun jatuh.
***
Tahukah engkau?
Tahukah engkau, wahai Teman, apa yang pertama kudengar saat sekali lagi bangun dari mimpi buruk.
Seseorang bertanya kepadaku.
“Siapa Tuhanmu?”(*)
Seorang penulis amatir dan penikmat seni bernama Muhammad Da’i Kuncoro atau Mudaro_kun sebagai nama pena. Tinggal di Medan, saat ini menjadi pelajar di MAN 2 Model Medan dan sibuk mencari jati dirinya di berbagai semesta. Hobi menonton film dan diskusi terbuka.
E-mail : muhammaddai_k@ymail.com
FB: Muhammad Dai Kuncoro
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan