A Review : Ketika Lokalitas Mendunia
Oleh : Ardhya Rahma
Judul: LA RANGKU : Yang Terlahir dari Keriangan dan Kehilangan
Penulis: Niduparas Erlang
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: 2017
Hal : xv+213 halaman
ISBN: 978602037576
Sinopsis :
Bapak bercerita tentang layang-layang pertama, tentang Kaghati dari Muna. Tentang seorang raja bernama La Pasindaedaeno yang mengorbankan anaknya, La Rangku, yang kemudian di makamnya tumbuh gadung. Tentang layang-layang dari daun gadung dengan benang dari serat daun nanas, Kaghati, yang diterbangkan selama tujuh hari tujuh malam lalu benangnya diputus pada malam terakhir. Tentang kepercayaan suku Muna pada Kaghati yang akan terbang mencapai matahari dan memberkati mereka.
Dan Wadi kembali memiliki mimpi menjadi La Rangku, menjadi layang-layang dan terbang menuju matahari. Tetapi Wadi tak ingin terbang ke matahari, melainkan ia ingin terbang ke surga, ke tempat ibunya berada. Ia ingin terbang bersama Bapak, menemui Ibu, memenuhi undangannya. Hidup berbahagia dalam rumah megah yang di bawahnya mengalir sungai madu, sungai susu, sungai air mineral. Bukankah matahari dan surga sama-sama lebih tinggi dari awan-awan, dari bintang-gemintang? batinnya. Maka Wadi pun meminta dibuatkan layang-layang.
Review :
Buku ini awalnya diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur pada 2011, karena menjadi pemenang kompetisi pada Festival Seni Surabaya 2011. Hal itu yang membuat saya tertarik untuk membeli buku ini.
Saat mengetahui di tahun 2016 kumpulan cerpen ini diterjemahkan ke bahasa Inggris dan bahasa Jerman oleh Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Saya makin tidak sabar untuk membacanya.
Kumpulan cerpen ini bertema lokalitas yang mengangkat kebudayaan Sunda. Tentu saja karena lokalitas ada istilah yang tidak saya pahami. Itu sebabnya beberapa kali saya perlu membaca catatan kaki agar saya bisa memahami sejumlah istilah daerah yang digunakan dalam cerita.
Butuh waktu buat saya untuk memahami cerita-cerita yang tersaji di buku ini. Bukan karena diksi yang digunakan terlalu asing atau mendayu-dayu. Sebaliknya saya suka gaya bahasa yang dipakai oleh penulis.
Saya butuh waktu lebih, karena perlu beberapa kali membaca satu cerita pendek yang ditulis. Pilihan genre yang ditulis tidak semuanya realis, ada realis magis, bahkan surealis, membuatnya tidak mudah dipahami hanya dengan sekali membaca.
Saya menjumpai gaya menulis yang unik di buku ini. Penulis sepertinya senang membentuk kata ulang yang tak biasa. Contohnya : berjalin-kelindan, menari-tari, berpeluk-cium, memukul-pukul, bepercik-mencelat, terbengong-melompong, menimpa-menusuk, dan lain-lain. Perbendaharaan kosa kata saya juga bertambah, karena ada yang jarang digunakan, semisal: menyenyum, terpiuh-piuh, mendusin, bersirobok, lamur, lelatu, dan sederet lainnya.
Saya juga belajar tentang membuat kalimat yang ringkas dan padat. Dua kalimat atau perbuatan yang dilakukan bersamaan ditulis dengan tanda hubung untuk menjelaskan adanya keterikatan rima. Misal :
Ruangan kembali senyap-gelap-pengap (pengganti dan)
Mengendus-mendengus (pengganti kemudian/ sembari)
Akal waras (bukan akal sehat)
Gulita (tanpa gelap)
Teknik menulis fiksi “show, don’t tell” juga membuat saya larut dalam setiap goresan ceritanya. Saat membaca cerpen berjudul “Sula” saya dibuat bergidik karena penulis menuliskan secara detail bagaimana Mang Karaji kehilangan jempol kiri akibat tebasan senjata tajam ketika mengupas kelapa. Saya dibuat seakan-akan menyaksikan adegan sebuah film di depan mata, bukan membaca narasi.
Pesan dan pendalaman karakter di setiap cerita kuat, unsur-unsur pembangun ceritanya pun kokoh. Saya menikmati proses membaca setiap cerpen, memendam rasa penasaran, mencoba menebak ending, tetapi selalu berakhir dengan mendapat kejutan. Ending tak terduga di keseluruhan cerpen buat saya menjadi daya tarik tersendiri sekaligus menunjukkan kepiawaian sang penulis. Tak heran, penulis mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2020 kategori fiksi pada buku terbarunya.
Ada beberapa kutipan yang saya suka :
Namun, apakah menarik kalau aku mati sebelum menjadi apa-apa, menjadi siapa-siapa? Tidakkah akan percuma dan sia-sia kematian serupa itu. Dan betapa entengnya perjalanan hidup (halaman 64)
Baginya, keheningan di area pemakaman adalah semesta pertama yang diciptakan Tuhan. Semesta sunyi yang terbungkus tiga lapis kegelapan, serupa rahim ibu (halaman 163)
Apakah buku ini sempurna dan tidak memiliki kekurangan? Tentu saja tidak.
Bagi saya kekurangannya selain adanya typo adalah pemilihan cover. Cover terkesan seperti cerita anak-anak, meskipun mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan cerpen berjudul La Rangku. Cerpen yang juga menjadi judul buku ini memang bercerita tentang layang-layang. Namun, gambarannya kurang pas untuk cover. Terlalu ceria dan seperti kumpulan cerita anak. Saya lebih suka cover lama versi Festival Seni Surabaya. Itu penilaian pribadi dan tentunya tidak memengaruhi kualitas cerita di buku ini.
Jadi, buku ini sangat layak dikoleksi karena termasuk salah satu buku berkualitas.
Selamat membaca!
Surabaya, 7 April 2021
Ardhya Rahma, penulis yang mencintai buku, koper, dan ransel.
Editor: Uzwah Anna