Aku, Cinta, dan Realita
Oleh : Inu Yana
Setelah puas mencoba beberapa setel baju dan membayarnya, kini Mira beralih ke counter sepatu dan sandal. Memilih-memilih, kemudian berlenggak-lenggok di depan kaca memantaskan diri. Entah sudah berapa pasang sandal dia jajal. Namun sepertinya belum menemukan yang pas di hatinya. Selalu begini, tapi demi bisa menghabiskan malam di balik selimut yang sama dengannya, aku rela—termasuk ketika dia menguras isi dompetku.
“Ini bagus nggak, Mas?” tanyanya sambil mengangkat sebuah sepatu bertumit tinggi dan runcing berwarna putih tulang.
“Bagus,” jawabku dengan mata tak lepas dari layar ponsel.
“Ih, aku minta pendapat kamu ….” Mira memonyongkan bibirnya yang merah menggoda.
“Iya, bagus. Apa sih yang enggak buat ka–“ Kalimatku terpotong karena tiba-tiba aku melihat sosok seorang tidak jauh di belakang Mira. Sosok yang sangat ingin aku lupakan tetapi begitu kurindukan.
“Apa, Mas?” tanya Mira, yang kemudian ikut menoleh ke belakang. Akan tetapi sosok itu sudah tidak terlihat. Dia kini sedang membungkuk mencoba sepasang sandal dan kebetulan terhalang rak-rak sepatu.
“Nggak papa. Yang tadi bagus kok,” kataku gugup.
“Tapi aku enggak begitu suka.” Mira meletakkan sepatu tadi ke tempatnya dan kembali melihat-lihat yang lain. Dasar perempuan, kalau tidak suka kenapa harus menanyakan pendapatku segala? Aku terus mengikuti Mira, tetapi mataku terus mengawasi gerak-gerik perempuan tadi.
Nawang, nama perempuan itu. Dia mantan kekasihku dua tahun yang lalu, sebelum dia memutuskan meninggalkanku dikarenakan orangtuanya yang tak merestui hubungan kami. Dia tetap cantik meski separuh wajahnya tertutup masker. Badannya yang kini lebih gemuk dengan perut membuncit sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. Sejak tadi jantungku berdegup kencang melihatnya. Jujur, aku masih sangat mencintainya, dan berharap suatu saat ia kembali.
Nawang, perasaan belum lama ini dia menikah. Aku bahkan menghadiri pernikahannya—meski hanya sampai depan pintu gedung karena tak sanggup melihatnya bersanding dengan lelaki lain. Secepat itu ia hamil? Tiba-tiba nyeri menusuk jantung. Aku ingin tahu jawabannya. Dan akhirnya aku memperoleh kesempatan itu. Saat kulihat ia keluar dari counter sepatu dan berbelok ke lorong arah toilet mal, aku menyusulnya. Tentu saja dengan cara berbohong dulu kepada Mira.
Setelah kurang lebih lima menit menunggu di depan pintu toilet wanita, Nawang keluar. Sepertinya dia terkejut mendapatiku ada di sana. Wajahnya tegang. Dia juga menengok ke kiri-kanan, seakan mencari pertolongan. Tak terlihat orang di sepanjang lorong, begitu juga di toilet wanita. Mal memang sedang sepi, efek batasan sosial yang sedang diterapkan oleh pemerintah.
“Hai,” sapaku ramah sembari membuka masker yang menutupi wajah. Kuberikan senyum terbaikku.
“Hai juga,” jawabnya gugup. Ia tetap menggunakan maskernya.
Sesaat kami saling diam. Aku bingung harus memulai dari mana. Namun ketika ia hendak berjalan meninggalkanku, segera kutarik tangannya.
“Yang sopan!” serunya seraya menepis tanganku. Aku segera meminta maaf dengan cara menangkupkan tangan. Aku sedikit merasa lega saat Nawang mengangguk.
“Kamu? Hamil?”
“Iya.”
Jawabannya yang singkat tak memuaskan hatiku. Dia hamil. Apa karena ini dia buru-buru menikah dengan Harun? Pertanyaan yang masih tersimpan di hati itu melemparku pada pertemuan kami yang terakhir sekitar dua tahun yang lalu.
“Kamu cinta sama aku?” tanyaku kepada gadis cantik berambut lurus sebahu yang saat itu duduk di sampingku, di ruang tamu rumahku yang sepi. Kebetulan, hari itu kedua orangtua dan adik-adikku sedang pergi ke Jakarta, menghadiri pernikahan saudara. Aku yang tidak bisa ambil cuti kerja tidak bisa turut serta dan tetap tinggal di rumah.
“Aku cinta banget sama kamu, Hen,” jawabnya. Gadis itu menunduk sambil memain-mainkan ujung jari. “Tapi … orangtuaku nggak suka sama kamu.”
“Apa alasannya?”
“Bapakku pernah liat kamu keluar dari hotel bersama perempuan,” tandasnya sambil menatapku.
“Kamu percaya aku seperti itu?”
Gadis itu menggeleng, lalu berkata, “Entah. Aku enggak tau.”
“Okelah, aku memang pernah ke hotel dengan perempuan lain. Tapi, itu dulu, Nawang, sebelum kenal kamu. Setelah bertemu kamu, aku nggak pernah lagi menemui gadis itu. Aku sekarang cuma cinta sama kamu. Aku pengen nikah sama kamu.”
Aku memegang tangannya dan menatap wajahnya, tetapi Nawang terus saja menunduk meski aku terus mencoba meyakinkannya. Aku tahu, gadis ini sebenarnya pun mencintaiku, namun keyakinannya kerap kali goyah oleh keputusan orangtuanya.
Aku sedikit lega saat Nawang mengangkat muka. Namun, sedetik kemudian aku kecewa saat mendengar dia berkata, “Kita pisah aja.” Kemudian kembali menunduk tanpa menunggu jawabanku.
“Tidak, Nawang. Kita tidak boleh pisah. Kita akan menikah. Kita akan punya anak, kalau perlu sampai sebelas agar kamu tak perlu sedih lagi karena selalu kesepian menjadi anak tunggal. Kita akan menikah, walau tanpa restu bapakmu. Kita akan bersama-sama, sampe tua, sampe salah satu dari kita harus terkubur di tanah.”
Nawang menangis, bahunya naik turun seiring dengan isak tangisnya. Gadis sembilan belas tahun itu tak lagi mampu menyembunyikan kesedihan. Aku merengkuhnya ke dalam pelukan, membelai rambutnya dan menciumi kepalanya. Aku mencintainya, sungguh mencintainya. Aku jatuh cinta sejak bertemu dengannya lima bulan yang lalu, dan aku sangat ingin memilikinya. Tiba-tiba sebuah ide jahat terlintas di pikiranku.
“Nawang, kamu mau menikah denganku?”
Gadis itu mengangguk.
“Aku tahu gimana caranya agar bapakmu mau menikahkan kita,” bisikku.
“Apa?” tanyanya pelan sambil menatapku.
Aku tak menjawab, hanya balas menatap wajah indah itu. Nawang begitu cantik. Bahkan dalam keadaan mata sembap pun dia benar-benar menggoda. Perlahan aku mendekatkan wajah dan mengecup bibirnya lembut. Tak ada perlawanan sama sekali, gadis itu bahkan seperti menikmati permainanku.
“Kamu ingin tahu caranya?” tanyaku saat bibir kami tak lagi berpagut. Nawang mengangguk.
“Dengan ini–“
Plak! Tiba-tiba rasa panas menjalar di pipi kiriku. Nawang menamparku saat tanganku menyentuh bagian bawah tubuhnya yang masih berlapis celana jin. Panas dan perih membakar pipi. Aku merasakan sedikit asin di sudut bibir.
“Jangan kurang ajar, kamu!” serunya seraya menunjukku. “Kamu bisa cium-cium aku, tapi untuk yang satu itu, no!”
“Maaf, Nawang, tapi hanya dengan cara itu kita bisa dapatkan restu Bapak,” jawabku, masih memegangi pipi yang masih terasa panas. “Kamu harus hamil, biar kita bisa nikah,” lanjutku.
“Maaf, Hen, sepertinya Bapak benar. Kamu bukan pria baik. Kita putus!” Begitu katanya, sebelum akhirnya bangkit menyambar tasnya yang tergeletak di kursi dan beranjak pergi. Meninggalkan aku yang berdarah di sudut bibir, dan hati.
“Hendra, kamu mau apa?” Pertanyaan Nawang seakan menarikku kembali dari ruang tamu rumahku ke toilet wanita mal ini. Perempuan itu bersedekap seraya menatapku angkuh.
“Karena ini kamu menikah dengan Harun?” Aku menunjuk perutnya.
“Jaga mulut kamu! Aku nggak semurahan yang kamu pikir. Aku menolakmu, juga siapa pun, sebelum terikat pernikahan. Paham?”
“Tapi ….?”
“Apa? Karena resepsiku baru empat bulan lalu?”
Aku mengangguk.
“Apa aku harus cerita-cerita ke kamu kalau aku sudah menikah dengannya delapan bulan lalu? Apa harus, nikah langsung pesta-pesta? Mikir!”
“Nawang!” seruku seraya mencekal lengannya ketika ia hendak pergi meninggalkanku. Aku kemudian menariknya ke dalam pelukan. Ia berontak saat aku menarik masker wajahnya, hendak menciumnya. “Aku rindu kamu, Nawang.”
Plak!
Dia menamparku, membuatku melepas pelukan dan beralih memegangi pipi yang terasa panas.
“Kamu memang kurang ajar,” ujarnya dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Kemudian dia membalikkan badan hendak meninggalkanku.
“Nawang!” seruku.
Dia berhenti, menoleh sedikit kepadaku tanpa membalikkan badan. “Hendra, aku bersumpah demi langit dan bumi, aku tidak menyesal berpisah denganmu, laki-laki yang tidak bisa menghargai perempuan,” ujarnya dengan suara gemetar. Setelah itu, ia berjalan meninggalkanku. Gegas. Perutnya yang buncit tak menghalangi pergerakannya sama sekali.
Sedangkan aku, masih bersandar di tembok depan toilet wanita, memandangi punggungnya yang menjauh meninggalkanku. Aku yang berdarah, di sudut bibir, dan hati. [*]
Cikarang, 5 April 2021
Inu Yana. Sewaktu kecil senang sekali menuliskan hari-harinya pada sebuah diary kecil berkunci dan tak ingin seorang pun membacanya. Kini, setiap kali menulis ia sangat ingin semua membacanya.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata