Luruh Hati
Oleh: Fei Ling
Wijaya Airlines, 04 Maret 2021
“Selamat datang di Wijaya Airlines, Ibu. Semoga perjalanan Ibu menyenangkan,” sapa ramah seorang pramugari kepadaku.
Kalimat salamnya membuatku sedikit kaget, karena saat itu aku sedang sibuk menenangkan Gemas.
“Mari saya bantu mencarikan tempat duduk,” tawarnya.
“43B, C, D, dan E, Mbak,” anggukku sembari menyodorkan tiket.
Hmmm, namanya Dela, batinku usai melirik name tag-nya.
Dia melihat semua kerepotanku menggendong Gemas yang baru berusia tiga tahun dan menggandeng Raisa yang berumur empat tahun. Sesekali dia menatap heran ke arah suamiku yang tampak tidak peduli dengan istri dan anak-anaknya.
“Silakan, Bu. Ini seat Ibu dan keluarga.” Dia menunjukkan deretan kursi milik kami.
“Makasih, Mbak,” sahutku.
Gemas duduk di sebelahku dan Raisa di sebelah ayahnya. Mereka mengobrol diakhiri tawa Raisa.
Ah … bapak dan anak itu mampu membuatku sedikit tersenyum. Ya, meskipun Mas Valent, bukan suami yang baik, tetapi dia adalah ayah yang hebat.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata mengingat perlakuan Valent kepadaku siang tadi. Air mata kedua di hari ini.
“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Wijaya Airlines dengan tujuan Singapura. Penerbangan ini akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih satu jam tiga puluh menit, dengan ketinggian jelajah 12.000 kaki di atas permukaan laut. Perlu kami sampaikan bahwa penerbangan ini adalah bebas rokok. Sebelum lepas landas kami persilakan untuk menegakkan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja di hadapan Anda, mengencangkan sabuk pengaman, dan membuka penutup jendela. Kapten Zory Diputra dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, dan terima kasih atas pilihan Anda untuk terbang bersama kami.”
Terdengar suara merdu pramugari menginformasikan detail penerbangan sesuai Standar Operasional Prosedur Aviasi.
19.19 WIB
Pesawat sudah lepas landas tanpa masalah. Terlihat lampu tanda mengenakan sabuk pengaman juga sudah dimatikan.
Mas Valent yang ada di seat tengah sedang membaca buku dan Raisa di *aisle seat terlihat asyik dengan bonekanya. Mereka bertukar tempat karena Raisa ingin ada di dekatku. Tumben dia bisa duduk diam, aku tersenyum kecil melihatnya.
Gemas pun terlihat anteng duduk di sebelahku sambil melihat ke jendela. Aku memejamkan mata sejenak untuk menikmati ketenangan yang kuyakini hanya berlangsung sesaat.
Tidak lama kemudian lampu tanda mengenakan sabuk pengaman dinyalakan kembali. Biasanya, akan ada lagi informasi tentang kondisi pesawat atau keadaan cuaca saat ini.
“Well, halo semua. Sepertinya Anda harus mengubah seluruh rencana yang Anda buat, karena pesawat ini tidak akan terbang menuju Singapura seperti tujuan semula. Kita akan menuju lokasi lain, sampai seluruh tuntutan yang kami buat dipenuhi otoritas di Jakarta. Be good, and we will keep you safe. Nggak usah sok pahlawan, atau kita semua mati.”
Aku tersentak dengan suara keras tembakan yang terdengar. Refleks kuraih Gemas dalam pangkuanku. Hah! Apa yang terjadi? Raisa melihat ke arahku karena terusik dengan suara yang aku timbulkan. Raut wajah Mas Valent tak beda denganku.
Apa ini? Aku masih belum bisa mencerna kejadian barusan. Aku melihat pramugari yang membantuku tadi ditodong senjata oleh salah satu penumpang pria.
Sebentar! Apakah pesawat ini dibajak? Seperti film-film yang pernah aku tonton? Apakah ini mimpi? Raisa dan Gemas mulai menangis karena suasana di sekelilingku mulai gaduh. Banyak orang menjerit dan menangis. Aku yakin anak-anakku tak mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi karena melihat reaksi orang di sekeliling kamilah yang membuat mereka menangis.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
“Mas, bagaimana ini?” tanyaku kepada Mas Valent yang tampak tegang memperhatikan pramugari yang sedang ditodong itu.
“Apanya yang bagaimana? Aku juga tidak tahu!” seru Mas Valent.
Suasana semakin kacau ketika para pembajak membentak para penumpang yang terlihat panik dan gaduh.
Selebihnya kami hanya bisa terdiam. Aku sibuk menutup mata dan telinga kedua anakku. Raisa menempel erat tubuhku karena sengaja kubenamkan wajahnya dalam rengkuhan lenganku. Aku hanya mampu terpejam, memikirkan hal-hal menyenangkan sambil sesekali bersenandung agar anak-anakku tenang. Aku menguatkan hati untuk mengabaikan apa yang tengah terjadi.
Lamunanku mulai mengembara tanpa bisa aku cegah.*
***
Jakarta, 03 Maret 2021
Sekarang atau lima puluh tahun lagi
Kumasih akan tetap mencintaimu
Tak ada bedanya rasa cintaku
Masih sama seperti pertama bertemu
Lagu berjudul “50 tahun lagi” milik Yuni Shara yang kuatur menjadi nada dering ponsel berkumandang. Aku yang sedang sibuk di dapur bergegas meraih ponselku yang kuletakkan agak jauh. Kode negara Singapura terlihat di layar, dan kutahu itu dari Yoyok.
“Halo”
“Mbak Vaicha!” Suaranya terdengar panik.
Yoyok adalah adik bungsuku yang saat ini menemani Ayah menjalani pengobatan kanker paru stadium tiga di National University Cancer Institute Singapore (NCIS).
“Yok, ada apa? Perasaanku mulai tidak enak.
“Ayah, Mbak!”
“Tenang, Yok. Ada apa dengan Ayah?” Suara Yoyok makin meninggi nadanya.
“Ayah kritis. Semalam kaliumnya drop. Hingga pagi, ini Ayah masih belum bangun dari tidurnya. Kata dokter, tanda vital Ayah semakin lama semakin menurun.”
Aku menghela napas, berat.
“Aku harus bagaimana, Mbak?” Suaranya terdengar bingung dan putus asa.
“Oke … oke. Mbak bilang dulu sama Mas Val. Jika memungkinkan kami dapat tiket, sekarang juga Mbak menyusul ke sana. Kamu tenang dulu, ya.”
Begitu menutup panggilan telepon dari Yoyok, aku segera menghubungi ponsel suamiku.
Failed! Aku tidak bisa tersambung dengan Mas Valent. Bisa jadi dia sedang rapat, sehingga ponselnya dimatikan.
Bingung … itulah yang kurasakan. Antara langsung mengambil keputusan ataukah menunggunya. Mas Valent biasanya akan marah apabila keputusan diambil tanpa sepengetahuan dia.
Ah biarlah, ini menyangkut keadaan ayah kandungku. Ayah sekaligus ibu buatku. Ibu meninggalkan aku dan Yoyok ketika kami masih kecil. Beliau menyerah dengan kanker kandungan yang diderita setelah setahun melahirkan Yoyok.
Dengan segala resiko, akhirnya aku menghubungi seorang teman supaya memesankan tiket ke Singapura untuk kami berempat. Dan di sinilah kami berada sekarang, di dalam pesawat Wijaya Airlines.
Seperti yang sudah aku duga, sebelum berangkat, Mas Valent marah luar biasa mengetahui kami harus ke Singapura malam ini. Dia sudah terlanjur mengiakan acara makan malam dengan kolega dan terpaksa batal. Segala sumpah serapah dia lontarkan, menudingku sebagai istri yang tidak menghormati suami karena berani mengambil keputusan sendiri.
Aku menangis, terluka oleh sumpah serapahnya. Makian dari Mas Valent, sudah biasa aku terima. Aku jarang menangis, karena aku tahu apabila aku menangis, maka air mata akan keluar sepanjang hari itu. Mitos atau fakta, aku tidak tahu. Namun, itu pasti selalu terjadi.
Aku tidak boleh menangis! Aku menguatkan hatiku.
Tadinya Mas Valent tidak mau ikut, tetapi aku memaksanya. Memang dia mau menemani kami, tetapi dengan syarat, tidak bakal mau membantu segala kerepotanku.
Aku tidak peduli. Demi Ayah, aku melakukan segala cara untuk menemuinya. Ketakutanku saat itu, tidak bisa ada di samping Ayah untuk terakhir kalinya.
***
Gemas mulai gelisah. Aku lupa mengeluarkan botol susunya. Mas Valent sungguh-sungguh dengan syarat yang dia ucapkan saat mengiyakan perjalanan ini.
Aku menatapnya, berharap dia menawarkan bantuan. Namun, Mas Valent hanya menatap Gemas sesaat. Jujur, rasa-rasanya aku ingin menjerit saja. Aku menolehkan pandanganku ke sekeliling, berharap menemukan salah seorang pramugari, untuk meminta bantuan menurunkan tas berisi botol susu Gemas dari bagasi pesawat.
Namun, hanya ada dua orang pramugari yang ada, itu pun mereka sedang sibuk menenangkan seorang penumpang yang tampak histeris. Entah apa yang diserukannya sehingga memancing pembajak untuk menendang perut pria itu. Kubujuk Gemas dan Raisa untuk tenang karena mau tidak mau aku harus bangun mengambilnya sendiri.
“Suruh Gemas diam! Heran! Mengurus satu balita saja, kau tidak becus!” hardik Mas Valent sambil melotot kepadaku.
Aku tak menanggapinya. Dengan berdebar, aku bangun dan beringsut perlahan keluar dari kursiku.
“Hei, kamu! Mau apa kau?”
Aku terdiam, berdiri di pinggir kursi. Tiba-tiba saja, salah seorang pembajak berjalan cepat mendekatiku seraya mengacungkan senjata. Mas Valent sengaja memejamkan mata seolah-olah tidak ada yang terjadi. Padahal, dia tahu istrinya dalam bahaya.
“Sa-sa-saya mau mengambil botol susu anak saya ….”
Pembajak itu melirik Mas Valent, entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Ambil dan jangan coba macam-macam,” ancamnya tetap mengacungkan pistol.
Sungguh, aku menahan sekuat hati agar bendungan air mata ini tak meluruh. Bukan karena aku takut ancaman pistol pembajak itu, tetapi ada hal lain. Dua anakku, aku khawatir dengan mereka.
Gemas dan Raisa akhirnya bisa tenang karena sudah asyik dengan susu dan makanan ringan yang aku sodorkan. Namun, tidak denganku hati dan harga diriku.
Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir tiga jam, aku dan seluruh penumpang terjebak dalam pesawat dengan keadaan tertawan, tidak tahu apa yang akan terjadi. Satu hal yang aku tahu sepanjang waktu kami didera ketegangan dan ketakutan, dihadapkan dengan pemandangan-pemandangan mencekam dari penumpang yang putus asa. Ancaman para pembajak yang tidak menutup kemungkinan bisa membunuh kami. Entahlah, apa yang diinginkan para pelaku kriminal itu? Apakah orang-orang di daratan sana tahu keadaan kami? Ah, entahlah.
Terdengar suara cukup keras menarik perhatianku. Seorang bapak keluar dari toilet pesawat dan tidak lama kemudian dia jatuh tersungkur. Mulutnya mengeluarkan busa bercampur darah, melihat hal itu situasi semakin panik. Sayup terdengar seseorang berteriak memanggil dokter, lalu seorang pria lain berlari mendekat ke arah bapak tersebut dan menggelengkan kepala seolah-olah memberitahu bahwa bapak ini sudah meninggal.
Spontan aku merangkul anak-anakku. Raisa terlihat mulai tersengal-sengal, Gemas sudah menangis dari tadi. Tanpa berpikir panjang, segera kupasangkan inhaler ke hidung Raisa. Raisa memang menderita asma dan bisa kambuh setiap saat jika dia dalam keadaan gelisah berat. Seandainya ada apa-apa dengan Raisa, aku masih tenang karena ada dokter di pesawat ini.
Sesekali aku melirik Mas Valent. Aku heran bagaimana bisa dia begitu terlelap tanpa memikirkan aku dan anak-anakku?
Pikiran buruk tiba-tiba melintas di benakku. Tuhan pasti membenci apa yang aku pikirkan ini, tetapi sebagai seorang wanita, aku merasa tak salah. Cukuplah sudah enam tahun yang aku habiskan sebagai perempuan lemah.
Cukup ….
Air mataku benar-benar meleleh … tanpa isak.
Ya! Aku akan melakukan sesuatu terhadap kondisi rumah tanggaku, tentu saja setelah urusan di Singapura selesai.
Gemas memainkan pipiku. Kelakuan dia membuatku tersenyum. Tawa kecil yang hadir di tengah ketegangan. Tidak lama kemudian terdengar suara jeritan. Terlihat di ujung sana ada yang meninggal lagi, tak tahu siapa kali ini. Aku mencoba tak ingin tahu hanya agar semata tetap bisa tenang, demi kedua anakku. Selebihnya, hanya bisa menangkap kasak-kusuk penumpang di belakangku tentang apa yang terjadi detik demi detik.
Aku benar-benar tak lagi peduli. Begitu pula saat aku mendengar dari penumpang lain bahwa ada tiga korban jatuh dengan cara yang sama. Aku sudah terlampau lelah atas segala hal yang berkecamuk dalam benakku. Raisa tertidur, jatuh bersandar di lengan Mas Valent. Gemas pun terlelap dalam dekapanku.
Tiba-tiba aku dikagetkan suara lantang seorang pembajak. Celotehan pria pembajak di sana tak begitu jelas aku mendengar dia berdebat dengan salah seorang pramugari yang bernama Dela tadi.
Tiba-tiba aku tersadar, Mas Valent dan Raisa tidak ada di sebelahku! Sejak kapan suami dan anakku meninggalkan tempat duduknya? Rasanya tidak mungkin jika mereka berani ke toilet dalam keadaan genting begini? Mengapa aku tidak tahu? Apakah aku sempat tertidur? Puluhan pertanyaan memenuhi benakku.
Aku mencoba tenang dan masih bersikap biasa saja. Mencoba berpikir positif tepatnya. Mungkin tadi Raisa izin buang air kecil dan para pembajak itu menyetujuinya.
“Mas Valent, dari mana?” tanyaku saat melihat Mas Valent kembali duduk, tetapi tanpa Raisa.
“Raisa di mana?”
Tiba-tiba lampu di pesawat padam. Seketika suasana gelap gulita. Samar-samar aku mendengar salah satu pembajak keluar dari kokpit sembari berteriak, “ Gawat! Bahan bakar habis!”
Tubuhku menegang, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi jika bahan bakar pesawat habis dan sistem kelistrikan di pesawat hilang!
Gemas meronta karena aku mendekapnya terlalu erat. Di saat yang sama kurasakan tanganku digenggam oleh tangan yang hampir terlupa bagaimana rasanya.
Benarkah Mas Valent menggenggam tanganku? Tanpa sadar aku menepis kasar tangan itu.
“Raisaaa!” []
*Aisle seat: kursi dekat lorong pesawat
Fei Ling. Seorang yang mencoba menuangkan ide ke dalam rupa tulisan.
Editor: Imas Hanifah N
46 thoughts on “Luruh Hati”