Gerbong Kereta Tua
Oleh: Gloria Pitaloka
Sebuah gerbong tua yang terpisah jauh dari gerbong-gerbong lainnya di stasiun kelas 3 Cikaum menarik perhatianku. Rasa penasaranku sudah dalam tahap akut.
Entah kenapa aku terdampar di kota Subang ini, di stasiun kecil dengan kuburan penyimpanan gerbong-gerbong kereta tua apkiran. Yang kuingat terakhir, aku mendapatkan tiket gratis dari dosen Jurnalistik Foto, sekaligus tugas meliput museum di Kota Lama Semarang. Lalu naik Kereta Matarmaja dari Bandung tujuan Malang.
Walaupun pikiran kacau karena salah tujuan, tetapi kuburan kereta tua, kecamatan dan desa terpencil ini—yang lebih dari sekedar museum bagi gerbong tua—mengalihkan kekecewaanku. Instagramable. Untuk tugas jurnalistik foto, tempat ini mengandung nilai estetika sejarah disertai aroma mistik, menjadi daya tarik tersendiri bagi karya Fotografi Human Interest.
“Itu gerbong kereta hantu,” ujar seorang lelaki, berkumis dan bermata tajam, tukang warung tak jauh dari stasiun.
“Kenapa disebut gerbong kereta hantu?”
“Sebab sering ada penampakan di sana. Kabarnya itu bekas gerbong Kereta Bintaro yang kecelakaan maut. Kalau malam tiba, terkadang ada suara-suara mengerikan. Jerit tangis dan teriak minta pertolongan. Makanya, tidak ada yang berani mendekat, apalagi saat malam.” Ia menjelaskan panjang lebar dengan raut yang dingin.
Kelopak mataku melebar, alis terangkat mendengarnya. “Apa tidak pernah ada yang mencoba menyelidikinya?”
“Sering.”
“Hasilnya?”
Ia terlihat mengela napas. Aku berdebar menunggu jawabannya. “Mereka ditemukan pingsan pada pagi harinya,” katanya.
Mataku membulat. “A-apa yang terjadi?”
Ia mengembuskan napas, seperti berat untuk menjawab. “Katanya melihat penampakan, lalu tengkuknya berat dan tidak ingat apa pun.”
Ini aneh, pikirku. Jujur aku masih penasaran. “Bapak sendiri, apa pernah melihat mmm … penampakan atau apalah namanya?”
“Saya sejak kecil tinggal di daerah ini. Namun, untuk hal-hal gaib tidak pernah melihatnya.”
“Kok bisa?”
“Mungkin, karena sudah terbiasa. Jadi, hantunya sudah bersahabat, Nak.” Bapak itu terkekeh.
“Bapak bisa aja,” ujarku ikut terkekeh. “Bapak, kalau saya mendekati tempat itu, bisakah?”
“Bisa saja, paling izin dulu sama satpam. Kalau tidak, bisa diusir nanti.”
Akhirnya aku pun bisa berjalan-jalan di sekeliling stasiun yang sudah tidak terpakai itu. Kereta akan berhenti hanya untuk menurunkan penumpang, tidak menaikkan penumpang.
Di sana, berjejer gerbong lokomotif listrik, salah satunya, ESS3201 seri 3200 buatan pabrik Werkspoor, Belanda. Sisa peninggalan kereta listrik di Batavia, milik perusahaan Electrische Staats Spoorwegen (ESS). Menelusuri jejak sejarah hasil googling, ESS ini merupakan bagian dari perusahaan Staats Spoorwegen (SS) yang khusus menangani sarana prasarana dan operasional kereta listrik di Batavia (Jakarta). Gerbong-gerbong yang lain keluaran tahun 2007-2009, baik reparasi maupun bekas yang mengalami kecelakaan.
Banyak gerbong tua di sini. Semua berjejer rapi. Namun, ada satu gerbong terpisah, paling jauh letaknya di dekat hutan. Itulah gerbong kereta maut Bintaro.
Setelah meminta izin dengan alasan mahasiswa yang sedang mendapatkan tugas jurnalistik foto, aku mendekati gerbong tua tersebut. Pak Satpam hanya berpesan ‘jangan merusak’.
Gerbong tua itu terlihat rapuh, rumput tumbuh menjalar. Seketika aku seperti masuk dalam kisah tragedi kereta maut Bintaro 1987, tabrakan maut dua kereta. Seperti memasuki lorong waktu, aku seperti mendengar dan melihat jerit tangis kesakitan, darah, dan kepanikan.
Aku mengembuskan napas seraya menggelengkan kepala, menghapus bayangan mengerikan tersebut. Kuarahkan kamera digital. Cekrek! Cekrek. Kuambil beberapa gambar dengan angle berbeda.
Deg!
Aku tersentak ketika mengintip lensa, sekilas kulihat bayangan seorang perempuan berambut panjang, memakai baju putih di balik jendela gerbong. Mataku beralih pada gerbong. Hening. Tak ada apa pun. Cepat kuperiksa hasil jepretan. Normal. Tiada bayangan apa pun. Apa aku salah lihat? Kukucek mata dan menatap tajam gerbong, tetap tidak ada yang berbeda.
Hari menjelang senja, sayup terdengar suara rintihan dan teriakan minta tolong. Mendadak bulu kudukku berdiri. Cepat- cepat, aku angkat kaki.
Hari berikutnya aku kembali mendatangi stasiun. Menggali informasi mendalam pada para saksi. Aku masih belum berani mendekati gerbong itu lagi. Ada semacam warning dari masyarakat sekitar. Gerbong itu area terlarang, kalau melanggar, musibah atau kesialan akan didapat. Namun, entah mengapa aku seakan terus digerakkan untuk datang lagi.
“Jangan dekat-dekat, nanti kena sial. Ada yang gila setelah main ke sana,” kata Pak Umay memperingatkan. Ia opas merangkap penjaga malam, bukan satpam.
Sejujurnya, ingatan tentang gerbong itu begitu mengusikku. Rasanya aku harus menuntaskan, ada rahasia apa di sana? Apa benar gerbong itu berhantu atau hanya sekedar mitos belaka.
Malam begitu dingin dan hening. Aku terus mengamati foto-foto hasil hunting hari ini. Memperbesarnya dan mencari tahu di mana letak salahnya. Bolak-balik melihat foto, memutar, memperbesar. Dan … deg! Dari beberapa foto yang aku dapat ada keanehan-keanehan. Segera aku melingkarinya.
Aku harus menyelesaikannya. Harus! Bergegas aku berganti pakaian.
Berbekal nekat, kini aku kembali. Malam gelap, aku mendekat dan mengendap-endap. Rintihan dan teriakan minta tolong itu semakin terdengar jelas. Lokasi yang jauh tidak memungkinkan orang menyambangi kecuali dengan kesengajaan. Selain itu, lokasi dekat dengan hutan, juga semak belukar. Dan kabarnya ada makam tua juga di sana. Lengkaplah, menambah aroma mistis dan takhayul, sukses menjauhkan warga dari lokasi.
“To-tolong ….” Suara lirih itu kian terdengar. Semakin aku mendekat semakin jelas.
Tiba-tiba aku melihat sosok hitam berkelebat. Mendekat dan memasuki gerbong. Aku diam gemetaran. Apakah itu manusia atau makhluk jadi-jadian?
Setelah sosok bayangan hitam itu memasuki gerbong, suara lirih itu menjadi isak dan teriakan kesakitan. Semakin jelas dan kencang.
Menguatkan hati, aku mendekat ke arah jendela. Aku terbelalak, di dalam sana suatu peristiwa di luar jangkauan nalar terlihat di depan mata.
Sesosok tubuh yang tengah bergumul itu tiba -tiba menoleh dan menyeringai. Sosok yang sangat aku kenal. Tuhan … mati aku, siapa pun tolong selamatkan aku!
Semua terlihat benderang. Seperti di neraka, panas dan sesak menggulungku.
***
Suara sirene mobil polisi dan Damkar masih meraung-raung. Aku duduk dengan lemas. Kulihat seorang polisi menggandeng Opas Umay yang berjalan lesu dengan tangan diborgol.
Dari dalam mobil ambulans, seorang perempuan yang terpasung sekian lama, diberi suntikan penenang dan infus. Kakinya yang terlilit rantai tampak mengelupas. Kurus, kotor, bajunya koyak-koyak. Ia terus berteriak histeris.
Aku harus ke kantor polisi untuk memberi keterangan.
Gerbong kereta tua, tiba-tiba aku merasa ada dorongan untuk menengok ke belakang. Perlahan aku menoleh pada gerbong dalam kobaran api merah sebelum kendaraan melaju. Di sana, di antara kobaran api yang membumbung tinggi, hanya gerbong tua itu yang tak terjilat lidah neraka. Di sana, di balik kaca yang terbias cahaya, sesosok perempuan berambut panjang menyeringai.
“Miranti ….”
Ia memanggil namaku.
Hanya aku dan kamu yang mendengar.[*]
Gloria Pitaloka, perempuan kelahiran Subang, Jawa Barat. Memiliki hobi berpetualang, bersentuhan dengan dunia horor ketika mengasah kepekaan batin, dan membantu orang lain. Bersama suami menerapi pasien gangguan gaib atau santet. Jika butuh bantuan pengobatan gangguan non medis dan medical alternative, sila hubungi kontak Facebook: Gloria Pitaloka
Editor: Inu Yana