Innocent Bos (Part 7)

Innocent Bos (Part 7)

Innocent Bos 

Oleh : R. Herlina Sari

Part 7

 

“Milik Bapak?” tanyaku bengong.

“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu meninggalkan aku yang kebingungan.

Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebutnya hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.

Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu bertindak semaunya sendiri.

Eh, ada yang lupa. Handphone-ku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan. Tak lupa memperbaiki penampilanku yang acak-acakan. Kemudian berjalan keluar dan mencari sosok Pak Nala.

Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luar sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan alam. Langit-langit gelap tanpa bintang, tetapi di bawah sana kerlip lampu penerangan jalan menambah keindahan suasana malam.

Aku terhenyak ketika menyadari malam telah begitu larut. Ah, tidak. Pasti Emak akan bingung mencariku. Terlebih pagi tadi aku tak bilang akan lembur. Bagaimana ini?

“Pak,” panggilku. Namun, Pak Nala masih terdiam, tak mengacuhkan sapaanku. Apakah dia tak mendengar? Atau pura-pura tuli?

“Pak!” teriakku. Karena gemas, aku tepuk pundaknya. Biarlah dia marah asalkan lelaki itu tahu jika aku sedang butuh sesuatu.

“Apa!” sahutnya galak. Ah, lelaki ini memang berubah-ubah. Kadang lembut, kadang galak, kadang memabukkan.

Handphone saya mana, Pak? Saya mau menelepon Emak di rumah. Takut beliau khawatir karena sudah jam segini belum pulang,” jelasku.

Tangan Pak Nala merogoh saku dan memberikan benda pipih itu kepadaku. Aku pun menerimanya dan segera menekan nomor telepon Emak.

“Mak … Shera pulang telat,” ucapku sesaat setelah panggilan dijawab.

“Tumben. Emang kerjaan kamu banyak ya, Nduk?” tanya Emak.

“Enggak, Mak. Aku tadi ketiduran pas siang. Jadi harus menyelesaikannya sekarang.”

“Eeeh dasar kamu, makanya kalau malam disuruh segera tidur itu merem. Jangan cuma iya-iya aja tapi masih streaming nonton drakor,” ucapnya panjang lebar.

“Dari mana Emak tahu kalau aku drakoran?”

“Suara HP-mu kenceng banget. Bahasanya eonyeony. Kalau bukan drakor lalu apaan? Ah, udah dulu Emak mau lanjut Tik-tokan,” ucap emak. Sebelum aku menyangkal, beliau sudah memutus sambungan.

Apa? Tik-tokan? Sejak kapan Emak suka main Tik-tok? Ah, aku pasti salah dengar. Emak bukan sosok yang gaul sampai harus bertik-tok ria.

Punggungku mendadak dingin. Aku berbalik, dan mendapati Pak Nala melihatku tanpa berkedip. Dia menaruh tangannya di dagu sambil menyeringai tipis. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri, kulitku meremang, aku sangat tegang.

Segera aku mengambil langkah seribu berlari menuju ruanganku. Belum sempat menghela napas di meja kerja, terdengar suara dari belakang yang membuatku terdiam seketika.

“Hei … cewek jutek? Dari mana aja kamu? Bukankah kita udah janjian mau pulang bareng?”

Aku menengok, ada sosok cowok dekil nan usil. Ya, suara itu milik Raka.

“Astaga aku lupa, Ka. Tadi pas makan siang ketiduran. Ini baru bangun,” ucapku.

“Kamu … enggak habis ngapa-ngapain ‘kan, Sher? Kenapa bajumu kusut dan rambutmu berantakan?” Raka memicingkan mata. Seakan ada ragu di dalam benaknya.

“Enggak. Suer. Aku ketiduran tadi … di ruangan Pak Nala,” ucapku lirih.

Aku segera menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Cacing-cacing di perutku mulai berontak minta diisi, apalagi tadi siang aku hanya makan sesuap nasi dari tangan Pak Nala.

Mendengar bunyi nyaring dari dalam perutku, cowok itu kemudian beranjak.

“Tunggu di sini, aku belikan makanan.” Raka berlalu. Dari punggungnya yang tegap tak terlihat kalau bocah itu sebenarnya mempunyai sifat usil. Namun, sejauh ini dia adalah cowok yang baik dan perhatian. Setidaknya sering kali membantu saat aku berada dalam kesusahan.

Sepeninggal Raka kembali terasa sepi. Suasana kantor sangat lengang. Di ruanganku tak ada seorang pun. Jika tidak ketiduran, aku juga ogah untuk stay di sini sampai malam hari. Kembali aku mengetuk-ngetuk keyboard dan memperhatikan laporan demi laporan di layar komputer. Terlalu lama aku duduk fokus, sampai tak sadar jika lelaki tengil itu sudah kembali dengan membawa dua kantong keresek.

Aroma kopi dan nasi goreng tercampur jadi satu. Ah, nasi goreng. Padahal aku tak terlalu suka dengan jenis makanan yang satu itu. Sangat berminyak dan membuat perutku sebah usai melahapnya. Namun, demi seorang teman terpaksa aku akan menyantapnya. Aku tak mau membuat dia khawatir. Lagian, perut ini sudah terasa lapar. Lambat sedikit, aku takut jika penyakit langganan kambuh.

“Sudah kamu lanjutkan aja kerjaan. Aku suapin,” ucap Raka. Dia menyodorkan sesendok nasi kepadaku. Aku pun segera membuka mulut, merasakan suapan pertama dari Raka. Ternyata, rasa nasi goreng tak seburuk yang aku pikirkan. Cukup nikmat. Apa mungkin karena disuapi oleh lelaki tampan walau sedikit tengil, ya?

Tanpa terasa suapan demi suapan berlalu begitu saja. Seiring dengan habisnya nasi di styrofoam, selesai juga kerjaanku.  Aku merapikan meja dan mematikan komputer. Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka sembilan. Aku lelah dan ingin segera pulang.

“Yuk!” ajakku. Raka bangkit dan mengekoriku dari belakang. Kami berjalan dalam diam. Aku menunggu di lobi depan, menanti Raka yang sedang mengambil motornya. Tak lama kemudian bunyi klakson memekakkan telinga. Ninja hijau dengan gagah tiba di depan mata. Raka memberikan sebuah helm. Setelah memakainya, aku segera naik ke boncengan. Kami pun berjalan memecah kesunyian malam.

Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa Raka sudah mengantarku hingga ke depan gerbang rumah. Aku pun turun.

Thanks ya, Ka,” ucapku tulus. Kuserahkan helm kepadanya.

“Selamat istirahat. Besok pagi kujemput,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

“Berantakan kan, Ka!” teriakku.

“Kamu membuatku gemes, Sher,” ucapnya. “Aku pulang. Sampai jumpa besok pagi,” lanjutnya sambil melambaikan tangan.

Motor ninja berlalu menjauh. Ekor mataku mengikuti arah motornya hingga hilang di ujung jalan. Senyumku sedikit berkembang. Hari ini cukup melelahkan. Aku memasuki rumah, kemudian berbenah diri.

Sebelum tidur aku membuka handphone. Ada banyak pesan di sana.

Kamu berani menerima suapan dari lelaki lain, Shera.

Diam di situ. Biar saya yang antar.

Hubungi saya jika sudah selesai kerjaan.     

Ternyata kamu berani melawan perintah ya, Shera.

Bagaimana rasanya diusap oleh seorang cowok?

Ah, sial. Ternyata Pak Nala menjadi stalker sejati. Ada apa denganku hari ini? Harus terjebak di antara dua lelaki yang membuatku gila dan suka di saat yang bersamaan.

Aku malas menanggapi pesan demi pesan dari Pak Nala. Saat ingin menutup mata, bunyi dering ringtone memekakkan telinga.

“Besok. Kamu saya jemput. Tidak ada penolakan!” ucapnya. Kemudian mematikan panggilan.

Ah, bagaimana dengan Raka? Apakah aku harus mengabari jika bos killer itu akan menjemputku besok. Benar-benar di ambang dilema. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim sebuah pesan kepada Raka.

Ka … sorry. Bos killer mau jemput aku sekalian survei klien. Lain waktu aja ya kamu jemput aku. Maaf.

Terpaksa aku berbohong karena tak menemukan alasan yang tepat untuk menolak Raka.

Tuhan, aku tak ingin terjebak. Namun, mengapa pesona Pak Nala sulit untuk dielakkan? Sebenarnya tak ada dalam pikiranku untuk menjalin hubungan dengan seorang lelaki untuk saat ini. Terlebih dengan duda tanpa anak berlabel bos di tempatku bekerja. Ah, sudahlah. Biarkan semua berjalan seperti adanya. Jika takdir memang   sudah berkehendak, aku pun tak mampu untuk menolak.

Bersambung ….

RHS, penyuka hujan, senja, lumba-lumba, dan warna ungu.

Editor : Rinanda Tesniana

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply