Pulang

Pulang

Pulang
Oleh : Elmero_id

“Nak, pulang.”

Perasaan Hayati bercampur aduk kala itu. Ada marah, sedih, kecewa, hingga sesal. Firasat buruk seakan terus mendampinginya. Usai panggilan telepon itu ditutup, dia segera bergegas. Saat terik matahari membakar ibu kota, dia seharusnya memenuhi kewajibannya sebagai seorang karyawan. Atau kasarnya, sebagai seorang buruh yang sedang dapat bagian masuk siang. Tapi hari itu dia lebih memilih memenuhi kewajibannya pada kedua orangtua.

Bos, maaf hari ini saya tidak masuk lagi. Saya harus pulang kampung menjenguk bapak saya.

Pesan singkat itu segera dia kirim ke atasannya. Ah, beban yang sangat berat. Rasanya Hayati ingin segera lepas dari ikatannya dengan perusahaan. Dia merasa menyesal dalam memilih jalan hidup. Ternyata derita anak rantau yang sebenarnya adalah ini.

Dalam lamunan perjalanannya, musik yang berputar di dalam bus semakin menambah sesalnya. Air mata mengalir secara perlahan dari pelupuk mata. Air yang lembut itu bahkan tak meminta izin dulu. Tahu-tahu saja sudah membasahi pipinya.

Ayah, dalam hening sepi kurindu …

Sepenggal lirik lagu itu menyayat hati. Padahal, sebelumnya tidak pernah seperti ini. Hayati bahkan sering mendengarkan lagu ini di ponselnya. Tapi perasaannya kali ini berbeda. Lagu yang berjudul Titip Rindu Buat Ayah dari Ebiet G. Ade seakan mewakili perasaan dirinya. Perlahan ingatan memutar kembali pada saat-saat yang telah berlalu bersama Ayah.

Drrttt …. Getar ponsel mengembalikan sukma yang hanyut terbuai perasaan sedih.

“Haya, kenapa lagi?” tanya Bos. Suaranya terdengar penuh kesal.

“Maaf, Bos. Tadi ibu saya telepon, dia menyuruh saya pulang.” Suara Hayati terdengar sedu.

“Ya sudah. Berapa hari?” Benar, dia memang marah. Wajar saja, karena Hayati belum mempunyai jatah cuti. Dan dia sudah beberapa kali mangkir.

“Dua hari, Bos. Hari Kamis saya masuk.”

Tut, tut, tuuut ….

Panggilan itu segera berakhir tanpa ucapan salam. Sama seperti panggilan itu masuk. Rasanya Hayati ingin membanting ponselnya. Dia ingin terlepas dan bebas dari ikatan kontrak yang membelenggunya. Hubungan dia yang terjalin dengan perusahaan, ingin segera dia putuskan.

Perjalanan masih sekitar lima jam. Sayup-sayup mata Hayati, kepalanya bersandar pada kaca jendela bus. Dia memejamkan mata yang sudah terasa perih karena air mata yang tak henti berderai. Hingga dia pun tertidur selama perjalanan.

“Mbak … Mbak ….” Terdengar seseorang memanggil dan menepuk pundaknya berkali-kali. Seorang lelaki terlihat dari pandangannya yang kabur.

“Sudah sampai, Mbak.” Kondektur bus itu memberi tahu Hayati. Benar saja, di dalam bus bahkan sudah tidak ada siapa-siapa selain dirinya, sopir, dan kondektur itu. Hayati melengkungkan sedikit bibirnya. Dia segera turun dari bus.

Aroma udara kota kecil ini begitu membekas. Apalagi ketika angin berembus. Hayati teringat saat dulu sering berboncengan dengan ayahnya. Kakinya mulai melangkah. Seharusnya, setiap kali dia pulang dari ibu kota, ayahnya pasti sudah menunggunya untuk menjemput. Kini saat dia keluar dari terminal, hanya terdengar suara-suara dari kernet angkot.

Hayati berjalan lemah menuju angkot yang sudah berisi beberapa penumpang. Rasanya, dia belum siap melihat kondisi Ayahnya. Namun, membayangkan sesuatu yang buruk, membuatnya ingin segera sampai di rumah. Kini, hatinya dipenuhi kegelisahan.

***

Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan.
Kau tampak tua dan lelah.
Keringat mengucur deras.
Namun, kau tetap tabah.

Satu paragraf lirik lagu yang terdengar dalam bus tadi menjadi nyata untuk Hayati. Ayah yang dulu terlihat segar dan bugar kini telah berubah. Penyakit telah menggerogoti tubuhnya. Badan kurus dan kulit yang seakan hanya membungkus tulangnya saja membuat Hayati bahkan tak sampai hati untuk melihatnya.

“Bapak …,” katanya lirih.

Air mata tak kuasa untuk dibendung. Meski kini Tuhan sudah mengambil indra pengelihatannya, tetap saja Hayati tak ingin menangis di depan ayahnya yang terbaring lemah. Dia keluar lagi dari kamar, setelah sebelumnya tanpa salam dia masuk ke dalam rumah saat sampai. Mungkin karena ingin segera melihat ayahnya yang tercinta. Dia jadi tergesa-gesa.

Kedua kakak dan ibunya menenangkan Hayati. Ini adalah perasaan sesungguhnya dari hati yang hancur. Dia keluar meninggalkan mereka, menghubungi salah satu temannya yang tinggal di lingkungan pesantren.

“Halo, Alma.”

“Iya, Haya. Ada apa?” jawab Alma mengangkat panggilan itu.

“Alma, Haya ingin bertanya. Kondisi Bapak semakin parah. Sekarang dia sudah kehilangan suara dan pengelihatannya. Adakah bacaan khusus untuk memohon kesembuhan Bapak?” Terdengar suara Haya yang tersedu-sedu.

Innalillahi, semoga bapak kamu cepat sembuh, ya. Coba setelah kamu salat Magrib, kamu baca surat Ar-Ra’d. Insya Allah, bapak kamu akan diberi kemudahan. Baik itu untuk kesembuhannya atau ….” Alma menghentikan ucapannya.

“Atau apa?” Hayati meragukan apa yang ada dalam pikirannya akan dikatakan oleh Alma.

“Atau untuk kemudahan Allah mengambil apa yang memang hak-Nya untuk kembali. Maaf, Hayati,” tutur Alma.

“Hm, terima kasih, Alma. Setelah salat Magrib nanti aku akan membacanya.” Hayati kemudian menutup panggilan.

Saat azan magrib berkumandang, wajah terbasuh oleh air wudu, sajadah membentang ke arah kiblat. Dalam setiap sujudnya, dia tak mampu membendung air matanya. Serasa Ilahi yang tengah dia jumpai ada begitu dekat. Hayati menyampaikan rasa itu melalui surah Yasin dan Ar-Ra’d.

Tidak lama Hayati menyadari sesuatu. Ayahnya tiba-tiba tak tenang, seolah ingin berbicara, tapi tak mampu. Tak lama dia pun tertidur pulas selekas mendengar ayat yang dilantunkan anak
gadisnya. Bibir Hayati sesaat merekah, meskipun hatinya tersayat.

Malam itu keluarga Hayati tidur dengan damai. Bahkan saat pagi menjelma, kemudian berubah menjadi siang dan waktu terus berlalu. Ayah Hayati terlihat sangat tenang. Melihat kondisi baik ayahnya, bukan rasa bahagia yang dirasa, melainkan tetap saja risau yang hinggap di benak Hayati.

Langit terus bergulir dari putih, biru, jingga, hingga hitam. Di malam itu, ayah Hayati kembali meronta. Dia terus berteriak merasakan kesakitan. Seisi rumah panik memanggil pertolongan hingga para warga dan Pak Mantri datang.

Wajah muram Pak Mantri membuat hati Hayati tidak enak. Dia berkata, “Saya sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau menurut pemeriksaan saya, ini hanya tinggal menunggu waktu. Tapi, tidak ada yang salah dengan yang namanya usaha. Kalian bisa coba untuk mengeceknya dulu ke rumah sakit.”

Bohong! Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya bilang tinggal menunggu waktu, jerit Hayati membatin.

Hayati menoleh kedua kakaknya sambil berurai air mata. Dia juga menoleh pada ibunya. Namun, entah mengapa mereka semua seakan menyerah. Sekalipun Hayati memohon untuk mencoba membawanya dulu ke rumah sakit, mereka tetap menolak. Ya, kondisi keuangan memang menjadi masalah.

***

Semua yang terjadi semalam seakan bukan apa-apa, bahkan setelah ayahnya kembali tenang. Pagi ini, Hayati harus kembali ke ibu kota. Apakah dia akan tega meninggalkan ayahnya dengan kondisi seperti itu?

Meskipun terasa berat, pada nyatanya Hayati sudah bergegas sejak subuh. Sekitar pukul setengah enam, ayahnya terbangun. Dia kemudian berpamit penuh kesedihan. Dia mencium tangan ayahnya, tak terasa air mata pun menetes.

“Pak, Haya pergi dulu. Haya janji, nanti Haya akan kembali. Haya hanya pergi untuk mengundurkan diri. Haya akan di sini tinggal bersama Bapak lagi,” kata Hayati.

Ayahnya terdiam tak menjawab. Perlahan Hayati melepaskan genggamannya. Langkah kakinya terasa sangat berat, apalagi ketika dia akan keluar dari kamar. Tepat di pintu, tiba-tiba dia mendengar suara ayahnya.

“Haya ….”

Spontan Hayati menoleh dan kembali. Dia berkata penuh semangat. “Iya, Pak, ini Haya. Haya di sini.” Berulang kali Hayati mengatakan itu. Tapi, ayahnya kembali tidak merespons. Hingga dia berpikir, apa itu hanya angan agar ayahnya memanggil?

Perasaan tidak enak dimulai.

Sebelum pergi, tepat di atas genting, Hayati mendengar suara burung. Itu adalah suara dari burung uncuing. Di mana menurut kepercayaan setempat merupakan tanda apabila ada orang yang akan meninggal. Perasaan itu berlanjut hingga sampai ke ibu kota.

Begitu sampai, Hayati langsung berangkat kerja bagian siang. Perasaan itu masih saja mengikutinya. Padahal, dia sudah bilang pada bosnya untuk mengundurkan diri. Tiba-tiba, setelah istirahat kerja sekitar pukul setengah delapan, perasaan tidak enak itu semakin menjadi-jadi. Hingga bosnya menghampiri dan menyampaikan kabar duka.

Seketika, Hayati merasakan sebuah kehancuran. Ada beberapa penyesalan yang terjadi. Mengapa dia harus kembali ke ibu kota, bahkan saat kondisi ayahnya buruk? Anak macam apa dia ini? Saat terakhir orangtuanya saja, dia tidak mampu untuk duduk mendampingi.

Lalu, surat Ar-Ra’d itu, apa benar bahwa Tuhan telah mempermudah jalan ayahnya untuk kembali?(*)

 

Seorang pemimpi kecil yang suka mendongeng bernama elmero_id. Lahir di Tashikumaraya, 18 Mei 1994. Penggemar lagu-lagu Taylor Swift garis keras.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply