Fajar yang Tak Pernah Ingkar
Oleh : Fei Ling
Surabaya, 01 Februari 2017
Ce, Papa masuk rumah sakit.
Pesan yang masuk melalui aplikasi WhatsApp itu dari Ratna—adikku. Aku yang saat itu masih berada di jalan, berhenti sejenak. Papa masuk rumah sakit? Sakit apa? Bukannya Mama yang sering keluar masuk rumah sakit karena kanker payudara dan lukanya tidak kering akibat diabetes yang diderita? Kok, malah Papa yang tadinya sehat tiba-tiba rawat inap?
Loh, kenapa? Aku menanyakan penyebabnya.
Ratna belum bisa memberikan jawaban pasti apa penyebab Papa masuk ke rumah sakit.
Sepulang kerja, Aku langsung menuju rumah sakit tempat Papa dirawat. Terlihat pria kesayanganku tersenyum, senyum tulus yang selalu ditujukan kepadaku. Secepat kilat, aku langsung memeluk cinta pertamaku itu.
“Pa, Papa kenapa? Kok, bisa di sini? Papa sakit apa? Mana yang sakit?” tanyaku.
“Aaah … siapa yang ngomong kalau Papa sakit? Papa ini baik-baik saja,” jawabnya.
Aku menoleh ke arah dua adikku yang ikut hadir di sana.
“Kenapa Papa?”
Ratna dan Agung—adikku yang bungsu—juga tidak tahu apa-apa. Mereka hanya mengatakan bahwa Papa kekurangan kalium walaupun sudah di-inject.
“Nonik ….” Panggilan Papa menghentikan diskusi kami bertiga.
Merasa Papa memanggilku, langsung saja aku menghampiri beliau.
“Ya, Pa?”
“Antarkan Papa ke kamar mandi,” pintanya kepadaku.
“Baik, Pa.” Tidak banyak kata, aku melepas ikatan tangan Papa di ranjang dan menggandengnya menuju kamar mandi.
Agung sengaja mengikat tangan Papa, karena ternyata dia berusaha mencabut paksa infus yang terpasang di lengannya.
“Papa ini enggak suka, loh, diikat-ikat begini. Kayak apa aja,” keluhnya padaku.
Aku pun menjawab dengan lembut, “Pa, kalau Papa enggak berusaha menarik paksa infus itu, Papa enggak bakal diikat.”
Dia hanya menatapku tanpa suara.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, aku memikirkan keadaan Papa. Beliau paling takut pergi ke dokter dan sekarang malah harus rawat inap. Jangan ditanya bagaimana rasa sedih di hatiku melihat Papa seperti itu.
Sekelebat kenangan tentang masa kecilku melintas. Papa selalu mengajarkan kedisiplinan yang tinggi. Setiap pagi, aku harus bangun tidur sendiri. Jika terlambat masuk sekolah, Papa akan memukuliku dengan sandal jepit. Pada masa itu, tentu saja aku merasakan kesakitan. Namun, sikap Papa membuahkan hasil yang baik bagiku. Aku selalu berusaha mengerjakan tanggung jawabku sendiri.
Masih di kota yang sama, 02 Februari 2017
Na, hari ini aku enggak bisa ke rumah sakit, ya. Besok harus ke luar kota selama tiga hari. Aman, ‘kan? Aku mengirimkan pesan kepada Ratna.
Aman, Ce. Adikku menjawab dengan singkat.
Jatijejer, Mojokerto, 03 Februari 2017
Kegiatan rohani khusus untuk wanita yang aku ikuti ini sudah berjalan beberapa sesi. Karena ada peraturan tidak boleh memegang ponsel selama acara berlangsung, maka aku tidak tahu kalau Ratna dan Agung meneleponku beberapa kali. Perasaanku mulai tidak enak, langsung aku telepon mereka saat coffee break.
“Ce, Papa sudah enggak sadar ini!” Ratna berteriak di ujung sana.
Aku menghela napas dan berpikir apakah aku harus pulang saat itu juga? Dilema.
Aku memutuskan untuk berdiskusi dengan panitia acara. Mereka mengizinkanku menjenguk Papa, bahkan salah satu di antara panitia itu bersedia mengantarkanku hingga ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, aku tidak henti berkabar dengan Ratna dan Agung tentang kondisi Papa. Beruntung, Ce Vonny yang mengantarku pulang cukup gesit menyetir mobil dan selalu berusaha menyemangati, serta meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, kami hanya berdua saja di mobil itu.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Mobil melaju membelah jalan tol. Aku membiarkan Ce Vonny fokus menyetir. Tiba-tiba keheningan berakhir karena suara notifikasi di ponselku.
Ce, ndak usah ngebut, ya. Papa sudah ndak ada ….
Surabaya, 27 Maret 2020
Deep in the stillness
I can hear you speak
You’re still an inspiration
Can it be
That you are mine
Forever love
And you are watching over me from up above
Sepenggal lirik lagu yang berjudul To Where You Are dari Josh Groban terdengar merdu di telingaku. Menceritakan tentang kehilangan.
Hingga detik ini, aku masih merasakan kesedihan karena kehilangan Papa di bulan Februari 2017, dan Mama menyusul pada bulan Juni di tahun yang sama. Cinta pertamaku itu pergi membawa cinta sejatinya, mamaku.
“Pa, 27 Maret adalah ulang tahun Papa. Selamat ulang tahun ya, Pa.”
Aku yakin Papa dan Mama melihat kami dari atas sana, tidak pernah sekali pun meninggalkan anak-anaknya.
Papa dan Mama, tenanglah di surga. Jangan mengkhawatirkan kami di sini yang tidak pernah berhenti berjuang untuk membuat Papa dan Mama bangga.
***
Surabaya, 29 Maret 2021
Fei Ling, seorang yang mencoba menuangkan ide ke dalam rupa tulisan.
Editor : Rinanda Tesniana
Catatan:
Cece : Sebutan untuk kakak perempuan.
Sumber gambar : pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata